DIRTY BUSINESS - 14

 

Tertarik memesan makanan untuk take a way terlebih dahulu dan menunggu di area indoor bersama para bodyguard-ku, tiba-tiba saja baik aku maupun semua orang di restaurant lantas memusatkan pandangan kearah keributan di area outdoor. Memilih mencari posisi yang tepat untuk dapat melihat lebih jelas apa sebenarnya yang terjadi, karena para petugas keamanan terlihat berlari menghampiri. 

Seketika aku pun lantas terkejut ketika tubuhnya tengah dipegangi oleh 2 orang disisi kanan dan kiri, kemudian berulang kali dipukuli oleh seseorang yang berpakaian sama persis seperti para bodyguard-ku. Bahkan, para petugas keamanan seolah tidak mampu berbuat apa-apa karena 5 orang lainnya melingkar menjaga orang-orang yang mencoba mengacaukan kesenangan mereka.

Mulai menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi hingga Zayn menurunkan orang-orangnya untuk memukuli Harry disana, seorang waiters justru mengejutkanku dengan menyerahkan makanan yang sebelumnya aku pesan. “Terimakasih” ucapku.

“…Ini adalah peringatan dari bos kami karena kau telah berani menyentuhnya dengan tangan kotormu. So, next time carilah lawan yang seimbang” peringat orang itu seraya mendorong tubuh Harry kelantai dan hal ini tidaklah lepas dari pandanganku. 

“…Brengsek!” cicitnya dibatas ketidak berdayaannya disana. 

“…Cih! Kalau saja kami ditugaskan untuk benar-benar menghabisimu, mungkin mulutmu sudah aku robek sekarang juga bodoh!” ejek pria berperawakan tinggi dan hitam dihadapannya itu.

“…Ayo, tinggalkan sampah ini” putusnya seraya berlalu pergi.

Menyerahkan pesanan dalam genggaman kepada salah seorang bodyguard-ku, segera aku pun memberi kode tatapan kearah Felix dan dia mengangguk setuju atas perintahku kali ini tanpa bantahan sepatah kata pun seperti biasanya yang selalu mengeluarkan kata tapi.

“Kau” katanya seraya menyerit kebingungan.

“Bangun!” perintahku, membuatnya yang sedang terduduk justru terkekeh seraya meninggikan alisnya sambil menatapku. “Jangan membuatku menyesal karena telah menawarkan bantuan padamu Harry!”

“Cepat bangun!” tekanku.

“Apakah kita akan ke neraka?” tanyanya seraya tersenyum.

“Akan aku pikirkan nanti”

“Cepat!” perintahku seraya memberi tatapan pada Felix dan bodyguard-ku yang lain untuk memapah tubuhnya karena dia nampak tidak berdaya untuk menopang tubuhnya sendiri. Dan lagi pula, aku tidak ingin menarik perhatian banyak orang dan mengabadikan potret kebersamaan kami terlebih dengan wajahnya yang babak belur itu.  “Dimana mobilmu?” tanyaku.  

“Mobil?” jawabnya yang justru balik bertanya dan berekspresi kebingungan dan sungguh aku pun menjadi kebingungan karenanya.

“Iya Har, dimana mobilmu. Cepat katakan atau aku akan membiarkanmu terlantar dijalanan malam ini” ancamku.

“Aku tidak suka naik mobil. Aku lebih suka menggunakan motor kesayanganku” ungkapnya yang sontak membuatku berdecih ketika mengingat bahwa pria ini pernah rela menerjang salju di malam hari demi memenuhi keinginan Gigi untuk menghadiri acara keluargaku menggunakan motor kesayangannya itu.  

Menyusahkan!

Segera aku pun memberi perintah pada para bodyguard-ku untuk membawanya masuk ke mobil bersama mereka dan mengurus motor kesayangannya itu.

Berada di mobil terpisah, dimana aku menempati mobil depan yang memimpin arah jalan. Seling beberapa waktu Felix pun mendapatkan informasi dari mobil belakang melalui alat di telinganya bahwa Harry tidak kunjung mengatakan alamat tempat tinggalnya disini, karena masih merancau tidak jelas sedangkan alamat yang tertera di identitasnya berada di London.

Hal ini pun membuatku terpaksa memilih Hotel sebagai tujuan akhir malam ini, karena besok aku memiliki jadwal pagi dan tidak mungkin juga kalau aku membawanya ke Mansion karena Hailey pasti akan banyak bertanya nanti. Sekian tahun menjadi member tetap di beberapa Hotel yang ada di berbagai Negara termasuk Hotel Baverly Wilshire ini, dalam waktu kurang dari setengah jam pihak mereka ternyata telah membuka beberapa kamar atas namaku.       

“Kalian boleh pergi” putusku ketika memasuki kamar yang akan Harry tempati malam ini dengan lebih dulu meletakkan paper bag di nakas samping ranjang.

“Tapi Nona-”

“Ayolah Felix…” keluhku yang membuatnya kemudian luluh dan berakhir memerintahkan kawanannya untuk meninggalkan kamar ini. “Baiklah Nona, selamat malam dan selamat beristirahat” patuhnya. 

“Terimakasih Felix” ucapku membuatnya lantas mengangguk seraya menutup pintu kamar.

Melangkah kearah meja kerja untuk meraih botol air mineral berukuran sedang seraya mencari handuk didalam kamar mandi, kembali aku pun terduduk disisi ranjang kemudian mulai membasahi ujung handuk dengan air untuk menghapus darah kering yang tersisa di dekat sudut bibirnya. “Aw, sakit..” protesnya seraya menahan tanganku. 

“Tahan sebentar” bujukku.

“Pelan-pelan” pintanya yang aku jawab dengan mengangguk dan tanganku kembali melanjutkan membersihkan wajahnya perlahan juga menyeluruh karena tangannya tidak lagi menahanku.   

“Apakah tempat ini yang kau sebut dengan neraka?” tanyanya.

“Ya. Kau bisa menikmatinya malam ini” jawabku menanggapi kebodohannya yang sedang dalam pengaruh alkohol dan tetap berhati-hati membersihkan luka diwajahnya.

“Bersamamu?” lanjutnya bertanya.

Heuh?!

Apa katanya? Bersamaku?

Astaga! Apakah dia selalu banyak bertanya dan bodoh jika sedang dalam pengaruh alkohol.

Oh God.

Memuakkan!

“Tidurlah dan nikmati malammu di dalam neraka ini” putusku menyudahi untuk membersihkan wajahnya yang terluka seraya bangkit dari keterdudukan dan memilih tidak menjawab pertanyaan bodohnya.

“Kau mau kemana?”

“Aku akan ke neraka yang lain” jawabku sarkas. 

“Tetaplah disini bersamaku. Aku tidak ingin berada di neraka ini sendirian” pintanya seraya menahan pergelangan tanganku, sehingga membuatku mau tidak mau menoleh kearahnya dan iris mataku bertabrakan dengan iris mata berwarna hijaunya yang begitu penuh pengharapan.

“Aku mohon tetaplah disini” lanjutnya.

“Jangan merengek seperti itu padaku! Aku bukanlah ibumu Harry!” peringatku seraya melepaskan tangannya yang menahan pergelangan tanganku.

“Jadi, sekarang kau juga ingin meninggalkanku?”

“Sialan?! Apa yang salah sebenarnya dengan diriku sampai semua orang berkeinginan pergi dari dekatku!” meninggikan sebelah alisku atas ucapannya yang terdengar putus asa, segera aku pun mengalihkan keadaan dengan mematikan lampu tidur diatas nakas.  

“Tidak ada gunanya kau mengumpat dihadapanku”

“Tidurlah” perintahku.

“Jangan pergi” rengeknya sekali lagi, membuatku muak. 

“Aku akan menyusul setelah selesai membersihkan diri” alibiku.

“Apakah masih perlu membersihkan diri ketika kita sedang berada di neraka?”

“Y-ya tentu saja” jawabku kebingungan.

“Baiklah, kalau begitu aku akan menunggumu…” ucapnya yang terdengar begitu menjijikan di telingaku. “Bagaimana?” timpanya.

Astaga!

“Aku sudah menerima tawaranmu untuk menempati nereka ini bersama. Ada baiknya, kau juga mendengar permintaanku untuk tidur lebih dulu tanpa menungguku membersihkan diri Harry..” melihatnya tersenyum karena mendengar apa yang baru saja aku ucapkan, membuat bibirku lantas berdecak sebal namun tetap membantunya merebah dan menutupi tubuhnya dengan selimut.

“Berjanjilah kita akan menempati neraka yang sama?”

“Ya.. aku janji” jawabku menyanggupi, karena aku tidak tahan menghadapi kebodohannya saat ini. 

Good night” ucapnya berhasil membuat tubuhku merinding sekaligus merasa menjadi berat untuk beranjak dari sisinya, karena dua kata yang dia ucapkan seolah memenuhi telingaku dan membawa jiwaku pergi ke masalalu.

“Good night?” ulangnya meminta balasan.

“Y-ya..” jawabku yang tersadar dari lamunan kemudian segera berlalu mematikan lampu kamar ini secara menyeluruh.

Terududuk di sofa panjang dekat ranjang hingga dia benar-benar telah terlelap, segera aku pun mengusir lamunanku dengan mengusap wajahku dan pergi meninggalkan neraka yang sama dengannya ini.

Konyol!

Persetan dengan janjiku padanya.

Bersandar memunggungi pintu kamar hotel yang aku tempati malam ini, segera aku pun mengenyahkan desiran di dada dengan berjalan menuju ke arah kamar mandi.

Berulang kali membasuh wajahku dengan air mengalir dari kran washtafel, tatapanku pun terlekat kearah cermin besar yang menampakan rupa wanita yang nampak ketakutan dan bibir yang begitu pucat pasi. Seolah keterkejutan akan abadi memenuhi dirinya.

Pasalnya setelah sekian lama tidak pernah ada lagi seorang pun yang mengucapkan kata ‘good night’ kepadaku, malam ini dia yang merupakan orang asing sekaligus sedang dalam keadaan mabuk justru berani berucap demikian dan berhasil membuatku merasa bodoh karena terbawa suasana. Bahkan sampai diriku benar-benar merasa ketakutan, takut kalau sewaktu-waktu aku begitu memaksa ingin mendengar kalimat itu lagi yang entah dari siapa nantinya.

 

 Ting..

 

From : Hailey

‘Ken’

 

From : Hailey

‘Kau dimana?’

 

From : Hailey

‘Tidak pulang?’

 

From : Hailey

‘Ken, jangan lupa besok pagi kau memiliki janji interview dengan Gwen dan jangan sampai kau tidak datang. Atau Ibu-mu akan marah besar nanti. Kabari aku secepatnya…’

 

To : Hailey

‘Aku pasti datang. Tidurlah Hails, jangan menungguku malam ini’

 

 


Usai membalas terror pesan beruntun dari Hailey dan menghapus log panggilan darinya, segera aku pun me-non-aktifkan kembali ponselku dan meletakkannya di atas nakas kemudian tanpa buang waktu aku segera menelan sebelas jenis obat yang berbeda secara sekaligus dan dibantu dengan meminum air putih.

Aku harap hal ini tidak mempengaruhi aktifitasku besok. Well, Semoga saja…

Merebahkan tubuhku di atas ranjang double size dengan berselimut hingga sebatas dada, aku pun merubah posisi tidurku menjadi menyamping dan perlahan tanganku tergerak mengusap sisi ranjang yang kosong sekaligus dingin.

            Persis seperti dulu.

Tepat di kala pertama kalinya takdir buruk datang ke dalam kehidupanku..  

 

Flashback on

 

Mengajaknya ke acara pesta ulang tahun temanku yang di adakan di salah satu club terkenal di New York, sekaligus mencuri waktu pendekatan dengannya. Nyatanya tidaklah sia-sia, karena pada akhirnya kami membangun percakapan yang mendalam dan berujung memesan kamar Hotel untuk bermalam. Mengingat dia sudah terlalu mabuk dan tidak mungkin juga melanjutkan perjalanan karena kami tidak di kawal oleh seorang bodyguard-pun. 

Walaupun sebenarnya kondisiku sendiri masih cukup sadar dibandingkan dirinya, tetapi aku tetap memaksanya untuk bermalam di hotel saja dan mungkin aku terlihat licik karena memanfaatkan situasi ini untuk lebih dekat dengannya.

Tapi, bukankah ini adalah hal yang wajar untuk dilakukan jika melihat bagaimana selama beberapa bulan ini dia telah dengan terang-terangan menerima kehadiranku dan aku pun telah menaruh hati padanya. Ya, walaupun memang belum sampai di tahap dia memintaku untuk menjadi kekasihnya. “Sayang…” panggilnya membuat hatiku berdesir merasakan kegembiraan.

“Kemarilah” lanjutnya yang menyadarkanku.

“Ada apa L?” tanyaku seraya berjalan mendekatinya dan tubuhku lantas menegang ketika bibirnya mengelumat bibirku tanpa aba-aba dan membuatku dengan suka rela membalasnya.   

“Sekarang coba kau jelaskan. Kenapa kau lebih memilih dia dari pada aku yang sudah jelas-jelas sangat mencintaimu dan rela melakukan apapun agar kau bahagia” mengerutkan dahi atas apa yang baru saja dia ucapkan, kembali aku pun mundur dari hadapannya.

“Apa maksudmu L? Aku tidak mengerti”  

“Kau mendorongku jauh sekali sayang…”

“Bahkan sampai aku kebingungan dan bertanya-tanya kenapa kau bisa sekejam itu padaku”

Tunggu!

“L kau mabuk” peringatku namun sangat menginginkan kesadarannya pulih detik ini juga.

“Tidak. Aku tidak mabuk sayang?!”

“Aku hanya ingin menjelaskan kalau…”

“Wanita itu datang ke dalam hidupku secara tiba-tiba dan aku seolah di paksa oleh keadaan untuk menggantikan posisimu dihatiku dengan dia. Tidakkah kau cemburu mendengar posisimu terancam digantikan sayang?” ujarnya yang masih dalam pengaruh alkohol dan tangannya tanpa aba-aba menangkup sebelah wajahku. “Dengar…”

“Aku tau ini sangatlah tidak adil untuk dia. Tapi, aku juga tidak bisa terus menuruti hatiku untuk selalu dipenuhi olehmu yang tidak menginginkanku lagi”

“Siapa dia yang kau maksud L?”

“Anak dari sahabat ayahku” jawabnya seraya tertunduk.

“Siapa?” tekanku yang sudah mulai habis kesabaran.

“Kendall. Namanya Kendall Jenner” tanpa sadar air mataku lantas mengalir atas kejujuran yang baru saja dia ungkapkan dan jujur saja aku merasa telah benar-benar di permainkan olehnya. Dengan kesal aku pun menepis tangannya. “Aku akan pergi. Aku harap kita tidak akan pernah bertemu lagi setelah ini L” ungkapku.

“Demi Tuhan Bel, jangan tinggalkan aku!”

“Aku sangat mencintaimu. Aku bahkan kesulitan untuk sekedar bernapas tanpa hadirmu disisiku Bel” rancaunya berderai air mata.

“Bel?” tanyaku begitu terkejut karena dia memanggil nama orang lain ketika memanggilku.

“Sayang, please…” menelan siliva dan mendengus tidak percaya atas perkataannya yang memanggil nama orang lain, dengan segera aku pun mendorongnya hingga jatuh terbaring di atas ranjang.

Jahat!

 

Jadi, aku bukanlah satu-satunya perempuan yang sedang dekat dengannya?

 

Dan selama ini baginya aku hanyalah pelarian saja?

 

Begitukah?

 

Tidak! Aku bukan pelarian untuknya!

 

Demi Tuhan, aku tidak sudi.

 

Aku tidak terima diperlakukan seperti ini olehnya!

 

Kita lihat saja nanti L. Aku bersumpah, kau akan menyesal karena telah membawaku masuk kedalam permainan kejam yang kau ciptakan ini.

 

Tidak ingin membuang-buang waktu, segera aku menyalurkan rasa kecewaku dengan memberinya ciuman panas kemudian berlanjut melepaskan seluruh pakaianku dan juga dia yang sudah terbaring di atas ranjang. Katakanlah aku telah hilang akal saat ini karena setuju untuk mengikuti permainannya, tapi akan aku pastikan besok dan kedepannya aku lah yang akan memimpin dan mengakhiri permainan ini nantinya.

Terganggu dengan sinar cahaya matahari yang menembus melalui jendela kamar, segera aku pun merubah posisiku menjadi menghadap ke sisi ranjang disebelahku. Namun, air mataku lantas menitih ketika sosoknya sudah tidak berada lagi disana.  

Sisi ranjang disebelahku telah kosong dan hal ini membuat hatiku benar-benar menjerit sakit, seolah dengan mengusap sisi ranjang yang kosong dapat menahannya untuk tetap berada disini.

Melangkah turun dari ranjang dengan mengeratkan selimut di tubuhku, segera tanganku meraih ponsel di dekat meja TV dan melihat durasi 10 menit yang tertera disudut kiri ponsel.   

Waktumu bermain-main denganku sudah habis L. Setelah hari ini, aku pastikan kau tidak akan pernah bisa menjauh dariku dan perlahan hatimu benar-benar hanya akan terisi untukku. Bukan dia!  

 

Flashback off


Melangkah memasuki GQ Building Center dengan di kawal oleh para bodyguard pribadiku, nampak seluruh petugas keamanan gedung pun menyambutku dengan ramah dan mempersilakanku untuk segera menuju ke lantai tempat ruangan Gwen Hadid berada. Ketika elevator berhenti di lantai 5, wanita yang sedang sibuk memainkan ponselnya di dekat meja resepsionis itu pun menoleh kearahku dan aku pun dibuat tegelak karena dia kemudian menepuk asal sebelah lenganku.

“Demi Tuhan! Aku bersumpah akan membakar ponselmu setelah ini Ken” gerutunya dengan raut wajah kesal, seolah dia akan bersungguh-sungguh melakukan apa yang baru saja dia katakan.

“Kita tau bahwa itu tidak mungkin kau lakukan” ejekku seraya membaca kertas yang tengah di pegang Hailey.

“Ya, dan aku benci itu?!”

“Lalu, dimana kau menginap semalam?” tanyanya.

“Di hotel” jawabku yang memilih kembali melanjutkan langkah menuju ke dalam ruang meeting sesuai dengan yang tertera dalam kertas itu. “Astaga, apa kau mabuk lagi?” lanjutnya bertanya.

“Tidak”

“Lalu?”

“Tidak ada alasan yang khusus, Hails. Sudahlah, berhenti mempertanyakan tentangku. Ada baiknya kau beritahu aku apa saja pertanyaan-pertanyaan yang ingin Gwen tanyakan untuk interview nanti” kataku seraya menarik kursi untuk terduduk dan diikuti oleh Hailey yang kemudian menyerahkan beberapa lembar kertas di hadapanku.  

“Gwen sedang melihat studio untuk interview

“Bacalah kertas ini lebih dulu, kalau memang ada yang tidak kau suka untuk dipertanyakan. Kau bisa mencoretnya dan berikan padaku kalau sudah selesai” jelasnya membuatku menyandarkan tubuh ke kursi dan menatap langit-langit.

“Aku lapar Hails” keluhku.

Cih, sudah ku tebak…”

“Ini makanlah. Jangan sampai otakmu tidak bisa bekeja karena harus menahan lapar” peringatnya, membuatku dengan suka rela menyantap chicken salad yang dia letakkan di hadapanku. “Thank’s Hails” ungkapku.

“Sama-sama Ken…”

“Cepat habiskan. Kita hanya punya waktu setengah jam untuk bersiap sambil menunggu photographer itu datang”

“Jadi, dia belum datang?” melihat Hailey menganggukkan kepalanya, di satu detik kemudian dia lantas terbelalak menatapku dan membuatku kemudian merasa kebingungan dibuatnya.

“Kenapa?” tanyaku.  

“Kau tidak benar-benar mewujudkan ucapanmu itu kan Ken?”

“…”

“Kendall, jawab aku..” panggilnya dengan nada mengeluh karena aku lebih sibuk menikmati salad chicken pemberiannya dari pada menanggapi pertanyaannya.  

“Kendall..”

“Hmm..” kataku menanggapi.

“Kau tidak benar-benar membuatnya datang terlambatkan?”

“Memangnya aku selalu bertindak sejahat itu di pikiranmu ya Hails?” tanyaku membuatnya berdengus dan membalikkan kursinya dari hadapanku.

“Bukan seperti itu Ken. Masalahnya, nama baik kita juga nanti yang di rugikan kalau sampai dia telat” jelasnya.

“Aku tau konsekuensi itu. Makanya aku tidak benar-benar mewujudkan ucapanku yang kemarin” timpaku masih bersusah payah menguyah makanan dalam mulutku, namun berhasil membuatnya mengangguk paham.

“Yasudah, kalau begitu aku akan menyiapkan pakaian yang akan kau pakai lebih dulu. Aku tinggal sebentar..”

“Jangan lupa sarung tanganku Hails” peringatku yang dia indahkan dengan kembali menganggukkan kepala.

“Siap Nona Bos” jawabnya.

            Usai menikmati sarapan, berias, mengganti pakaian dan bersiap menuju studio untuk interview. Sekali lagi, aku pun menikmati aroma teh dan madu dalam cangkir yang tengah berada dalam genggamanku sebelum aku benar-benar meletakkannya di meja meeting. Namun, ketukan dari arah pintu ruang meeting ini berhasil membuatku menoleh kearah asal suara dan seseorang yang berada di ambang pintu sana berhasil membuatku tidak mampu beraksi apapun setelahnya.

Shit!

Apa yang dia lakukan di sini?  

“Kendall?” panggilnya menyadarkanku dari keadaan yang mengejutkan ini dan tanganku dengan cekatan meletakkan cangkir berisi teh ke atas meja meeting kemudian tergesa melangkah kearahnya.

“Ikut aku?!” ucapku seraya meraih sebelah lengannya dan membawanya ke dekat elevator berada.  

“Bagaimana bisa kau ada disini?”

“…”

Tidak mendapati jawaban yang keluar dari mulutnya dan dia hanya menunjukkan raut wajahnya kebingungan, aku pun dengan kesal berdengus. “Kau mengikutiku?” tebakku.

“Astaga, wanita ini. Percaya diri sekali!”  

“Memangnya kau pikir, kau siapa sampai aku harus menguntitmu di hari yang masih sepagi ini. Dan kau pikir aku ini tidak punya kerjaan sampai harus mengikutimu ke tempat seformal ini, begitu?!” tegasnya yang nampak masuk akal, namun aku justru dibuat tersinggung akan beberapa kata yang baru saja dia ucapkan.

Sialan!

 

Jadi, dia belum menyadari siapa aku?!

 

Melihat keberadaan meja resepsionis tidak jauh dari jangkauan, segera aku pun melangkah kearah sana dan meninggalkan Harry dengan segala pertanyaannya akan siapa diriku. Langsung tatapanku tertuju kearah meja kayu yang diatasnya terdapat beberapa majalah dengan sampul para pembisnis serta orang-orang sukses lainnya, termasuk aku yang 2 tahun lalu menjadi sampul majalah untuk Graff Queen Magazine.

Tersenyum seringai melihat namaku dengan ukuran besar tertera di sampul majalah, segera aku pun mengambil satu dan kembali ketempat dimana aku berbicara dengannya di dekat elevator.

Sialan! Kemana dia?!

 

Pergi atau?

 

Aku hanya berhalusinasi?

 

Apa iya?

 

Tidak, tidak.    

 

Tidak mungkin!

 

Berjalan kembali menuju ruang meeting dan tidak menadapati sosok Harry disana, membuatku mendekap majalah ini erat-erat seraya memikirkan kemungkinan lainnya. Tetapi, aku justru dikejutkan oleh tepukkan di bahu sebelah kiri dan sontak membuatku berbalik untuk menatap siapa pelakunya. “Kenapa masih disini Ken?” tanya Gwen.

“…”

“Ayo, sebentar lagi kau harus melakukan sesi interview

“…”

“Kendall?!”

“Ken, Are u ok?” mengerejap serta mengangguk gugup atas pertanyaannya, segera aku pun meraih lengannya. “Y-ya, ayo…” kataku seraya melanjutkan langkah menuju studio untuk interview.

“Gwen, aku ingin berbicara dengan Hailey sebentar” ungkapku yang dia setuju dengan anggukan kepala seraya menepuk punggung tanganku. “Baiklah, aku tunggu di dalam ya” putusnya.

“Hails” panggilku di ambang pintu ruangan interview dan sontak mendapati responnya yang langsung berlari kecil menuju ke arahku. “Ya Ken? Ada apa?” tanyanya.

“Aku sudah minum obatkan tadi?” melihat kerutan di dahinya atas pertanyaanku, segera aku pun memejamkan mata dan mengusap wajahku kasar.  

Sialan!

“Sepertinya aku tidak bisa melakukan ini Hails?!” keluhku.

“Apa maksudmu Ken?”

“Kenapa tidak bisa?”

“Memangnya kau kenapa?” tanyanya yang kebingungan, namun lantas membawaku kedalam rangkulannya dan memberikan usapan demi usapan menenangkan di lenganku.

“Entahlah Hails, aku bingung. Aku merasa sepertinya aku sudah mulai kesulitan membedakan situasi Hailey” jelasku.

“Tenanglah, jangan berpikiran macam-macam. Ayo, lebih baik kita masuk dulu kedalam” ajaknya yang aku indahkan dengan ikut melangkah memasuki studio untuk interview yang ternyata sudah di penuhi oleh beberapa orang dan juga.

 

Harry!

 

Jadi, tadi aku tidaklah sedang berhalusinasi?

 

Sialan! Bisa-bisanya dia pergi begitu saja dan membuatku seperti orang bodoh yang kebingungan. 

“Ini minumlah agar pikiranmu tena-” belum sampai Hailey menyelesaikan ucapannya, aku sudah lebih dulu meraih uluran air mineral dari tangannya dan melangkah ke arah tersangka utama yang membuatku seperti orang bodoh beberapa menit lalu.

Fuck!” umpatnya bersamaan dengan Hailey yang meneriaki namaku dikejauhan sana dan samar bisikkan keterkejutan dari orang-orang karena aku menyiram wajahnya.

Rasakan!

“Kenapa kau menyiramku?!” tanyanya dengan nada datar, namun tetap mengusap dahinya yang basah dengan punggung tangan.

“Itu balasan untukmu” jawabku, membuatnya terdengar berdengus remeh.

“Balasan untuk kesalahan yang bahkan belum pernah aku perbuat, begitukah?” tanyanya sarkas seraya mengambil langkah berlalu dari hadapanku, namun aku lantas menahan lengannya. 

“Jangan pernah sekali pun meninggalkanku, sebelum aku selesai berbicara?! Itulah kesalahanmu Harry!” ungkapku dengan nada menggeram kesal dan mendorong majalah yang sejak tadi berada dalam dekapanku kearah dadanya.

“Sama hal-nya denganmu…”

“Tidak ada satu orang pun yang ingin ditinggalkan?!”

“Termasuk aku!” desisku penuh peringatan.

“…” tidak mendapati jawaban yang keluar dari mulutnya, segera aku melepaskan tanganku dari lengannya dan mengambil langkah ke sebelah sisi kanannya.

“Ada baiknya, kau baca huruf yang tercetak tebal di sampul majalah itu dengan benar dan kalau perlu gunakanlah kaca pembesar. Agar kau tidak lagi mempertanyakan siapa aku, jika lain kali kita kembali bertemu” peringatku yang bisa merasakan tatapan dingin darinya di balik punggungku.

Namun, baru juga berjalan dua langkah. Lenganku secara tiba-tiba dipaksa untuk berbalik kearah belakang hingga fokusku kemudian hanya tertuju ke iris mata berwarna hijau itu yang nampak telah beralih dari majalah yang aku berikan.

Thank’s…”

“And sorry?” ungkapnya.

Komentar

Postingan Populer