DIRTY BUSINESS - 8
erjalan kearah ruang tengah dan segera terduduk di sofa berwarna cream, setelah sebelumnya melakukan kembali meditasi dengan Rue dan lebih dahulu membersihkan diri selama beberapa menit dalam kamar mandi. Tanganku pun terulur meraih ramote televisi dan menekan tombol power.
Menyandarkan
punggung dan mendekap bantal sofa seraya
terus mengganti satu channel ke channel yang
lain, kedua telingaku pun lantas responsif
mendengar suara langkah seseorang yang kini semakin mendekat.
Menatap
sekilas kearahnya yang mengambil posisi terduduk disisi kananku dengan senyum
yang mempatri bibirnya, membuatku memilih mengabaikan kehadirannya dan kembali
fokus menatap ke arah layar televisi tanpa
mau susah payah menyapa atau sekedar basa-basi menanyakan kabarnya pagi ini.
“Aku
pikir kau tidak menyukai tontonan seperti ini Ken?” mengerutkan dahiku ketika
dia berhasil mengaburkan seluruh pemikiran, membuatku lantas menoleh kearahnya.
“Kenapa?”
“Kau
mau mengejekku karena ternyata aku menyukai tontonan seperti anak kecil,
begitu?” tanyaku dengan nada tak terima, mengingat ini sama sekali bukan urusan
dia mengenai apa yang aku suka dan tidak suka. “Aku hanya bertanya Ken…”
“Lagi
pula aku juga sangat tertarik dengan sifat yang dimiliki oleh si bintang
berwarna merah muda itu?!”
“Dia
terlalu polos dan konyol” meninggikan sebelah alisku atas apa yang dia ucapkan,
membuatku lantas menatap bergantian kearah televisi dan dirinya yang nampak begitu serius mengamati
Patrick yang terlihat berusaha menangkap ubur-ubur di dalam layar televisi.
“Dia
setia” jelasku menanggapi perkataannya yang kemudian membuatku sedikit menyesal
karena telah mengatakan kata di akhir kalimatku sendiri. “Ah lihat?!”
“Rupanya mendeskripsikan sifat seseorang memang akan jauh
lebih mudah, dari pada mendeskripsikan sifat dalam diri sendiri ya?” balasnya
yang tak mau kalah membuatku lantas menghembuskan nafas kasar. Oh gosh!
“Kau
menyindirku?” tanyaku sedikit tersinggung dan lantas dia hadiahi dengan tawa. “Nope”
“Bukan
begitu maksudku Ken…”
“Hanya
saja, apakah hal itu cukup untuk membenarkan bahwa itu adalah sifat yang memang
sesungguhnya dia miliki?” mengerti akan kemana arah pembicaraan kita saat ini,
membuatku bersikukuh memfokuskan pandangan kearah layar televisi.
“Perlu
kau tau Ken…”
“Serapat
apapun seseorang menutupi sifat aslinya, orang lain pasti akan tetap memiliki
celah untuk melihat sifatnya itu” jelasnya, membuat hatiku sedikit tercubit
namun tak membuatku lantas menoleh kearahnya. “Ya, dan kau pun perlu tau?!”
“Bahwa
kau benar-benar sangat mengganggu ketenanganku pagi ini” ujarku secara sarkas.
“Niall
adalah putraku satu-satunya”
“Oh
God, hentikan. Please…”
“Aku
tidak ingin mendengarkan curhatanmu!” tukasku.
“Leo
dan aku membesarkannya penuh dengan cinta dan kasih, seakan hadirnya adalah
nyawa bagi kami. Dan bisa saja hidup kami akan langsung selesai kalau dia tidak
lagi ada diantara kami” mendengar dengan jelas apa yang baru saja dia ucapkan,
membuat perasaanku lantas bergejolak didalam sana.
Sehingga,
aku ulurkan tanganku menekan tombol pada remote
untuk meninggikan volume televisi dan
tidak menghiraukan keberadaannya disisiku seolah aku sedang sendirian di
ruangan ini. Tetapi, dengan lancangnya dia justru merebut remote yang masih ada dalam genggamanku dan menekan tombol
menggecilkan volume televisi.
Hal
ini pun berhasil membuatku seketika menoleh kearahnya yang mana saat ini dia
juga sedang menatap kearahku. Saling bertukar pandang dengannya dalam diam,
membuatku hatiku menumpat kesal dan segera membuang pandangan kearah lain
sebelum dia melihat sesuatu dalam diriku. “Baiklah, kalau begitu silahkan menikmati
ruangan ini sepuasmu”
“Duduklah”
pintanya yang berhasil mencekal tanganku.
“Tid-”
belum sempat aku memprotes, dia lebih dahulu menarik tanganku sehingga aku
kembali terduduk dan dia kembali berbicara.
“Niall
adalah tipe orang yang jarang sekali mengeluh?!”
“Persis
sepertimu Ken..”
“Selalu
suka memendam perasaannya sendiri”
“Dan
hal itu pun berlaku hingga dia mulai tumbuh menjadi remaja. Tapi parahnya, pada
saat itu aku dan Leo tidak bisa selalu berada sisinya karena urusan pekerjaan”
“Cukup
Kate, aku tidak ingin mendengarkan cerita pribadi mengenai keluargamu!”
keluhku.
“Kau
harus mendengarkannya Ken?!”
“Well, setidaknya kau tidak akan merasa tersingkirkan
atau pun merasa menjadi orang asing ketika nanti Gemma lebih tau tentang Niall…”
tergelak atas perkataannya, satu alisku pun lantas meninggi karena kata diakhir
kalimatnya. “Kenapa harus Gemma?”
“Gemma
adalah satu-satunya wanita yang berhubungan intens
dengan Niall selain dirimu Ken”
“Dan
bukan hal yang tidak mungkin untuk mereka bertukar cerita perihal urusan
pribadi satu sama lain”
“Hahaha,
Come on Kate..”
“Jangan
berkata seolah-olah aku adalah kekasih yang harus cemburu akan kedekatan
diantara mereka berdua” peringatku seraya memandangnya tajam, hingga terdengar
helaan nafas darinya. “Ya, mungkin hal itu memang mustahil terjadi…”
“Tapi,
sebagai sahabat dan juga pasien pertamanya?!”
“Apa
kau benar-benar tidak ingin mengetahui alasan mengapa Niall memilih menjadi
seorang dokter psikolog?”
“Karena
itu keahliannya dan akulah buktinya” tuturku yang lantas dia setujui dengan
anggukkan kepala. “Itu benar. Tapi ada alasan paling mendasar, mengapa pada akhirnya
dia memutuskan untuk menjadi seorang dokter psikolog Ken”
“Ingin
sepertimu mungkin?”
“Aku
dokter psikiater, bukan psikolog”
“Sama
saja?!” ucapku yang segera dia bantah dengan menggelengkan kepala, kemudian
menatapku begitu sungguh-sungguh dan berhasil membuatku salah tingkah. “Tugas
kami berbeda…”
“Dia
tidak bisa memberikan resep obat, sedangkan aku bisa”
“Ya,
dan itulah alasannya kenapa aku lebih suka jika Niall yang menanganiku dari
pada dirimu” ucapku yang kemudian berhasil menimbulkan seringaian tawa
dibibirnya.
“Anakku
memang pandai memberikan kedamaian di hati seseorang tapi sayang dia tidak pandai
memberikan kedamaian di otak seseorang, bukan begitu?” tanyanya begitu percaya
diri, sedangkan aku yang paham tentang apa yang dia maksud lantas mengendikkan
kedua bahu seta memutar bola mata malas.
“Niall
adalah anak yang berbeda dari anak lainnya”
“Maksudmu?”
tanyaku agak kebingungan.
“Dia
tidak pernah pergi keluar rumah di akhir pekan atau pun sekedar bersenang-senang
di sebuah club malam untuk mabuk dan
pulang hingga pagi dini hari” jelasnya yang justru semakin memperdalam kerutan
di dahiku, pasalnya bukan sesuatu yang salahkan kalau seorang anak tidak
memilih menjadi brengsek. Itu pilihannya, sangat wajar dan tentu hal itu bisa
terjadi kepada siapapun.
“Harusnya
kau bersyukur karena memiliki anak yang tidak suka membuat masalah” seperti tertampar
atas ucapanku sendiri, tidak membuat dirinya lantas terkejut dan malah
menghadiahiku senyum tipis dengan pandangan kosong di kedua matanya. “Tadinya
aku juga berpikir hal yang sama denganmu Ken. Tetapi, saat itu aku terlalu
khawatir…”
“Kau
berlebihan?!”
“Bukankah
itu hal yang wajar bagi mereka yang memiliki sifat introvert?” tebakku, membuatnya menghembuskan nafas kasar dan menggelengkan
kepala seraya menggenggam tanganku erat. “Benar, tapi tentu saja ada sebabnya
kenapa dia sampai begitu”
“Ok,
lalu apa yang membuatnya begitu?”
“Setelah
mencari tau lebih dalam, akhirnya aku mendapatkan infromasi bahwa Niall ternyata
korban bullying di sekolahnya”
“What?!” ucapku begitu terkejut ketika mendapatkan
fakta baru mengenai Niall yang bersumber langsung dari ibunya.
“Kau
bercandakan?”
“Tidak
pernah sedikit pun terlintas dalam pikiranku untuk menjadikan anakku sendiri sebagai
bahan candaan Ken?!” katanya. “Sorry Kate,
aku tidak bermaksud”
“It’s ok..”
“Apa
dia mengalami trau-”
“Tidak”
selanya seolah sudah bisa menebak apa yang ingin aku tanyakan. “Dia terlalu
kuat dan aku bersyukur hal itu tidak menimpa dirinya” lanjutnya dan berhasil membuatku
kehilangan kata-kata.
“Dan
itulah kenapa dia lebih cenderung menjadi introvert
serta lebih tertarik untuk mendengarkan keluhan dari para pasien, dari pada
menjadi sepertiku yang senang memberikan harapan walaupun kecil kemungkinannya
untuk pulih kepada para pasien” jelasnya dengan raut wajah sendu, namun tatapan
matanya sudah tidak lagi sekosong sebelumnya. Seperti, sedikit memancarkan
harapan. “Niall selalu ingin melihat orang-orang didekatnya bahagia”
“Well, itu adalah alasan yang cukup
mulia..” pujiku.
“Ya
kau benar, itu memang terdengar membanggakan walaupun dia sendiri masih suka
memendam perasaannya”
“Itu
sudah menjadi bagian dari sifatnya Kate?!”
“Dan
kau tidak bisa merubahnya” tekanku seolah sedang membela diri sendiri. “Masih bisa dirubah Ken?!”
“Karena
pada dasarnya sifat seseorang itu juga bisa terbentuk dari berbagai aspek”
“Dan
dari sifat Introvert yang dimiliki
oleh Niall. Teman-temannya lah yang dengan sengaja membentuk sifat itu didalam
diri anakku” jawabnya dengan nada bergetar, membuatku kemudian segera menghapus
air mata yang tiba-tiba mengalir di kedua pipinya.
“Hidup
terkadang memang tidak adil..” tuturnya, yang kemudian aku lanjutkan. “Maka
biasakanlah dirimu. Benarkan?” di setujui dengan mengangguk dan tersenyum, membuatku
lantas menggenggam tangannya. “It’s ok..”
“Terkadang
menerima sesuatu hal yang tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan memang
tidaklah mudah”
“Tapi
Kate... jangan lupa juga bahwa banyak orang diluar sana yang justru meninginkan
kehidupan sepertimu yang kau bilang tidak adil ini” peringatku, sehingga aku merasa
seperti kembali menampar diri sendiri. “Kau benar..”
“Tapi,
lupa bersyukur sepertinya memang sudah menjadi bagian dari sifat manusia
bukan?” tanyanya yang menatapku lekat seraya membalas genggaman tanganku,
sedangkan aku lantas mengangguk pasrah dan tersenyum tipis. “Satu tahun hanya
berkomunikasi melalui virtual chat, rasanya
ada banyak hal yang berubah darimu Ken?!”
“Sama
sekali tidak ada yang berubah dariku Kate” tepisku tanpa ragu, sebab aku bisa
menebak akan kemana arah pembicaraan kami selanjutnya. “Secara fisik jelas
sekali kau sangat berubah Ken”
“Semakin
kurus?” tebakku.
“Itu
benar?!”
“By the way, kau masih menggunakan resep
obat dariku atau-”
“Mom tidak akan membiarkanku mencari
dokter lain” selaku.
“Dia
terlalu percaya padamu dan juga Niall”
“Dan
apakah kau tidak percaya pada kami?”
“Entahlah...”
“Kenapa?
Apa kau ragu?” tanyanya dengan raut wajah yang sulit untuk aku artikan, namun
aku bisa menangkap dari sorot matanya yang sedang mengamatiku baik-baik. “Mungkin…”
“Sebab,
selama ini nyatanya apa yang telah kalian berikan tidak terlalu banyak
memberikan efek untukku”
“Dan
semakin kesini aku merasa durasinyanya sangatlah cepat dan mimpi buruk itu terus
saja berulang. Sehingga, mengharuskanku untuk terjaga dalam beberapa malam”
“Kalau
begitu datanglah untuk berkunjung pada awal tahun di minggu pertama nanti Ken…”
“Sebelum
aku kembali ke New York dan kau yang nantinya akan semakin kesulitan
menjalankan aktifitasmu” sarannya.
“Akan
aku usahakan” jawabku yang tidak memberikan kepastian, hingga menimbulkan
kerutan di dahinya. “Oh come on…”
“Awal
tahun nanti pasti para paparazzi akan
begitu gencar mencari berita tentang kehidupanku saat ini. Dan aku tidak ingin
mereka mengkaitkan berita tentang produk baru di butikku musim depan dengan
pertemuan kita”
“Kau
tentu mengerti maksudku-kan Kate?” tanyaku setelah memberikan penjelasan
singkat yang kemudian dia setujui dengan mengangguk. “Tidak ingin mencampur
urusan pribadi dengan bisnis?!”
“Aku
mengerti Ken…”
“Tapi tetap kabari aku kalau kau bisa ya?” mendengar peringatan darinya, membuatku lantas mengangguk seraya tersenyum padanya dan mulai mengakui bahwa dia tidak semenyebalkan yang aku pikir. “By the way, Kate…”
“Next time ingatkan aku untuk menyingkirkan televisi ini jika kita sedang bercerita” melihatnya mengangguk mengerti dan mengendikkan bahu asal, membuatku mengerti bahwa aku rasa ini cukup untuk memulai awal yang baik. “Kapan pun, terserah padamu” putusnya.
Bangkit dari keterdudukan
seraya berlalu dari sisinya menuju ke arah dapur kotor, langkahku pun berhenti
tepat di hadapan lemari pendingin dan meraih paper bag berwarna
putih yang sejak semalam aku sembunyikan. Mulai mengeluarkan kotak dari
dalam paper bag, membuatku lantas menyinggung senyum karena
mendapatkan satu kotak hitam berukuran kecil sebagai christmas hamper atau mungkin permintaan maaf dari Harry semalam.
Membaca kotak berwarna hitam
yang bertuliskan Longmorn, sialnya berhasil membuat kedua mataku
membulat sempurna dan segera mengedarkan pandangan ke sekeliling karena aku
tidak ingin seseorang sampai melihat kotak berisikan minuman berakohol jenis whisky dengan kadar 48%.
Dengan tergesa aku pun
memasuki kotak ini kembali kedalam paper bag. Namun, tiba-tiba saja
deheman seseorang dari arah belakang punggung membuatku segera menggeser paper
bag ini dan berbalik badan menghadap ke arah sumber suara.
“Kita perlu bicara Ken”
menelan siliva secara kasar dan bingung harus menyetujui
ucapannya atau menghindarinya, segera aku pun membuang nafas kemudian memilih
untuk mengikuti instingku saja kali ini. “Aku lelah Mom…”
“Nanti saja ya kita
bicaranya?!” putusku begerak risau namun tetap berusaha menampilkan raut wajah tenang.
Bodoh?!
Makiku
dalam hati, ketika kemudian dia menggeser posisi tubuhku kesisi lain dan
berhasil menemukan keberadaan benda yang memang sedari tadi sedang berusaha aku
sembunyikan darinya. Sehingga, tanpa berlama-lama dia mengeluarkan isi dalam paper bag berwarna putih dan
menyinggungkan seringaian angkuh ketika membaca tulisan yang terpampang di
kotak berwarna hitam itu.
“See?! Aku rasa sudah jelas bahwa kita
benar-benar harus berbicara sekarang?!”
“Oh
tidak, tidak..”
“Lebih
tepatnya adalah kau yang perlu menjelaskan tentang minuman ini dan banyak hal
lainnya kepadaku”
“Ya,
itu pun kalau kau memang tidak ingin Brian sampai mengetahui kalau kau
menyimpan minuman ini dan sebuah rahasia lainnya” ucapnya setelah memasukkan
kembali kotak itu ke dalam paper bag,
membuatku lantas memutar bola mata jengah seraya terpaksa mengangguk setuju kemudian
dengan berat hati mulai mengekori ke arah ruang kerja pribadi milik Ayah dan
Ibuku.
Melewati
lorong galery dengan penerangan lampu yang tidak terlalu
terang dan di setiap dinding sisi kanan serta kiri terdapat lukisan yang biasanya
didapat dari pelelangan, termasuk satu buah lukisanku pertamaku dengan ukuran
24 x 36 vertikal yang menggambarkan sesosok wanita dengan lima
cahaya.
Dimana,
lima cahaya itu berada di beberapa tempat berbeda dan hanya ada satu cahaya
yang memiliki warna berbeda. Ya, warna itu adalah warna hijau yang terletak
tepat di bagian dada dan melambangkan tanda kedamaian serta keseimbangan
sekaligus penyembuhan.
Lukisan
dengan judul ‘lumiére dans les ténèbres’[1] itu
sebenarnya adalah salah satu curahan hatiku ketika berusia 15 tahun dan aku
menyembunyikan lukisan itu di suatu tempat untuk waktu yang sangat lama, hingga
kemudian ayahku berhasil menemukannya tepat ketika kami sekeluarga memutuskan
untuk pindah ke Los Angeles dan
menempati Mansion ini.
“Caranya
saat menatap lukisan itu sangat berbeda ketika kau memutuskan untuk
meneruskan study-mu di Parsons School of Design, dengan kau yang
memutuskan untuk tidak lagi tinggal bersama kami di Mansion ini”
“Bahkan,
akhir-akhir ini dia lebih sering menghabiskan waktunya disini hanya untuk
memandangi lukisanmu itu dari pada berkutat di ruang kerjanya” tertohok begitu
dalam atas apa yang ibuku ucapkan, membuatku lantas tersenyum masam kemudian.
“Kau
bisa melelangnya kalau kau mau Mom?!”
usulku dengan pembawaan santai tanpa ada nada yang bisa memancing perdebatan
diantara kami.
“Membuatnya
menjadi marah besar dan pada akhirnya liburan kita bersama keluarga Horan
batal?”
“Oh
thanks, Ken. That's really bad
idea?!” tidak perduli atas sarkasme yang dia ucapkan, dengan santai aku
melipat kedua tangan di dada seraya mengendikkan bahu begitu asal. “Kalau
begitu jangan menceritakan kesedihannya padaku”
“Sebab,
itu sama sekali tidak bisa merubah keputusanku untuk tidak lagi tinggal bersama
kalian” tekanku yang memutar balikkan keadaan dan dia balas dengan helaan nafas
kemudian. “Yaampun Ken, kau adalah anakku?!”
“Di
darahmu juga mengalir darahku”
“Dan
sikap keras kepalamu itu adalah turunan dariku”
“Jadi,
tentu saja?! Aku tidak akan keberatan kalau harus melawan sikap keras kepalamu
itu. Sebab, aku hanya ingin segalanya yang terbaik untukmu” terangnya masih
dengan nada rendah, namun raut wajahnya kali ini benar-benar serius dan
tatapannya juga begitu sulit untuk di artikan. “Terserah…”
“Yang
jelas aku tidak perduli dengan apa yang kau inginkan untukku Mom?!”
“Jadi,
berhentilah berpikir seolah apa yang kau inginkan adalah hal paling baik
untukku” pintaku dengan nada penuh penekanan yang justru dia tanggapi dengan
menyinggungkan senyum tipis.
“Dengar…
sejujurnya bukan masalah besar kalau pun kau memang tidak ingin lagi tinggal
bersama kami disini Ken?!”
“Karena
kami pun juga telah terbiasa tanpa kehadiranmu”
“Itu
bagus…”
“Lalu
apa masalahnya?” tanyaku yang mendapati dengusan nafas lelah darinya. “Masalahnya
adalah kau telah banyak berbohong Kendall. Dan aku tidak bisa jika harus terus menerus
menyembunyikan segalanya dari Brian”
“Apa
yang kau inginkan sebenarnya Mom?”
tanyaku bermaksud memberinya penawaran,
karena aku tidak ingin menerima ancaman darinya terus menerus dengan menjadikan
ayahku sebagai alasannya.
“Kesembuhanmu!
Hanya itu yang aku inginkan”
“Tapi-”
“Tidak
ada tapi Ken?!” selanya seraya memberikan tatapan peringatan, sedangakan aku
hanya bisa menghirup udara banyak-banyak dan pasrah berjalan kearahnya yang
kini sudah berbalik menghadap kearah pintu kaca dan tengah menempelkan ibu
jarinya ke alat yang terlekat pada dinding. “Duduklah, karena aku perlu
mendengar banyak penjelasan darimu…”
Di
dominasi dengan warna cokelat dan beraroma citrus yang berpadu
padan dengan unsur kursi dan meja kayu dalam ruangan ini, membuatku memutar
ingatan dan mulai menyadari bahwa tata letak benda-benda di dalam sini telah
berubah dari terakhir kali aku tinggal di Mansion ini.
“Lihatlah
hasil dari perbuatanmu…” meraih majalah yang dia lempar ke meja yang ada tepat
di hadapanku, yang mana saat ini aku sudah terduduk di sofa. Seketika, tubuhku
pun menegang karena mendapati wajahnya yang menjadi cover majalah
dalam genggamanku ini.
I would date a
model, but I would rather marry a business women - Z
“Bajingan
itu sepertinya sengaja sekali memberikan pernyataan seperti itu?!”
“Apakah
kau ikut andil atas semua omong kosong ini Ken?”
“Jangan
menuduhku!” tepisku yang keberatan.
“Lantas,
tidakkah kau jijik dengan pernyataannya yang terlalu percaya diri itu? Seolah
olah dia begitu ingin memperjelas kepadaku tentang bagaimana kalian kedepannya?”
“Sudahlah,
abaikan saja Mom” balasku seraya
meletakkan kembali majalah tersebut diatas meja.
“Anggap
saja statement yang dia berikan itu memang
untuk menarik perhatian model lain yang ingin berkencan dengannya” tepisku yang
tidak ingin lagi membahas perihalnya, tetapi sekali lagi ibuku dengan segala
egonya kembali menguji kesabaranku. “Dan kau menunggu sampai dia menyertakan
namamu disana lebih dulu, begitu?”
“Come on, aku sedang tidak ingin kita
kembali berdebat Mom”
“Aku
pun demikian Ken”
“Yasudah
selesai kalau begitu?!”
“Tentu?!
Asalkan kita menyelesaikannya saat ini juga”
“Maksudnya?”
“Aku
ingin kau melakukan sesuatu Kendall, agar masalah ini benar-benar selesai”
meninggikan satu alisku karena ucapannya, segera aku pun menggeleng cepat sebagai
tanda penolakkan. “Kami tidak membuat masalah apapun Mom?!”
“Baiklah,
kalau begitu jangan harap Brian tidak akan mengetahui tentang hubungan diantara
kalian setelah ini”
“Jangan
mengancamku Mom?”
“Tidak
sama sekali?!”
“Justru,
aku memberikan solusi agar perasaannya tidak semakin jadi terhadapmu dan
membuat segalanya semakin rumit”
“Itu
tidak akan pernah terjadi!” jelasku sekali lagi, namun dia justru menggenggam
tanganku erat. “Kalau begitu buktikan?!”
“Baiklah,
bagaimana?” tantangku pada akhirnya.
“Berada
lah disisi Justin di sepanjang acara malam natal nanti, karena aku tidak ingin kau
kembali berdekatan dengannya dan berakhir mengacaukan acara” menoleh dengan menatapnya
tajam serta membendung perasaan kecewa karena permintaannya yang menurutku
sangat konyol, membuatku akhirnya berdecih dan bangkit dari keterdudukan.
“Tidak?!”
“Aku
tidak ingin melibatkan siapapun”
“Terlebih,
membuat semua orang menduga bahwa berita aku dan Justin madalah benar bahwa
kami sedang menjalin kedekatan?!”
“Kendall
Jenner?!” menutup mata seraya menghentikan langkah karena dia berucap dengan
tegas dan intonasi yang meninggi, berusaha aku pun menghidup nafas dalam-dalam
dan melepaskan kepalan tangan yang begitu erat di sisi tubuhku. “Kau mau
kemana?”
“Aku
belum selesai berbicara denganmu!” katanya.
“Oh come
on, Mom. Sadarlah?!”
“Permintaanmu
itu sangatlah tidak adil untuk Justin?!”
“Kau
berkata seolah-olah aku sedang memintamu untuk melukai harga diri dan perasaannya
Ken?!”
“Kalau
begitu jangan paksa aku untuk melakukan sebuah kesalahan lainnya!”
“Hanya
karena aku bersenang-senang dengan Zayn, bukan berarti aku mau melakukan hal
yang sama dengan pria lain” jelasku dengan nada memburu, tidak perduli dia mau
mengerti atau tidak.
“Heuh,
apakah kau yakin?” mengerutkan dahi karena tidak mengerti kenapa dia justru bertanya
demikian, aku lihat dia pun ikut bangkit dari tempat duduknya dan berlalu
kearah lemari kayu yang berada disisi sebelah kananku.
Tetap
mengamatinya yang sedang mengambil sesuatu dari dalam lemari kayu tersebut,
dahiku kemudian mengerut ketika dia dengan cekatan mengeluarkan beberapa lembar
kertas berukuran folio dari dalam amplop berwarna cokelat yang sangat tidak
asing dipengelihatanku. Namun, ketika dia mengarahkan tepat ke hadapan mataku.
Demi Tuhan, seketika itu juga rasanya kakiku sudah tidak sanggup untuk
bertumpuh dan sulit untuk mengeluarkan segala bentuk amarah atas apa yang telah
dia lakukan. “See?!”
“Inikan
alasanmu yang sebenarnya? Sampai-sampai kau enggan menjauh darinya?”
“Well, aku sudah benar-benar tidak bisa
membayangkan bagaimana kalau sampai Brian mengetahui semua ini”
“Terlebih,
kalian berhubungan sampai-”
“Dari
mana kau mendapatkannya?” selaku sebelum dia berhasil menuntaskan kalimatnya
yang benar-benar bisa membuatku hilang akal saat ini juga, sebab berkas-berkas
itu hanya dimiliki oleh empat pihak saja dan tidak mungkin kalau dia
mendapatkannya langsung dari Zayn ataupun pengacara kami.
“Kau
tidak perlu tau Ken?!”
“Yang
jelas, sekarang aku hanya ingin kau mengikuti permintaanku” katanya seraya
kembali memasukkan kertas tersebut kedalam amplop kemudian kembali
meletakkannya kedalam lemari kayu.
Licik! Dia pasti mendapatkan
berkas-berkas rahasia ini dari Mansionku.
“Kalau
aku tetap tidak mau?”
“Maka
kebenaran akan terungkap”
“Dan
bersiaplah mendapatkan sebutan menyedihkan dari Brian dan semua orang sebagai…”
“Wanita
jalang?”
“MOM! ” sentakku begitu kesal karena
merasa tersinggung atas pertanyaannya, namun masih berusaha untuk tetap menahan
diri agar tidak hilang kontrol.
“Hanya
wanita rendahan yang bersedia terikat dalam hubungan tanpa kejelasan bahkan
kalian berhubungan hingga-”
“Mom, cukup?!” selaku yang sudah tidak
sanggup mendengar penghinaan darinya, hingga air mataku pun sudah tidak mampu
lagi tertahan lebih lama untuk menunjukkan seberapa dalam perkataannya padaku. “Lakukan
apa yang aku inginkan Ken?!”
“Ikuti
permintaanku kali ini dan aku jamin berkas-berkas ini akan aman bersamaku” desisnya
mengancam dan sekali lagi hal ini berhasil merenggut rasa sabarku, sehingga
ketika kami tengah saling berebut ingin menuju kearah lemari kayu tempatnya
menyimpan berkas-berkas itu.
Seketika
aku ingin melayangkan tamparan ke arah pipinya, namun suara langkah cepat
seseorang berhasil menghentikan gerakkan tanganku. “Hentikan!”
cegahnya.
“Cukup
sudah?!”
“Apa-apaan kau Kendall” lerainya dengan intonasi
meninggi, membuatku lantas memejamkan mata sejenak dan patuh mengikuti gerakkan
tangannya yang dengan sigap menyingkirkan tanganku yang hampir saja melayangkan
tamparan ke arah pipi ibuku.
“Dimana manners-mu, heuh?”
singgungnya.
“Kenapa kau berani sekali bertingkah kurang
ajar seperti itu kepada Kris?”
“Coba jelaskan padaku…”
“Ada apa lagi sebenarnya
ini?” tidak ingin menjawab apapun yang pada akhirnya akan menjadi perdebatan
dan memilih memalingkan wajahku kearah lain karena benar-benar tidak ingin
melihat wajah ibuku, membuat dirinya pun lantas menaruh tangannya di sebelah
pundakku dan mengusapnya dengan gerakkan lembut.
“Duduklah…”
“Kita akan selesaikan ini
dengan kepala dingin” mematuhi permintaannya yang selalu seperti ini ketika
harus menghadapi aku dan ibuku saat saling beradu ego satu sama lain, membuatku
kemudian mengambil posisi terduduk yang bersebelahan dengan ibuku.
“Sekarang coba jelaskan…”
“Ada kesalah pahaman apa
lagi diantara kalian?!” tanyanya mencoba menengahi, yang justru aku tanggapi
dengan kebungkaman dan memilih menyandarkan punggung di sofa dengan kedua tangan yang
menyilang di dada. “Kris bisakah kau menjelaskannya?”
“Lihatlah ini Brian..”
jawabnya tanpa ragu seraya memberikan majalah serta paper bag pemberian
dari Harry yang berisikan minuman beralkohol kepada ayahku, hal ini pun membuat
dadaku tiba-tiba terasa mencelos dan kedua kakiku terasa lemas seperti jelly.
“Longmorn?”
“Itu adalah christmas hamper dari rekan kerjaku Dad?!”
“Dan aku sama sekali tidak
berniat sedikitpun untuk meminumnya, baik sekarang ataupun nanti” elakku mencoba
membela diri, membuatnya lantas menanggapi dengan meninggikan sebelah alisnya
seolah begitu meragukan ucapanku. “Kau tidak sedang berbohongkan Ken?”
“Kau bisa tanyakan langsung
pada Felix, Dad” yakinku yang tidak
sungguh-sungguh karena aku hanya mencoba mencari saksi palsu agar dia tidak
meragukanku. “Baiklah…”
“Aku akan menyimpannya di wine cellar nanti”
“Silahkan saja” kataku.
“Lalu, majalah ini? Apa
maksudnya?”
Dengan ekspresi wajah yang
masih bertanya-tanya, kini dirinya pun menunggu penjelasan lebih lanjut pada
ibuku. Sedangkan aku, justru hanya mampu terduduk menegang dalam diam dan
menelan siliva dengan susah payah.
“Rane menyampaikan padaku
bahwa kita mendapatkan christmas hamper dari
Zayn Javvad Malik beserta majalah edisi terbaru tentangnya” terkejut karena
mendengar apa yang baru saja ibuku ucapkan, membuatnya kini dengan percaya diri
menatapku penuh ancaman. “Hanya atas nama Zayn Javvad Malik atau berserta nama keluarganya
yang mengirim hamper?”
“Hanya
atas nama Zayn Javvad Malik, Brian?!”
“Apakah
kita juga mengirimkan christmas hamper
secara personal kepadanya?” tanyanya mencoba memastikan.
“Tentu
saja tidak?! Bukankah kau sendiri yang berpesan agar kita mengirimkan christmas hamper hanya ditujukan untuk Malik’s Family saja?”
“Kau
yakin?”
“Aku
belum pikun, come on?!”
“Oh,
yasudah…”
“Yasudah? Apa tidak
sebaiknya kita juga mengirimkan christmas
hamper secara personal kepadanya saja Brian?”
“Apa itu masih perlu?”
“Menurutmu bagiamana Ken?”
meninggikan sebelah alisku karena mendapati lemparan pertanyaan dari ibuku,
tidak membuat mulutku berkata apapun kali ini dan memilih untuk bungkam serta
menatapnya dalam. “Hei, kenapa kau diam saja?”
“Kau tidak sedang berpikir
untuk mengirimkan christmas hamper
secara personal juga kepadanyakan Ken?”
“T-te-tentu sa-ja tidak!”
tepisku begitu terbata-bata. “Ah iya, aku tau?! Jangan-jangan christmas hamper ini memang tertuju
untukmu Ken?”
Oh astaga, ibuku seperti memang pantas mendapatkan
piala oscars tahun ini?!
“Apa maksudmu Kris?”
“Astaga, sepertinya waktu
itu aku lupa memberitahumu ya?”
“Memberitahu apa?” tanyanya
dengan intonasi meninggi.
“Begini, beberapa waktu lalu Zayn hadir di acara party Hailey dan aku melihat Kendall berada di table yang sama dengannya..”
“Jadi, sepertinya mereka
sudah saling mengenal sekarang dan aku mendadak mulai berpikir apakah itu
alasannya mengirim christmas hamper
secara personal?” membelalakan kedua mataku dengan sempurna ke arahnya karena
dengan beraninya dia bicara terang-terangan kepada ayahku, membuat jantungku
seperti ingin segera keluar dari dalam dada.
Sialan!
“What?”
“Benarkah begitu Ken?” triple shit, aku benar-benar tidak
memiliki keberanian sekarang untuk sekedar menjelaskan apa yang dia pertanyakan
ini. “Kendall?”
“….”
“Hei, jawab pertanyaanku Ken?!”
“Kenapa kau hanya diam
saja?” desaknya mulai curiga seraya mencari jawaban dengan menatap bergantian
kearahku dan juga ibuku.
“A-ak-aku ti-t-tidak tau
apakah christmas hamper darinya itu
untukku atau bukan Dad?!”
“Bukan itu yang sedang aku
permasalahkan Kendall!”
“Lalu apa? Aku tidak
mengerti?!” alibiku.
“Brian ingin meminta
kejujuran darimu Ken?! apa benar kau berada di table yang sama dengannya malam itu atau sebenarnya mataku yang
memang sudah rabun saja?!” jelasnya.
“Semua itu hanya kebetulan
saja” dustaku yang tidak memiliki jawaban tepat dan aku merasa semakin tidak
bisa berkutik sekarang ketika mendapati tatapan ayahku yang penuh selidik. “Sungguh?
Oh, kenapa aku tidak percaya ya?!” timpanya.
“Mom?!” panggilku dengan nada lirih dan dengan maksud memohon agar
dia tetap tutup mulut, karena aku telah berubah pikiran dan bersedia untuk mengikuti
permintaannya.
“Kami hanya ingin kau jujur
Ken”
“Mom?! Please…”
“Jangan memohon ketika kau
sudah dengan terang-terangan menolak untuk berbicara baik-baik denganku
sebelumnya…”
“Sudahlah cukup..”
“Kalian tidak perlu berselisih
tegang seperti ini terus menerus”
“Ikatan kalian itu adalah
sebagai seorang ibu dan anak. Tidak seharusnya kalian berdua saling berselisih
paham dan beradu ego terus menerus”
“Yasudah kalau begitu kita minta
saja jawaban pasti darinya”
“Mengapa malam itu dia harus
berada di table yang sama dengan
Kendall?!” tantang ibuku. “Untuk apa?”
“Kendall bahkan sudah menjelaskan
sebelumnya Kris…”
“Dan mungkin kau memang
hanya salah paham saja?!” gotcha, mendengar pembelaan darinya terpaksa membuatku
menutup mata sejenak. Tau betul apa yang akan terjadi setelahnya dan benar
saja, disisi lain ibuku terlihat menatapku penuh permusuhan. “Maka luruskanlah
kesalah pahaman ini, Brian?!”
“Bagaiman kalau kita undang dia
di acara makan malam keluarga nanti?! Untuk mendengar dari mulutnya langsung,
ada hubungan apa sebenarnya dia dengan Kendall?!”
“Sehingga kita tidak menjadi
salah paham dan…”
“Menyebabkan putriku begitu sangat
marah, ketika aku hendak mempertanyakan kedekatannya dengan lelaki itu. Bahkan,
kau lihat sendiri tadi dengan mata kepalamu?! Bagaimana dia hampir saja ingin
menampar wajahku!” jelasnya dengan menggebu-gebu tetapi tetap menutupi rahasiaku
serta sebagaian fakta yang sebenarnya dari ayahku, walaupun tetap saja hal itu
tidak mengubah fakta bahwa keberuntungan sedang tidak berpihak padaku.
Terlebih lagi, bukan akhir
perdebatan yang seperti ini yang ingin aku dapatkan ketika kami sepakat untuk
duduk dan menyelesaikan permasalahan yang ada. Tidak bisakah ibuku membungkam saja
mulutnya itu demi bisa menjaga perasaan ayahku walaupun hanya sedikit saja.
Sebab, aku tidak yakin kalau
hubunganku dengan ayah tidak akan buruk setelah ini. Terlebih kalau ibuku sampai
benar-benar memperjelas rahasia yang sebenarnya antara aku dengan Zayn, aku
yakin semua kebebasan yang selama ini aku rasakan pasti sudah tidak bisa lagi
aku dapatkan.
Menjadi penerus dari
perusahaan keluarga yang bergerak di bidang otomotif, membuat kesuksesan
seorang Zayn Malik menjadi bahan pujian semua orang dan lelaki itu bisa dengan
mudah mendapatkan apapun tanpa perlu bersusah payah.
Sehingga bisa dipastikan
hampir semua orang di seluruh pelosok dunia pasti sudah mengetahui bagaimana
sukses dan tanpa cacatnya keluarga Malik itu. Akan tetapi, kesuksesannya itu
terasa ganjil untukku karena tidak ada satu pun dari media yang berani mencari
tau mengenai isu-isu buruk yang menghampiri kehidupan pria itu dan keluarganya.
Bahkan, tidak ada satu orang
pun yang bisa dengan mudahnya memperpanjang berita tentang satu saja kesalahan
kecil yang pernah dia dan keluarganya perbuat di masalalu ataupun sekarang. Dan
betapa beruntungnya aku, ketika takdir membawanya mendekat kepadaku hingga kami
berakhir menjadi FWB (Friends with
benefit) walaupun dengan beberapa persyaratan tertentu.
Dan bagi siapapun yang
berpikir bahwa hidup ini bukan seperti cerita di dalam Novel. Tentu saja akan
menganggap bahwa semua hal ini terasa mustahil. Sebab, bagaimana mungkin
seseorang yang sukses seperti dirinya sampai saat ini dikabarkan tidak pernah
mempunyai rival dan gilanya dia bisa hidup dengan tenang tanpa
adanya pemberitaan tidak mengenakkan.
Sangat tidak masuk akal
bukan? Bahkan, pemimpin Negara saja yang punya kuasa penuh dan juga kedudukan
pasti akan Negara-nya sendiri. Begitu sulit untuk menghentikan pemberitaan
tidak mengenakan tentang dirinya sendiri dari media.
Lalu, bagaimana mungkin dia
dan keluarganya yang hanya seorang pembisnis seperti keluargaku mampu menghalau
media mencari jejak buruk yang telah dilakukan dengan begitu mudahnya.
Apakah karena kuasaan yang
telah diwariskan oleh kakeknya itu, makanya media tunduk padanya? Entahlah, hal
ini mungkin hanya bisa di jawab oleh dia dan keluarganya saja. Karena
sejujurnya, aku tidak perduli dan sepertinya kehadirannya di kehidupanku memang
hanya untuk membereskan segala kekacauan yang aku perbuat saja.
Entahlah?!
“Apa benar yang dikatakan
ibumu?”
“Bahwa, kau hampir
menamparnya karena berkaitan hubunganmu dengan bajingan itu?” tanyanya menunggu
jawaban yang sesungguhnya dari bibirku sendiri. “Jawab Ken?!”
“Dia punya nama Dad?!”
“Jangan coba-coba
memperingatiku Kendall!”
“Sudahlah Brian…”
“Lebih baik kita undang saja
dia di acara makan malam keluarga dan selesaikan segala yang perlu kita
selesaikan” tuturnya tanpa beban yang benar-benar membuatku lantas membatu,
sehingga aku hanya mampu bungkam dalam diam. “Tutup mulutmu Kris?!
“Aku hanya ingin mendengar
jawabannya langsung dari mulut putriku!”
“Jadi, apakah kau ingin
berbohong kepadaku Ken?” tanyanya dengan raut wajah penuh kekecewaan, membuat
hatiku luluh dan lantas mengingat kembali saat pertama kali aku berkenalan
dengan Zayn yang juga menjadi alasan kenapa aku masih berhubungan dengannya
hingga saat ini.
Flashback on
Bertemakan fall winter supercars dengan
paduan musik ber-genre futuristic subway sistem, pada akhirnya fashion
show yang di selenggarakan di salah satu gedung mewah tepat berada ditengah
kota New York ini dapat berjalan dengan lancar dan tidak mengecewakan para tamu
undangan yang terdiri dari berbagai kalangan.
Bahkan, menjadi suatu prestasi yang patut
dibanggakan juga untuk akhir karirku karena aku kembali di berikan kepercayaan
untuk berjalan di run way fashion show ini dengan mengenalkan
koleksi pakaian musim dingin terbaru dari brand ternama yvas asal
Paris yang kini sedang menjalin kerja sama dengan perusahaan otomotif asal
Italia.
Memasuki salah satu kamar Hotel yang memang telah
mereka sediakan untuk para model berisirahat dan bersiap-siap menghadiri acara after
party, atas suksesnya fashion show yang telah mereka selenggarakan.
Sejenak aku pun merebahkan tubuhku di atas ranjang
berukuran double king size ini dengan mata yang terpejam, hingga kemudian
suara langkah kaki berhasil mengusik ketenangan dan membuatku menoleh tepat
kearah sumbernya. “Selamat Ken…”
“Sebentar lagi kau benar-benar akan menikmati waktu
libur panjangmu dan aku akan tetap sibuk mengurus semua rencana bisnis barumu?!”
sindirnya dengan nada santai seraya terlihat tengah sibuk merapihkan dress dalam
jinjingan tangannya, membuatku memilih untuk memalingkan wajah dan lantas menatap
langit-langit kamar ini.
“Menikmati waktu libur panjang tetapi masih di temani
oleh Felix sama sekali bukanlah ide yang bagus Hails?!”
“Tetap akan membosankan!” ucapku terdengar merajuk,
membuatnya kemudian tertawa remeh dan dari sudut mata aku lihat dia
memposisikan kedua tangannya untuk bertelak pinggang.
Satu tahun sudah menjadi sahabat sekaligus assistant
pribadiku, hadirnya Hailey di kehidupanku benar-benar membawa banyak perubahan.
Dan jujur saja, aku begitu merasa beruntung di ujung kesedihanku saat itu Tuhan
mempertemukan kami sebagai dua orang yang tengah merasakan kesakitan.
Jika saat itu aku tengah kesakitan karena mengalami
kecelakaan parah dan sedang dalam masa depresi, dia justru tengah kesakitan
karena di tinggal Ibunya untuk selama-lamanya karena kecelakaan yang mungkin di
akibatkan olehku saat itu.
Entahlah, bagaimana kejadian yang sesungguhnya. Satu
hal yang pasti adalah polisi mengatakan bahwa kedua pihak sama bersalahnya.
Berdasarkan keterangan polisi, mobil dari arah depanku yang mana di kendarai
oleh Nyonya Hill, Ibunya Hailey oleng kearahku dan pada saat itu aku juga
tengah dalam kecepatan yang tinggi. Hingga terjadilah kecelakaan tersebut yang
juga melibatkan dua mobil lainnya dari sisi yang berbeda.
Sedang di timpa depresi yang cukup parah, ditambah
harus menghadapi proses hukum. Jujur saja keadaan itu sempat membuatku
melakukan percobaan bunuh diri sebanyak dua kali. Walaupun pada akhirnya, semua
berakhir sia-sia karena aku tetap hidup namun tak kunjung lelah menghakimi diri
sendiri dan menyesal pernah ada di dunia ini.
Hampir genap satu bulan menjalani hidup yang kacau,
kedatangan Hailey di Mansion keluarga yang sebelumnya sempat mendapatkan
penolakkan dari Ayahku. Kala itu entah kenapa aku tergerak menerima
kedatangannya untuk menemuiku. Menghadapi air matanya serta terus mendengar
cerita tentang dia dan ibunya, membuatku tidak lagi menatap kosong serta berani
lebih dekat merangkulnya dan berucap memohon maaf kepadanya berulang kali
hingga aku berakhir mengeluarkan air mata karena sebelumnya aku lebih terlihat
sepeti mayat hidup.
Dan siapa sangka bahwa sikapnya yang dewasa serta
ketangguhannya dalam menghadapi takdir, membuatku banyak berkaca dan tertampar
untuk sadar bahwa dunia tidak bisa selalu berputar sesuai keingananku. Jika
bukan karenanya yang merangkulku untuk memulih, mungkin aku sudah enggan
menjalani hidupku lagi.
“Jangan sia-siakan kesetiaan Felix padamu Ken” peringatnya
tanpa permisi, membuatku lantas menghembuskan nafas lelah dan mengusap wajahku
dengan kedua telapak tangan. “Jangan berkata seolah dia adalah kekasihku Hails?!
Itu Menjijikan..”
“Ayo, bantu aku?!”
“Lebih baik kita selesaikan malam ini dengan cepat”
“Sebelum kau berakhir kembali membicarakan gossip
tentang bastard itu dan wanita one night stand-nya” ajakku dengan
senang hati seraya merubah posisiku menjadi bangkit dari ranjang dan melangkah
kearahnya yang tengah bersandar pada sisi meja rias. “Gossip adalah
fakta yang tertunda?!”
“Lagi pula, kenapa kau tidak membalasnya saja sih Ken?!”
“Aku yakin di luar sana juga pasti banyak lelaki
yang sedang menginginkanmu” menggeleng cepat atas saran yang dia tawarkan dan
mengambil alih dress hitam yang ada dalam jinjingan tangannya,
membuatnya kemudian membenarkan posisi tubuhnya dan meninggikan sebelah alisnya
guna meminta penjelasan. “Kenapa?”
“Aku malas berurusan dengan bajingan seperti mereka
Hails”
“Menghadapi
satu bajingan saja sudah cukup membuatku hampir hilang kewarasan?!” jelasku,
sebelum sepenuhnya memasuki kamar mandi untuk mengganti pakaian. “Maka
manfaatkanlah bajingan lain agar bajingan satunya merasa terkalahkan Ken?!”
“Dan apa bedanya aku dengan model-model yang
menjadi wanita one night stand-nya kalau begitu?”
“Jelas saja berbeda!”
“Kau memiliki kendali sedangkan mereka
dikendalikan!”
“Tetap saja, aku tidak mau?!”
“Lalu mau sampai kapan pura-pura move on?”
“Mengharapkan pria egois itu sadar akan cintamu
yang tulus itu sepertinya sama saja dengan kau mengharapkan bisa menemukan
ujung dari lautan?!”
“Mustahil? Begitukah maksudmu?”
“Kenyataannya memang begitu?!”
“Ah sudahlah, segalanya terserah padamu” ucapnya
terdengar pasrah seraya bergerak untuk mengeluarkan berbagai alat-alat make-up
dari dalam tasnya itu, sedangkan aku sibuk mengganti pakaian di dalam kamar
mandi yang sengaja tidak ku tutup pintunya. “Kemarilah,
biar aku bantu” menanggapi ucapannya yang berniat membantu untuk merekatkan resleting
gaunku dengan melangkah ke arahnya, segera aku pun berucap terima kasih dan
mengenakan sarung tangan berbahan kulit sepanjang lengan yang berwarna hitam
lalu memilih terduduk di kursi meja rias untuk dia make-up.
Mendorong beberapa obat yang harus aku konsumsi
dengan air putih dan tidak ingin menghabiskan waktu lebih banyak lagi di
hadapan cermin besar dalam kamar mandi, aku pun segera berlalu untuk
menghampiri Hailey yang kini telah berdiri menungguku di dekat pintu kamar ini.
Melempar senyum permohonan maaf karena telalu lama
di dalam kamar mandi dan menerima sebuah clutch bag berwarna hitam dari
uluran tangannya, dengan baik hati dirinya pun membuka pintu kamar ini dan
mempersilahkan aku untuk keluar lebih dulu.
Langsung di sambut oleh Felix dan beberapa orang bodyguard
suruhan ayahku dengan sapaan selamat malam, tidak membuatku lantas menghentikan
langkah sejenak dan memilih untuk tetap memasuki elevator yang kini akan
membawa kami semua menuju ke lantai dasar. Di ekori oleh Hailey yang kini sudah
berpindah posisi menjadi berdiri tepat di sisi kiriku, membuat para bodyguard
lantas berpencar menempati posisi di barisan paling depan dan belakang.
Mendapati seluruh pasang mata terarah kepadaku
ketika baru saja keluar dari elevator, tidak membuat pengawasan mereka
menjadi lengah terhadapku. Sehingga, dengan tegas Felix dan para bodyguard-ku
yang lain pun membukakan jalan untuk kami menuju ke sisi ruangan yang
tidak terlalu ramai.
“Kendall Jenner” serunya seraya membentangkan
tangan lebar-lebar dan lantas membuatku menoleh kearahnya seraya menerima
dekapan singkat darinya. “Pascal Yvas Tamawijaya”
“How are you?” tanyaku.
“Good, how about you?”
“Kau terlihat benar-benar mempesona malam ini Ken”
pujinya.
“I’am good. Thank you..”
“By the way, kenalkan ini Hailey.
Assistant pribadiku” ucapku seraya menarik lengan Hailey untuk mendekat,
kemudian di sambut oleh Yvas dengan uluran tangan. “Yvas”
“Hailey” balasnya.
“Jadi, sudah berapa lama kau menjadi assistant
dari wanita super model ternama ini?” tanyanya terdengar menggoda.
“Hampir satu tahun”
“Bagaimana? Apa dia membuatmu kesulitan?”
“Aku tidak begitu Yvas” tukasku yang dia indahkan
dengan menganggukkan kepala seraya tertawa renyah dan hal ini membuat Hailey
tersenyum kikuk.
“Mh.. Ken, Yvas. Aku kesana sebentar ya?” sela
Hailey mengintrupsi yang aku indahkan dengan menganggukkan kepala sebagai tanda
persetujuan. “Kau membuatnya takut Yvas”
“Ah sayang sekali, padahal aku bersedia memberikan
banyak hadiah untuknya jika saja dia tidak takut padaku”
“Jangan macam-macam?!”
“Umurnya bahkan setara dengan aku dan Mark”
“Jangan terlalu serius?! Aku hanya bercanda Ken”
jawabnya, membuatku menggangguk paham.
“By the way, aku ingin mengucapkan banyak berterimakasih
kepadamu karena akhirnya kau bersedia untuk berada di runway malam ini” tersenyum
masam atas apa yang dia ucapkan, seketika itu juga hatiku merasa tidak nyaman
karena beberapa orang model mulai berbisik-bisik seraya menatap remeh ke
arahku. “Bukan masalah…”
“Rasanya ini juga cukup sepadan untuk akhir dari
perjalanan karirku” mendapati tatapan terkejut darinya karena aku yang berucap
demikian, seketika itu pula raut wajahnya berubah menjadi menyinggung senyum
kikuk. “Jadi, semua berita itu benar?”
“Ya, benar…” jawabku seraya menganggukkan kepala
atas pertanyaan yang dia ajukkan, namun hal itu tidak lantas membuatnya mampu
menyembunyikan seluruh ekspresi keterkejutannya dari hadapanku saat ini. “Apa
kau yakin dengan keputusanmu itu?”
“Entahlah…”
“Sudah aku duga?!”
“Menyerahkan
predikat sebagai model dengan bayar tertinggi memang tidak semudah ketika kau
sudah bosan dengan satu lelaki Ken”
“Itu
benar…”
“Lalu, bagaimana dengan bekerja di belakang layar?”
tanyaku mencoba mengalihkannya atas keputusanku yang memilih mundur dari dunia modeling
dan lantas dia sambut dengan senyum seraya menggukkan kepalanya. “Lebih
memiliki banyak relasi tentunya…”
“But, over all. Hampir sama saja?! Terkadang
menyenangkan dan melelahkan juga” ucapnya seraya memainkan jari tangannya yang
menggenggam gelas champagne.
“Tetapi pemasukkan tentu jauh berbeda, benarkan?”
tebakku setelah lebih dahulu menyesap champagne dan dia setujui dengan
sebilah senyum ramahnya. “Kau sudah
memiliki fame Ken. Sayang sekali kalau tidak dimanfaatkan?!”
“Lagi pula, memangnya uangmu itu akan berlipat
ganda dengan sendirinya kalau kau tidak lagi bekerja dan mundur dari di
industry ini?”
“Tidak sepenuhnya aku mundur dari industry yang
telah membesarkan namakuu ini Yvas” koreksiku. “Lalu?”
“Awal bulan Mei nanti datanglah ke acara
launching butikku...”
“Astaga, kita harus segera merencanakan kontrak
kerja sama kalau begitu?!” usulnya terdengar sangat antusias. “Aku bahkan belum
menikmati waktu libur panjangku Yvas” kataku membuatnya tertawa.
“Kau benar-benar penuh kejutan Ken!”
“Thank’s…” balasku.
“Ah ya, kau lihat pria yang disana?” menggangguk
karena aku menemukan kemana arah yang dia tujukkan, membuatku lantas bergerak
gelisah ketika pria di sebrang sana menatap balik kearah kami disini. “Sekarang
dia adalah CEO (Chief executive officer) dari perusahaan otomotif
bernama Ferro Malik Warrior S.p.A asal Italia yang saat ini
sedang menjalin kerjasama denganku?!”
“Anak dari pengusaha bernama Simon Malik, sekaligus
cucu dari pendiri organisasi Formula One S.p.A (For Malik Universal Last Association One)” jelasnya setelah lebih dahulu menyapa pria
itu dengan mengangkat tangannya yang memegang champagne dan lantas pria
itu indahkan dengan melakukan hal yang sama, walaupun tetap saja raut wajahnya
menunjukkan kesan dingin dan angkuh. “Sama sekali bukan ide yang bagus Yvas”
ejekku.
“Aku hanya berusaha menjadi rekan yang ramah saja
Ken”
“Well, Apa kau tertarik?!”
“Maksudmu?” tanyaku seraya menyeritkan dahi.
“Kau single-kan?”
“Jangan pura-pura tidak tau Yvas?!”
“Seluruh media bahkan tengah sibuk mengumumkan
bagaimana statusku saat ini karena ulahnya” keluhku yang dia tanggapi dengan
merangkul bahuku. “Kalau begitu tepat sekali?!”
“Mau aku kenalkan padanya?”
“Come on, jangan membuatku terlihat seperti
para model ONS (One night stand) dan kau yang menjadi perantaranya
Yvas?!” keluhku.
“Kris akan membunuhku kalau sampai aku berani
memperlakukanmu seperti itu Ken?!”
“Kalau begitu jangan memperkenalkan aku
dengannya?!”
“Come on, jangan terlalu kaku…”
“Inikan hanya sebuah perkenalan saja Ken, tenanglah..”
melebarkan mataku karena dia lantas melambaikan tangan kepada pria itu, membuat
kakiku lantas terpaku karena orang yang di maksud mengindahkan panggilan dari
Yvas. “Lagi pula, menurut riset berkenalan dengan orang baru merupakan cara
yang cukup baik untuk mood seseorang kedepannya Ken”
Dasar
pembohong!
“Hey, nice to see you Zayn..”
“Nice to see you too, Yvas”
“Ada apa? Apa ada sesuatu hal yang penting?”
tanyanya begitu to the point dan tetap beraut wajah tegas. “Nope”
“We’re just want to join with you” balasnya.
“Oh, ok…”
“Ah ya, Zayn. Perkenalkan ini adalah model yang
bekerja sama dengan kita untuk acara malam ini” ucapnya yang terdengar menjijikkan
ditelingaku karena aku merasa seperti wanita murahan yang sedang ditawarkan
kepada pria di hadapanku ini. “Zayn Javvad Malik” sambutnya.
“Kendall Nicole Jenner” jawabku seraya menatapnya
dan menerima uluran tangannya yang dingin. “Guys, kalau begitu aku tinggal
kesana dulu ya?!”
“Selamat menikmati acara after party ini…”
ucapnya yang di lengkapi dengan senyum, membuat pria ini menganggukkan kepala
sebagai tanda persetujuan seraya mengakat segelas champagne dalam
genggaman kepadanya. “Thank’s, you too”
Sepakat untuk berjalan kearah meja bar bersisian
dengannya, sontak membuat perhatian beberapa orang tertuju kearah kami.
Terutama para model yang sedang berjoget menikmati acara ini di tengah dance
floor. Oh God! Menjijikan sekali.
“Sepertinya mereka juga ingin berkenalan denganmu
Zayn?!”
“Pergilah, dan bergabung dengan mereka…” ucapku
mempersilahkan seraya bersandar dan meletakkan gelas champagne milikku
yang telah kosong di meja bar. “Aku tidak tertarik berada di dance floor dan
menjadi perhatian banyak orang…”
“Lagi pula, kita bahkan belum saling mengenal
Ken?!”
“Alasan?!”
“Sorry?” tanyanya atas penyataan yang aku
ucapkan, sehingga membuatku lantas menatap lekat dia di tengah ruangan yang
minim cahaya ini. “Zayn?!”
“Kau tidak perlu bersikap formal seperti itu
padaku?!”
“Aku yakin kau juga tidak buta ataupun tuli untuk
mengetahui siapa dan bagaimana aku. Jadi, berhentilah berpura-pura seolah kau
tidak mengetahuinya?!”
“Baiklah…”
“Tapi, apa kau tidak berniat untuk menjelaskannya
saja agar media berhenti memberitakan tentang permasalahanmu itu?”
“Aku tidak punya waktu untuk menanggapi
berita-berita sampah seperti itu?!” mendapati tatapan menelisik dari iris
berwarna hazelnya, tidak lantas menghentikan niatku untuk meraih tequila
yang disuguhkan oleh bartender. “Thank’s” ucapku.
“Jangan menatapku seperti itu!”
“Kenapa?”
“Karena kau terlihat seperti bajingan yang sedang
mengincar mangsanya?!” sindirku agak sarkas dan menatapnya serius, membuat raut
wajahnya yang tegas kian berubah menjadi menyinggung senyum tipis dan terdengar
berdecih remeh. “Aku bisa mendapatkan apapun yang aku inginkan tanpa harus
mengincarnya terlebih dahulu”
“Sombong sekali?!”
“Faktanya begitu…”
“Apakah beginikah caramu mendapatkan mangsa?”
tanyaku yang lebih dahulu meminum tequila hingga tandas. “Dan apakah kau
merasa menjadi mangsaku?”
“Karena kalau iya, simpanlah…” ujarnya seraya
menyerahkan kartu nama dan hal ini lantas membuatku meninggikan sebelah alis
sambil berusaha menahan emosiku. “Kau bisa menghubungiku kapan pun” lanjutnya.
“Oh yaampun…”
“Andai saja para model ONS (one night
stand) disini mendengar tawaranmu ini, aku yakin mereka pasti akan menjerit
dan meraung-raung kepadaku?!”
“Lalu, bagaimana dengan penawaranku?”
“Akan aku pikirkan..” putusku seraya pergi berlalu
dari hadapannya untuk mencari keberadaan Hailey tanpa perduli padanya yang
masih tergelak.
“Kenapa kau malah pergi?!” tanyaku, ketika
menghampiri Hailey yang tengah sibuk menenggak champagne. “Sorry, Ken..”
“Aku hanya merasa tidak nyaman dengan tatapan Yvas kepadaku
tadi”
“Lagi pula, aku juga tidak yakin bisa menyesuaikan
diri dengan pembicaraan kalian” memutar bola mata malas karena ucapannya yang
berlebihan, segera aku pun berlalu dari hadapannya. “Oh God, bahkan itu terdengar
jauh lebih baik Hails”
“Kenapa begitu?”
“Yvas bertingkah sesuka hatinya tadi..”
“Bertingkah sesuka hati bagaimana? Aku tidak
mengerti?!”
“Dia memperkenalkanku kepada rekan bisnisnya…”
“Dan yang lebih menyebalkannya lagi?! Bajingan itu
sangatlah sombong!”
“Serius? Lalu bagaimana?”
“Apanya yang bagaimana?”
“Bajingan itu tertarik tidak padamu?”
“Aku menolak tertarik padanya?!”
“Lagi?” tanyanya begitu terkejut, namun dengan
percaya diri aku lantas mengangguk seraya tersenyum bangga. “Dia terlalu
sombong?!”
“Memangnya siapa pria itu Ken?” mengabaikan
pertanyaan yang dia ajukkan karena aku tidak ingin dia kembali memaksa,
seketika itu juga dirinya menarik paksa tanganku dan berhasil membuat langkahku
terhenti.
“Cucu dari pendiri organisasi Formula One
S.p.A (For Malik Universal Last Association One)
dan jangan tanyakan hal lain tentangnya, karena aku sendiri tidak
memiliki jawaban lain” peringatku dengan tatapan sungguh-sungguh, seraya meraih
gelas champagne dalam genggamannya dan menaruh gelas tersebut di atas
nampan kosong yang sedang waiters angkat. “Astaga Kendall!”
“Kenapa kau melewatkan kesempatan emas?”
“Ibuku akan menyuruhku untuk memecatmu sekarang
juga kalau sampai dia mendengar perkataanmu barusan Hails”
“Biar saja?! Aku rela dipecat?!”
“Selama kau bisa membungkam si bastard itu
dan para media yang memberitakan berita-berita sampah. Aku sama sekali tidak
masalah..” katanya terdengar tulus dan kenak-kanakkan.
Oh
God, kemana perginya Hailey-ku yang dewasa itu?!
“Dan maksudmu?!”
“Kau mendukung Yvas sebagai perantara untuk menjadikan
aku wanita ONS (One night stand), begitu?”
“Memanfaatkan pria itu selain untuk urusan
ranjangkan bisa Ken?!” usulnya dengan nada kecewa. “Lagi pula kenapa hanya ada permasalahan
ranjang saja sih di dalam kepalamu itu?!”
“Dan kau pikir pria itu sudi membuang waktunya
hanya untuk membantuku membersihkan berita-berita sampah itu, begitu?”
“Idemu bagus juga?!”
“Kenapa kalian tidak berbagi keuntungan saja?”
“Kau memenuhi permintaannya dan dia memenuhi
permintaanmu. Dengan begitu kalian akan sama-sama merasa untung bukan?” ujarnya
tanpa dosa, membuatku lantas melempar tatapan membunuh kepadanya karena dia
telah berani berucap demikian ditengah keramaian. “Sialan
kau, Hails?!”
“Jangan membuatku terdengar seperti seorang model
ONS (One night stand) yang sedang membicarakan pelanggannya” rutukku dengan
nada tegas dan tanpa pandang bulu, membuat kedua matanya membulat penuh
keterkejutan.
“Sorry,
tapi tentu saja kau bisa menyalahkan Yvas karena tidak memperkenalkannya padaku
saja?!” ucapnya yang kini berusaha mencairkan suasana, namun tetap menatap
lekat kearahku dengan tatapan meyakinkan. “Yasudah, hubungi saja Yvas kalau kau
benar-benar ingin merasakan pria itu?!”
“Aku duluan…” putusku seraya mengusap lembut
sebelah pundaknya sebegai tanda bahwa aku menerima permintaan maafnya, kemudian
barulah aku berbalik untuk kembali melanjutkan langkahku menuju ke arah elevator.
Kembali menatapnya yang masih bersandar di meja bar,
dapat aku perkirakan bahwa tinggi badannya mencapai 176 centi meter dan
nampak casual dengan texudo lengkap berdasi pita yang mana tengah
asik menyesap segelas champagne. Seperti mengetahui bahwa dia sedang
diawasi, Zayn pun sedikit terusik disana. Sehingga, ketika dia menoleh
tatapannya pun menjadi menggelap ketika menatapku.
Merasa bersalah karena mengamatinya dengan
diam-diam, aku pun membawa tatapanku kembali kearah elevator dan menjadi
sedikit bergerak gelisah dengan dalih mengusap tengkuk leherku guna mengusir
ketegangan.
“Apa anda baik-baik saja Nona?” tanyanya terdengar
khawatir, karena mungkin dia melihat aku yang tiba-tiba bersikap gelisah.
“Aku baik-baik saja”
“Ah ya, Felix..”
“Tolong kau
perintahkan beberapa dari mereka untuk menjaga Hailey disana ya?” perintahku
dengan nada santai namun tak ingin dibantah.
“Siap Nona” katanya, kemudian barulah aku memilih
untuk memasuki elevator bersama Felix dan dua bodyguard lain.
Sedangkan empat bodyguard lainya telah aku perintahkan untuk tetap
bersama Hailey.
Sebelum pintu elevator ini benar-benar
tertutup, sejenak aku pun kembali mencuri pandangan ke arah Zayn dan sungguh
benar-benar di luar dugaan karena tatapan pria itu lagi-lagi bertemu dengan
tatapanku.
Flashback off
Ket :
[1] Lumiére
dans les ténèbres dalam bahasa Prancis berarti cahaya dalam kegelapan
Komentar
Posting Komentar