DIRTY BUSINESS - 7

 

 

Di suguhi banyak hidangan makan malam dengan beberapa pilihan menu dari shrimp tempura roll, bigeye tuna roll dan berbagai jenis sushi lainnya dalam porsi yang berukuran besar. Membuatku yang tidak menyukai ikan salmon, lebih memilih untuk memakan salad dari pada harus merasakan mual karena merasakan aroma amis dimulutku.

Ikut mengatup kedua tangan ketika ayahku memutuskan untuk memimpin doa, pada akhirnya kami semua tidak lagi harus menahan lapar hanya karena menunggu kedatangannya dan mulai menikmati hidangan yang telah di sajikan.

Ya, pasalnya hampir setengah jam sudah kami menunda makan malam demi untuk menunggu kehadirannya yang beralasan bahwa mobilnya mengalami sedikit masalah. Padahal, aku cukup mengetahui bahwa dia juga sama malasnya sepertiku untuk ikut menghadiri acara makan malam rutin dua keluarga di setiap menjelang akhir tahun.

I got the message from, Niall..” sontak seluruh tatapan yang ada di meja makan ini pun menatap lekat kearahnya, dan hanya aku yang tetap melanjutkan santap makan malamku tanpa mau repot-repot mengetahui kelanjutan kabar dirinya.

“Dia bilang apa?”

“Apa mobilnya sudah benar? Atau bagaimana?” tanya Leo, yang merupakan ayah Niall dengan antusias dan terdengar khawatir namun bukan cemas.

“Biar bodyguard-ku yang menjemputnya kalau masih bermasalah juga” timpa ayahku, seolah menjukkan bahwa dia juga sangat menginginkan kehadiran Niall di tengah-tengah makan malam bersama ini. “Sepertinya itu tidak perlu…”

“Apa maksudmu Kyl?”

“Dia sudah melanjutkan perjalanannya untuk menuju kesini, but..” ucapnya terjeda membuat tatapanku tertuju kearahnya seraya meninggikan sebelah alis, karena sedikit penasaran akan kelanjutan dari kata-kata kylie.

“Tapi kenapa Kylie?” tanya ibuku lagi yang nampak mewakili pertanyaan seluruh pasang mata yang tengah menatapnya di meja makan ini. “Katakan Kyl” timpa ayahku.

“Benar?! Jangan membuat kami penasaran” sambung Leo.

“Dia mengajak seseorang untuk bergabung besama kita disini…” jelasnya yang justru membuat suasana menjadi hening seketika, sehingga aku pun berupaya untuk memulihkan keadaan dengan berdehem mengintrupsi.

“Emm.. Sorry, aku izin ke toilet sebentar” mendapati ibuku memutar bola mata malas seraya terdengar dengusan napas kasar dari arah tempat duduknya di ujung sisi kanan, segera aku pun bangkit dari keterdudukan dan mengeratkan kain bersimpul pita dipinggangku. “Felix” panggilnya. 

“Siap Tuan” balasnya seraya bangkit dari keterdudukan, membuatku lantas berhembus nafas kasar dan menatap lekat kearah ayahku yang juga tengah menatapku seolah memberi peringatan agar tidak membantah. “Temani Kendall”

“Tidak perlu…” tolakku dengan raut wajah memohon.

“Biarkan dia, Brian”

“Jangan terlalu berlebihan…” dukung Kate di seberang sana, membuat ayahku dengan cepat lantas memejamkan mata sebentar dan kembali terbuka seraya dihiasi senyum tanda persetujuan. “Baiklah…” putusnya.

“Kau tunggu saja disini” mengangguk patuh atas ucapanku, membuat Felix kembali terduduk. Sedangkan aku dengan cepat meraih clucth bag dari atas meja.

“Jangan lama-lama” pinta ayahku yang tak lemas untuk mengawasi gerak-gerikku.

“Iya Dad” kataku patuh.

Menekan tombol flush yang ada di water closet dan merasa jauh lebih baik dari sebelumnya, aku pun segera beralih ke arah wastafel dan sejenak aku terdiam memandang diri sendiri di depan cermin besar.

Berkutat dengan pemikiran sendiri atas ucapan Kylie mengenai Niall yang akan mengajak seseorang untuk bergabung dalam acara makan malam ini, membuatku mengambil kesimpulan bahwa Hailey lah orang yang akan Niall ajak untuk bergabung makan malam bersama kami disini.

Menyingkirkan sejenak pemikiran mengenai dirinya dan kembali melanjutkan niatku yaitu mencuci tangan seraya mengeringkannya dengan meraih tissue yang telah tersedia, tidak lupa aku pun kembali mengenakan sarung tangan berbahan kulit yang kali ini berwarna coklat tua dengan zipper melintang dari jari tengah hingga ke sisi bagian pergelangan tangan serta mengeratkan kain bersimpul pita yang terlingkar dipinggangku untuk menjadi perkat bathrobe berbahan dasar silk  yang saat ini sedang aku gunakan.

Begitu melangkah keluar dari toilet, tatapanku saat ini tertuju kearah meja makan tempat mereka berada dan mendapati orang yang di nanti sedari tadi telah tiba. Entah kenapa, hatiku pun menjadi enggan untuk kembali bergabung dengan meraka disana.

Suara debur ombak pantai Malibu. Ya, mungkin karena itu. Makanya, aku sedikit tergoda ingin menikmati sebentar saja suasana tempat makan outdoor yang mana langsung menghadap ke arah bibir pantai Malibu dari pada kembali lebih cepat untuk bergabung dengan mereka disana.

Sejenak memanfaatkan situasi ini dengan memesan minuman terlebih dahulu di bar yang tersedia, segera aku pun menyesap perlahan cooler glass cocktail yang ada dalam genggaman. Menikmati kuatnya rasa remy martin yang di padu dengan ginger ale khas restaurant nobu, membawaku ingin cepat-cepat menghabiskan minuman ini dengan melihat pemandangan di luar sana tanpa perduli dengan udara bersuhu rendah diluar sana.

Tetapi?!

Prakkk...

Oh my God” pekikku dengan intonasi meninggi dan tatapan mata membulat sempurna karena terkejut. Sebab, lelaki di hadapanku ini telah membuat segelas cocktail yang sangat ingin aku rasakan menjadi berakhir di lantai bergabung bersama pecahan gelas yang tersisa.

I’am really, really sorry…” ujarnya dengan raut wajah yang sama terkejutnya sepertiku dengan tangannya yang lantas memasukkan ponsel kedalam sakunya, sedangkan yang satunya menghimpit jaket kulit berwarna hitam dibagian lengan. “Saya benar-benar sedang terburu-buru…”

Hanya mampu menggerutu didalam hati karena sikapnya yang terlalu tenang, padahal kini seluruh tatapan pengunjung di restaurant ini sepenuhnya tertuju kearah kami. Segera aku mencuri pandang kearah belakangnya lebih dulu, barulah aku kembali menatapnya ketika meja di ujung sana tak menghiraukan keadaan ini.

“Hei… kau mendengarku?” tanyanya.

Well, lain kali perhatikan langkahmu ketika berjalan…”

“Beruntung bukan nenek tua yang kau tabrak” peringatku merasa kesal, yang kemudian dia indahkan dengan menganggukkan kepala. “Ya, aku benar-benar minta maaf”

Menelan siliva-ku dengan susah payah, seolah tengah terganjal oleh batu besar didalam tenggorokanku akibat tatapan matanya yang terlalu dalam itu. Aku pun berupaya menghindar dari tatapannya dengan segera berdehem pelan dan beberapa detik selanjutnya dia merepon dengan mengalihkan pandangan kearah pecahan gelas yang ada dilantai. “It’s ok”

“Pergilah kalau kau memang sedang terburu-buru”

“Biar aku yang mengurusnya…” putusku yang tidak ingin berlarut-larut, mengingat bahwa dia telah berulang kali meminta maaf karena sedang terburu-buru sehingga aku pun memilih untuk berbalik guna menyelesaikan kekacauan ini sebelum nantinya Felix atau pengawal ayahku mengampiriku disini atau justru malah pria dihadapanku memanfaatkan kejadian ini untuk dijadikan bahan berita esok hari.

‘Kendall Jenner terlibat pertengakaran dengan salah seorang pria di salah satu restaurant’

Oh tidak.. tidak…

“Huahhh….” pekikku teramat keras ketika tiba-tiba heels yang aku kenakan dengan sialnya tidak sengaja menginjak sisa minuman yang masih bercecer di lantai.

Namun aku begitu beruntung, karena dirinya masih belum beranjak pergi dan dengan cekatan dia menarik sebelah tanganku kesisi berbeda untuk menyelamatkan bokongku agar tidak mencium lantai yang masih berserakkan pecahan gelas.

Walaupun pada akhirnya dia juga hilang keseimbangan ketika aku berpegangan padanya dan nafasku harus sedikit tertahan karena posisi kami yang terbilang sangat intim ini, dimana kami berakhir di lantai dengan aku berada di atasnya dan dia berada di bawahku. Terlebih lagi, wajahnya dengan wajahku yang hanya berjarak beberapa centi saja mengakibatkan deruh nafas kami  saling bertukar satu sama lain.

Hal ini pun aku manfaatkan untuk meneliti sedikit bagaimana raut wajahnya jika dipandang dari jarak dekat. Bermula dari dua iris mata berwarna hijau miliknya yang tentunya tidak di miliki oleh banyak orang, membuatku bisa dengaan cepat membaca ada tatapan khawatir bercampur bersalah disana. Selanjutnya, beralih ke bulu-bulu di sekitaran atas bibir dan dagunya yang berwarna pirang itu seolah menunjukkan sisi lelakinya yang kental dan ya itu benar karena aku bisa merasakannya saat ini.

Tetapi, tatapanku berakhir pada tattoo dilengan kirinya yang begitu mengusikku dan aku merasa sangat tidak asing dengan salah satu ukiran tattoo dilengannya itu. Bertukar pandang guna menelisik lebih dalam, membuat tanganku yang ingin menyentuh ukiran tattoo berlambang pink floyd di lengan kirinya pun urung karena terkejut merasakan sesuatu bergetar di bawah sana. “Sepertinya, lain kali kau juga harus memperhatikan langkahmu…”

“Hmm.. sorry..” ucapku seraya bergegas menyingkir dari atas tubuhnya dan menahan tangan disandaran kursi kosong yang ada disisi kanan guna kembali memposisikan tubuhku untuk berdiri tanpa bantuan darinya yang masih berada dilantai.

“Kau baik-baik saja?”

“Ya…”

“Biar aku bantu?!” merasakan tanganku di genggam erat oleh tangannya yang menerima tawaranku, membuat posisi kami pada akhirnya kembali berdekatan saat ini. Namun, hal ini tak berlangsung lama karena aku lantas mengambil langkah mundur agar dia tidak merasa risih ataupun canggung.

“Terimakasih” ucap kami serempak dan hal ini membuat kami melempar senyum satu sama lain.

“Harry…”

“Maksudku, itu namaku. Dan kau?” meninggikan sebelah alisku karena cukup terkejut dirinya berucap demikian, membuatnya kemudian mengurungkan uluran tangannya dari hadapanku.

“Ah, lupakan..” katanya. 

Menyinggung senyum karena dia seolah tidak pernah melihat wajahku di berbagai media cetak maupun online, ingin sekali rasanya aku tertawa dengan sangat keras saat tiba-tiba dia mulai salah tingkah dengan bergerak mengusap tengkuk lehernya yang aku yakin bahwa hal itu dia lakukan karena merasa canggung.

 “Aku Kendall” balasku masih dengan senyuman yang terpatri karena sikapnya itu seraya mengulurkan tangan kearahnya tanpa ragu, kemudian lantas dia balas dengan menerima uluran tanganku hingga aku dapat merasakan cincin-cincin yang terlingkar dijarinya bergesekan dengan kulitku.

“Sekali lagi, terimakasih sudah menyelamatkanku Harry”

“Tidak perlu mengucapkan terimakasih kepada sumber masalah yang sebenarnya, Ken…”

“Kau hanya tidak sengaja Har” tukasku yang dia balas dengan anggukkan kepala setuju. “Ceroboh lebih tepatnya”

“Maaf, Tuan.. Nona? Ada yang bisa saya bantu?” sama-sama mengalihkan tatapan tepat kearah sumber suara yang nampak terlihat sedang memegang nampan di dada, membuat kami pada akhirnya saling melepas jabatan tangan yang tengah terjalin dan saling melempar tatapan canggung.

Segera mengambil langkah menjadi berada di sisinya yang memang membelakangi arah meja makan yang sedang di tempati oleh keluargaku karena tiba-tiba saja Harry sedikit bergeser dan bisa membuat posisiku terancam dapat di lihat oleh mereka dari arah sana.

Tidak ingin membuang-buang waktu, aku pun segera membuka clutch bag dalam genggamanku dan meraih AMEX milikku. Tetapi ketika aku ingin menyerahkan kartu ini kearah waiters, Harry lebih dulu menahan tanganku dan dirinya justru memberikan beberapa lembar uang pecahan dolar kepada waiters ini.  

“Untuk mengganti semua ini…”

“Sisanya simpanlah untukmu” ucapnya seraya menepuk pundak sang waiters setelah lebih dahulu melepaskan tangannya dari tanganku. “Baiklah, Tuan. Terimakasih..” jawabnya yang lebih terguir akan tip dari Harry.

Well, masih ada waktu beberapa menit…”

“Mau aku pesankan lagi untukmu?”

“Tidak perlu, Har”

“Lagi pula kita sudah impas”

“Jadi sekarang kau bisa pergi kalau kau mau?!” tawarku sungguh-sungguh karena beberapa kali aku dapati jari tangannya sibuk menekan layar ponsel dalam genggaman.  

“Dan kau?” ucapnya seraya melirik jam tangan yang terlingkar di lengannya. “Sendirian atau…”

“Aku menunggu temanku” selaku yang berdusta.

“Ok, kalau begitu sampai bertemu lagi Ken”

“Sebentar..” pintaku seraya menarik telapak tangannya ketika dia sudah berbalik badan dan hal itu berhasil menahannya.

“Kenapa?” tanyanya, membuatku yang termangu selama beberapa detik segera melepaskan kembali telapak tangannya kemudian aku sibuk mencari keberadaannya di dalam clutch bag seraya menepis ketakutan dalam diriku sendiri. “Sudahlah Ken…”

“Kau tidak perlu mencari cash kalau hal itu yang membuatku harus menunggu lebih lama” katanya yang kebingungan kenapa aku menahan kepergiannya, hal ini pun membuatku sesekali bernafas lelah dan memberikan tatapan peringatan bahwa dia harus sabar sebentar karena aku tengah mencari sesuatu untuknya.

“Ambil ini…” ucapku yang mengulurkan beberapa lembar tissue kepadanya dan justru dia indahkan dengan memasang raut wajah bingung seraya menamati dirinya sendiri dari atas hingga bawah dengan menyilangkan kedua tangan di dada. “Untuk apa?”

Membuatku pada akhirnya memutar bola mata malas dan sedikit berdecak sebal akan ketidak pekaan terhadap rasa sakitnya sendiri, sehingga dengan terpaksa aku memberanikan diri untuk melepaskan kedua tangannya yang tengah melipat di dada dan noda berwarna merah itu menimbulkan bekas di baju polosnya yang berwarna putih.

“Lihat, lukanya lumayan lebar…”

“Apakah kau sama sekali tidak merasakan sakit sedikitpun?” tanyaku yang mendapati  keterkejutan di wajahnya, ketika aku memutar sedikit tangannya. “Tidak”

“Hm.. maksudku hanya sedikit perih…” katanya begitu terbata-bata seraya membalas tatapanku.

 “Tahan sebentar” pintaku yang menutup lukanya dengan tissue, seraya menelan siliva secara kasar karena bingung harus berbuat apa sekaligus tidak tahan menatap lebih lama cairan itu yang tidak berhenti mengalir.

“Aku akan mencarikan obat…” ucapku yang langsung mendapatkan cekal darinya ketika ingin memanggil waitres, membuat tatapan kami pun lantas kembali bertemu. “Tidak perlu”

“Lagi pula, aku tidak ingin membuat seseorang menunggu lebih lama…”

“Ini juga sudah cukup” katanya.

“Kau yakin?”

“Ya” menampilkan raut wajah ragu, segera aku melepas kain bersimpul pita yang terlingkar dipinggangku kemudian mengulurkan kearahnya yang nampak terkejut. “Pakai ini..”

“Tapi-” belum selesai dia berucap, aku sudah lebih dulu menarik lengannya dan melingkarkan kain panjang yang menjadi perekat bathrobe-ku untuk membalut lukanya yang lebih dulu ditutupi tissue.Bathrobe-mu terbuka…” peringatnya.

“Tak masalah aku-”

“Pakai saja” selanya seraya merekatkan jaket kulit berwarna hitam miliknya yang menghadap berbalik hingga sepenuhnya menutup bagian depan dadaku, ketika aku selesai membalut lukanya. “Jangan menolak, karena waktuku tidak memungkinkan untuk berdebat saat ini”

“Thank’s”

“Lalu, bagaimana aku mengembalikkannya”

“Kita bisa bertemu disini…” 

“Baiklah, awal tahun di minggu pertama nanti aku akan menunggumu disini tepat pukul 8 malam. Bagaimana?”

“Ok. Aku setuju”

“Kalau begitu jangan sampai terlambat, karena aku tidak bersedia untuk menunggu”

“Untuk yang satu itu akan aku usahakan”

“Kalau begitu aku harus pergi…”

"Sampai bertemu lagi Ken” tersenyum guna membalas ucapannya, tanpa ba-bi-bu aku pun lantas memilih melanjutkan langkahku ketika dia lebih dulu melangkah pergi dari hadapanku.

Menatap ke arah lurus dan menikmati pemandangan di hadapanku. Satu-satunya hal yang terlintas di benakku saat ini mengenai pantai adalah tempat yang paling tepat untukku membunuh waktu. Sebab, suasananya yang begitu nyaman dan damai seolah mampu membuatku bisa melupakan sejenak beban dalam hidup yang selama ini mendesakku agar tetap kuat untuk bertahan.

Di terpa hembusan semilir angin malam membuat kuatnya aroma tembakau yang bercampur dengan vanila pada jaket milik Harry sedikit mengusikku, membuat jari jemari tanganku kian berpegangan erat pada pagar besi berukuran panjang yang menjadi batas pemisah antara keberadaanku dengan bibir pantai malam ini.

Bagi sebagian orang, dapat memandang langit dan berpijak di bumi yang sama. Mungkin merupakan suatu anugerah yang teramat luar biasa, terlebih untuk siapapun yang sudah menjadi bagian dari masalalu. Akan tetapi, hal itu tidak berlaku bagi aku dan dirinya.

Selayaknya menatap gemerlap cahaya bintang di langit malam ini, seperti itulah kiranya perumpamaan jarakku dengan dirinya saat ini. Tapi sejujurnya, jarak itu bahkan tidak cukup mampu menghalangi sang rasa untuk selalu mengganggu dan mengusik hatiku khususnya pada malam ini.

Wahai engkau yang tengah bermain di dalam hati dan pikiranku, mampukah engkau menjauh dariku lebih jauh lagi? Walau nyatanya, jarak kita memang sudah teramat jauh?

Akan tetapi.. Demi Tuhan, aku berdiam diri disini bukan untuk mengeluh perihal rindu terhadapnya. Melainkan, aku disini tengah merenung atas semua luka yang harus kuhadapi sendiri karena ketiadaan dirinya. Aku rasa sudah cukup aku selalu menyalahkan diriku sendiri dan melampiaskan kekesalan yang terpendam di setiap malam.

Sebab, rasanya aku sudah teramat lelah mengingat kembali kisahku dengan dirinya dan dengan bodohnya aku selalu saja menyalahkan sang senja di kala sore tiba. Terlebih, hanya karena senja pernah tak sengaja menjadi bagian dari kisahku dengannya.

Dimana, kisah masa lalu itu hanya penuh dengan luka dan air mata. Terlebih, kalau pun memang ada haru dan tawa. Aku rasa itu hanya tak sengaja ada atau mungkin terpaksa dia hadirkan untuk bisa berpura-pura bahagia bersama.

Terlepas dari segala hal yang pernah terjadi, aku selalu yakin bahwa ini semua adalah jalan terbaik yang telah Tuhan berikan. Baik itu untuk aku maupun dirinya. Sehingga, satu-satunya cara yang bisa aku lakukan untuk menerima semua jalan yang telah Tuhan pilih untukku adalah mungucapkan janji bahwa aku tidak akan pernah mengeluhkan rasa apapun yang mengatas namakan 'karena dia' lagi dan akan selalu berusaha terlihat baik-baik saja dihadapan semua orang.

Usahaku ini memang bukanlah sesuatu hal yang mudah. Terkadang sangat melelahkan dan membosankan juga. Tetapi, aku rasa ini akan jauh lebih baik untuk kedepannya dari pada aku harus selalu melihat rasa cemas dan air mata mereka akan kondisiku yang tak kunjung memulih.

Mengalihkan pandangan kearahnya yang tiba-tiba saja hadir tepat di sisi sebelah kananku, membuatku lantas memperhatikan penampilannya dari atas hingga bawah.

Dasi pita yang tersimpul di kerah bajunya seolah telah memperjelas siapa dia sebenarnya. Dan ketika aku membalikkan posisi badan menjadi menghadap kearahnya. Hal ini pun membuat dirinya sedikit mendongak saat menatapku karena tinggi badannya yang hanya sebatas bahuku.

“Maaf nona, ada titipan untuk anda” mengerutkan kening dan mencerna sejenak apa yang baru saja dia ucapkan, aku lihat tangannya pun mengulurkan sebuah paper bag berwarna putih dan bertuliskan nama restaurant ini kepadaku. “Titipan?”

“Dari siapa?” tanyaku guna memastikannya lebih dahulu, sebelum nanti aku memutuskan untuk benar-benar menerima titipan ini atau justru menolaknya dengan begitu saja ketika aku tidak mendapat keterangan jelas mengenai siapa nama orang yang menitipkan ini untukku.

“Dia tidak mengatakan siapa namanya”

“Tapi dia menitipkan ini kepada saya..” ucapnya seraya mengulurkan secarik kertas atas nama restaurant ini yang berwarna putih dengan posisi terlipat menggunakan tangannya yang satulagi ke arahku.

“Terimakasih”

“Kau bisa kembali melanjutkan pekerjaanmu..” jawabku merasa cukup atas informasi yang telah dia berikan, kemudian barulah aku meraih secarik kertas beserta paper bag yang sudah sedari tadi dia ulurkan.

“Permisi..” ucapnya bersamaan dengan aku yang mengangguk guna mempersilahkan dirinya yang ingin berlalu pergi dari hadapanku.

Kembali menghadapkan pandangan kearah pantai seraya menyanggah kedua tanganku di pagar besi yang menjadi batas, tanganku pun dengan cermat membuka secarik kertas berwarna putih yang di lipat secara asal kemudian membaca goresan tinta yang tertulis di atasnya.

‘Merry Christmas – Harry’

 


Flashback on

Memilih untuk melepaskan apron berwarna hitam yang sedari tadi aku gunakan seraya terduduk menopang dagu dengan sebelah tangan di kursi kitchen bar, tak henti-hentinya tanganku pun sibuk men-scroll layar tablet di atas meja untuk mencari resep kue cokelat. “Kau yakin ingin masak?”

“Kenapa memangnya?”

“Entahlah, aku hanya tidak yakin saja…”

“Kenapa begitu?”

Well, menyalahkan kompor saja kau tidak tau bagaimana caranya, lalu bagaimana mungkin kau ingin memasak?!”

“Sialan! jangan mengejekku Kyl!”

Sorry…” ucapnya yang kini mengambil tempat duduk di sebelahku seraya menyantap salad.

“Memangnya kau ingin membuat apa?”

“Kue cokelat”

“Mau aku bantu?” tawarnya yang lantas membuat tanganku berhenti men-scroll dan menolehkan kepala kearahnya. “Memangnya kau mau membantuku?”

“Mau” ucapnya seraya mengangguk, tak ingin membuang waktu aku pun akhirnya bangkit dari keterdudukkan dan mengenakan apron kembali.  “Jadi, pertama-tama kita harus melakukan apa?”

“Siapkan saja alat-alat masaknya…”

“Nanti biar aku yang menentukan bahan-bahannya”

“Baiklah, kalau begitu selesaikan saja makanmu terlebih dahulu”

Hampir satu jam sibuk membuat kue cokelat di dapur, kemudian merias diri setelahnya. Tidak lupa aku pun berucap terimakasih kepada adikku, sebelum akhirnya aku berangkat menuju pesta yang di selenggarakan perusahaan keluarganya untuk memeriahkan malam natal.

Mantap memapah kotak berisi kue cokelat buatanku dengan kedua tangan dan melingkarkan paper bag di sebelah lengan, mataku pun lantas mengedar untuk mencari keberadaannya dalam pesta ini.

“Hei Ken”

“Oh hei Larey…”

“Aku pikir kau tidak akan datang?!”

“L dimana?” tanyaku to the point, yang dia indahkan dengan menunjuk ke arah toilet. “Tadi dia kearah sana…”

Thank’s, kalau begitu aku kesana dulu ya”

“Ok.. Ok”

Tertahan untuk melanjutkan langkahku karena melihatnya yang tidak sedang sendiri, melainkan nampak sedang berbicara dengan seorang wanita yang tidak aku kenali sebelumnya. Air mataku pun luruh ketika mendapati keduanya bercumbu disana.

Tau bahwa datang kearah mereka akan membuat emosiku semakin kalut, segera aku menekan panggilan ke ponselnya. “Ya, Ken?”

“Kau dimana L?” tanyaku sambil mengawasi gerak-geriknya yang kini mengambil langkah mundur dari wanita yang ada di hadapannya. “Aku masih di parkiran…”

”Kau dimana?”

“Sepertinya aku tidak bisa datang”

“Kenapa?” mendengar ada nada kerterkejutan disana, nampak sangat selaras dengan dirinya yang kini memainkan dagu dengan sebelah tangan.  “Entahlah…”

“Tiba-tiba aku merasa tidak enak badan”

 “Kalau begitu istirahatlah..”

“Tentu’

“Ok, Merry chritsmas Ken”

Merry Christmas L…” putusku seraya mematikkan sambungan telepon dan memerintahkan Felix untuk memberikan paper bag juga kotak kue buatanku kepada salah seorang bodyguardnya, sebelum akhirnya aku pergi meninggalkan tempat ini. 

Berbulan-bulan aku menjalaninya dan tanpa sadar bahwa ternyata aku terjebak dalam takdir gila yang aku ciptakan sendiri. Sungguh, hal ini berhasil membuatku merasa bodoh luar biasa.

Flashback off

Mengamati setiap kata yang dia tulisankan di atas kertas ini, membuat jari-jariku tergerak meraba setiap tinta pulpen di kertas ini dan berhasil menyingkirkan sekilas ingatan akan masa lalu yang sedang menari-nari dalam otakku. “Ken..” tergejolak kaget ketika mendengar sapaan darinya, membuatku lantas menoleh.

Kylie!!!” pekikku agak terkejut dengan intonasi meninggi dan terburu-buru memasukkan secarik kertas ini kedalam paper bag. “Kau mengejutkanku”

“Aku mencarimu sedari tadi…”

“Apa kau baik-baik saja Ken?” tanyanya terdengar khawatir, membuatku lantas meraih tangannya kemudian membawanya untuk terduduk di salah satu kursi yang memang tersedia untuk area outdoor.

“Menurutmu bagaimana?”

“Jangan balik bertanya Ken” keluhnya.

“Tidak bisakah kalau kita pulang lebih awal dari mereka Kyl?” alihku yang selanjutnya dia tanggapi dengan gelenggan kepala sambil menatapku sendu. “Acara pertemuan ini adalah momen yang selalu mereka tunggu di setiap penghujung tahun Ken”

“Kau benar…”

“Jangan menghawatirkan apapun Ken”

“Karena malam ini kau tidak akan menjadi sasaran pertanyaan dari mereka...”

“Apa maksudmu?” tanyaku segera mengandahkan wajah dari kedua telapak tangan yang tadi berupaya menghilangkan keresahan dalam diri. “Kembalilah, maka kau akan mengerti apa maksudku”

 “Dia terlalu pintar membaca gerak-gerikku Kyl” mendapati tangannya lebih erat menggenggam tanganku ketika aku berucap demikian, segera aku menjatuhkan kepalaku untuk bersandar dibahunya dan memejamkan mata sejenak untuk menghilangkan kekhawatir yang sedang berputar menguasai kepalaku. “Tenanglah..”

“Aku disini bersamamu” ucapnya menguatkanku sekali lagi, sehingga membuatku lantas mengangguk paham bahwa dia tidak ingin aku menghadapi situasi ini sendirian.  

“Ayo..” ajaknya yang menggenggam tanganku seraya bangkit dari keterdudukkan untuk kembali bergabung bersama mereka didalam sana. “Tenangkan dirimu Ken”

“Dan bersikaplah biasa saja…” usulnya terlihat sungguh-sunnguh, membuatku hanya bisa diam seraya menatap lekat kearah mereka.

Melangkah beriringan dengan Kylie yang berada disisi sebelah kananku karena kami memutuskan untuk kembali memasuki area indoor restaurant guna bergabung bersama mereka di sana, dahiku mengerut cukup dalam ketika tatapanku menangkap seseorang yang terduduk di sebelah Niall.

Rambutnya yang berwarna putih dengan panjang sebahu, membuat wajahnya yang tirus terkesan sexy dan tegas. Di tambah senyumnya yang sesekali menyinggung, membuat langkah kakiku rasanya ingin berhenti saja karena tidak percaya bahwa Niall berani membawa seorang wanita asing untuk bergabung di acara makan malam bersama ini.

Sebab, dari yang aku ketahui Niall bukanlah lelaki yang mudah bergaul. Menurut cerita dari Leo, ayah Niall. Anaknya itu memiliki kepribadian yang sangat tertutup dan selalu serius dalam menggeluti segala hal, khususnya di bidang pendidikan.

Dan hal itu cukup untuk membuatnya kesulitan dalam bersosialisasi. Terutama untuk memiliki seorang teman hingga saat ini. Kalau pun ada, mungkin tidak banyak. Karena menurut ucapannya sendiri, hanya aku dan Hailey lah temannya yang berjenis kelamin wanita. Jadi, sudah bisa dipastikan bahwa temannya mungkin tidak sampai 50 orang. Ah tidak, 30 orang juga kemungkinan tidak akan sampai.

Tapi.. Apakah dia telah berubah semenjak menetap di New York? Dan siapa wanita ini? Kenapa juga dia begitu berani memperkenalkan wanita ini di hadapan kami? Ada hubungan apa mereka sebenarnya? Apakah mereka bener-benar hanya seorang teman? Atau lebih dari itu? Tapi, aku yakin sekali kalau tatapannya pada Hailey waktu itu...

“Ken?!” panggilnya dengan raut wajah kebingungan, membuat kesadaranku kembali dan lantas mengenyahkan segala macam pertanyaan yang tengah memenuhi otakku karena Kylie menyikut lengannya di pinggangku.

Tidak ingin di curigai oleh mereka semua kalau aku terlihat sedang memikirkan sesuatu hal, sesegera itu juga aku berupaya menorehkan senyum terbaikku dan mengambil langkah maju kearahnya guna memberi salam pertemuan dengan mengecup pipi kanan juga pipi kiri. “Kau dari mana?”

Toilet dan pergi sebentar untuk mengambil jaket dari dalam mobil…” dustaku agar ayah atau ibuku tidak curiga, namun berbeda dengan Felix yang tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya dan membuatku rasanya ingin tertawa. Sebab, bagaimana tidak terkejut jika jelas-jelas kunci mobil selalu ada di tangannya.

“Dia siapa?” mendapatkan sebuah tatapan terkejut darinya atas apa yang telah aku pertanyakan, membuatku sedikit bertanya-tanya sekaligus kebingungan untuk mencerna apa yang salah dari pertanyaanku ini sehingga dia bergerak gelisah ditempatnya.

“Perkenalkan, namaku Gemma” meninggikan sebelah alisku karena tidak mengira bahwa aku akan mendapatkan respon yang begitu cepat dari sumbernya, membuat bibirku sedikit menyinggung senyum lebih dahulu dan di lanjutkan dengan membalas uluran tangannya seraya mengecup pipi kanan juga pipi kiri.

“Aku Kendall”

“Senang berkenalan denganmu…” mendapatkan balasan senyum darinya, aku pun kembali melepas jabatan tangan kami kemudian beralih menatap kearah Niall yang nampak sedang mengamati dari tempat duduknya. “Ken, jaketmu… sangat familiar untukku” katanya.

“Mereka tentu tidak hanya memproduksi satu jaket Niall”

“Tapi Gem, aromanya…”

Tobacco vanilla” 

Tom ford, right?” tebaknya dengan lantang seraya menanti persetujuan, membuatku lantas menelan siliva kasar dan pasrah mengangguk saja tanpa perduli benar atau tidak. “Iya, kenapa?”

“Hanya kebetulan mungkin” selanya yang membuat Niall kemudian bergerak mengendikkan bahu. “Ya, mungkin...”

“Sudahlah…”

“Mari lanjutkan makan malamnya” perintah ayahku yang berposisi terduduk di kursi kepala, membuat semuanya sibuk menikmati makanan penutup di tempatnya masing-masing.

“Suatu kehormatan bagiku dapat bergabung makan malam dengan kalian semua..” melihat lesung pipi yang terukir sempurna di sebelah pipinya ketika dia tersenyum, membuat hatiku bertanya-tanya mengapa Niall justru membawa Gemma dan bukannya Hailey.

Ahhhh, entahlah!

Para lelaki terkadang memang membingungkan. Ketika mereka mulai menunjukkan sebuah sinyal nyata untuk memperlihatkan kesungguhan mereka dan sang wanita tengah berupaya mempelajari cara mengenali sinyal yang baru mereka dapatkan, kebanyakan mereka para pria justru malah enggan menunggu dan bersabar sebentar karena sudah merasa pesimis lebih dulu.

Dan ya aku tau benar, bahwa menunggu sesuatu hal yang tidak ada kepastian dengan alasan di suruh bersabar adalah hal yang sangat menyebalkan dan membosankan.

Tetapi, apakah hanya sebatas itu perjuagan mereka untuk mendapatkan hati seseorang yang benar-benar mereka inginkan? Tidak bisakah agar para lelaki terang-terangan saja mengungkapkan perasaan mereka? Tanpa perlu menunggu kepekaan dari sang wanita?

‘Ohhh ayolah, Niall. Mengapa kau justru malah membuka harapan untuk yang lain? Apa kau menyerah? Demi Tuhan, apa sebenarnya yang ada di kepalamu? Apa yang sedang kau rencanakan sekarang?

Tidak bisakah dia menunggu aku yang tengah berusaha untuk menyadarkan si bodoh itu?! Oh yaampun...' Rutukku dalam hati dan menahan kesal dalam diam sambil sesekali menatapnya yang tengah sibuk menikmati dessert.

By the way, apakah kalian sudah memiliki rencana untuk akhir tahun nanti?” melihat apa yang Kylie pertanyakan mendapat respon penuh semangat dari ibuku, membuat kami semua pada akhirnya menatap kearah Kate dan Leo.

“Kami belum merencanakan apapun” jawabnya tanpa panjang lebar, membuat Kylie mengangguk paham. “Aku bisa melihatnya dari tatapanmu yang lelah itu…”

“Terlalu banyak kerja tidak baik bagi kesehatan Kate” peringatnya begitu sok tau.

“Kau terdengar cocok dengan Niall” meninggikan sebelah alisku karena mendengar ucapan Kate, membuat bibirku menyinggung senyum seraya menggelengkan kepala. “Lalu bagaimana dengan Gemma?”  tanyaku.

“Tergantung…” katanya.

Well, aku tidak tertarik” balas Kylie pada akhirnya yang enggan membahas topik ini lebih panjang lagi. “Jangan terlalu percaya diri Kyl?!”

“Bahkan, Gemma lebih baik darimu…” balasnya tak mau kalah seraya menatap tidak suka kearahku. “Apa yang salah Niall?” ejekku.

“Sudahlah jangan berdebat?!” lerai Leo yang menatap bergantian kearah aku, Niall dan juga istrinya.

“Kami hanya ingin melihat seberapa dalam perasaannya kepada Gemma, Leo” jelas Kate yang kemudian membuat aku dan Kylie mengangguk setuju seraya tersenyum lebar. 

Come on Mom, jangan mempermalukanku…”

“Tidak masalah bukan, Gem?”

It’s ok” balasnya yang tersipu malu. 

“Kita bisa membicarakan keseriusan mereka lain waktu dan untuk saat ini kembalilah ke topik pembicaraan awal…” lerai Leo.

“Maaf ” sesalnya.

Well, bagaimana kalau kita merayakannya dengan berlibur bersama-sama saja?” melempar tatapan memohon kearah ayahku agar dia menolak usul yang di ajukkan oleh ibuku, tidak lantas membuat ibuku bungkam dan mengalah. “Brian, ayolah…”

“Memikirkan pekerjaan tentu saja tidak akan pernah ada habisnya?!” lanjutnya dengan bersikukuh, membuat ayahku luluh saat itu juga seraya menganggukkan kepala sebagai jawaban. “Aku akan usahakan”

“Harus, karena Kylie dan Kendall akan mengeluh jika keluarga kita tidak lengkap…” putusnya tanpa meminta persetujuan lebih dulu kepada aku mau pun Kylie, untuk ikut bergabung dalam merayakan liburan bersama. “Ya, Kris akan aku usahan..” ulangnya.

“Baiklah, kalau begitu aku pun akan segera mengatur jadwalku dan bagaimana dengan kalian?” timpanya seraya menatap bergantian kearah suami dan anaknya, di ikuti dengan tatapan kami semua yang menunggu keputusan mereka berdua. “Baiklah.. aku akan bergabung dengan kalian”

“Akhirnya…” ucapnya bersyukur serta saling menggenggam tangan dengan ekspresi wajah bahagia antara ibuku dengan Kate karena Leo dan ayahku tidak keberatan untuk berpartisipasi berlibur akhir tahun bersama, membuatku hanya bisa memutar bola mata malas dan kembali memainkan dessert di piring milikku.

Sorry, Mom. Tapi aku tidak bisa”

“Pasalnya, aku sudah memutuskan untuk tidak mengambil libur di akhir tahun ini” menghentikan gerakkan tanganku yang tengah mengaduk-aduk dessert karena dia berucap demikian, membuat tatapanku pun lantas tertuju kearah wanita di sebelahnya. “Kau masih memiliki beberapa hari untuk berpikir Niall…” tawar ibuku.

“Jangan menjadi pria yang sok sibuk, Niall” sindir Kate begitu telak, membuat aku lantas berteriak setuju didalam hati.

“Tapi itulah keputusanku Mom

“Ayolah Niall, pikirkan baik-baik…”  

“Aku memiliki alasan tersendiri Mom” mendengar apa yang dia ucapkan, membuatku lantas menyeritkan dahi karena penasaran.

Namun, ketika aku mendapati Gemma tengah menatap kearah Niall dengan menyinggung senyum yang juga berhasil memperlihatkan lesung pipinya. Hal ini pun membuatku semakin yakin bahwa Gemma mengetahui jawaban atas alasan yang sedangan Niall sembunyikan, terlebih aku bisa melihat bahwa ada hal lain yang dia sembunyikan di dalam iris mata berwarna cokelat itu. Sehingga, bagi siapapun yang peka dari bagaimana cara Gemma menatap Niall. Tentu saja dapat menyimpulkan sendiri arti tatapannya itu.

Tetapi ya, akan jauh lebih baik kalau kita menunggu saja dirinya mengaku. Sebab, aku yakin bahwa tidak akan lama lagi. Dia akan kerepotan sendiri menghadapi dua hati yang akan sangat membutuhkan dirinya di satu situasi yang bersamaan. Dan tepat ketika saat itu tiba, aku yakin dia akan benar-benar merasakan kebingungan untuk memilih mana yang paling tepat untuk dia utamakan.

“Kau pun bisa mengajak Gemma untuk bergabung, Niall”

“Tidak Dad” putusnya begitu keras kepala. 

“Tolong, sepulangnya kita dari sini. Kau ingatkan aku untuk memberikan anak kita ini surat pemecatan sayang?!” sindir Leo masih dengan raut wajah santainya, membuat Kate dan yang lain terkekeh maklum. “Ya, aku akan mendukungmu”

“Tidak masalah…”

“Aku akan menerimanya dengan senang hati Dad” tantangnya yang kemudian mendapat respon berupa gelengan kepala dari ibunya.

“Gemma akan mencari pria lain kalau kau menjadi pengangguran..” sindir Leo seraya menunjuk-nunjuk wajah Niall dengan garpu, yang kemudian di respon dengan anggukan oleh Gemma seraya tersenyum malu.


Komentar

Postingan Populer