DIRTY BUSINESS - 6

            "Kendall??”

            “Kenn???”

“Kendall..?!” tersentak membuka kedua kelopak mataku dan membuang nafas dengan begitu tersenggal-senggal, seketika tatapanku teralih kearah tangannya yang dengan cekatan tengah mengelus dahiku yang kini sudah di basahi keringat dingin.

“Kenapa?”

“Mimpi buruk lagi?” tebaknya dengan raut wajah cemas dan dapat aku lihat matanya juga nampak mulai berkaca-kaca, sehingga dengan susah payah aku lantas menelan siliva kasar-kasar seraya menjauhkan tangannya dari dahiku.

“Aku akan kembali ke Mansion-ku..” ucapku tanpa mau menatap kearahnya, kemudian ketika baru ingin melangkah turun dan mengabaikannya di sisi ranjang berukuran queen size yang di lapisi bed cover berwarna coklat ini. Tanganku tiba-tiba ditarik dan dipaksa untuk kembali terduduk. 

“Minumlah…”

“Thank’s” ucapku yang menerima gelas berisi air mineral dan juga beberapa obat di atas nakas yang kini ibuku ulurkan untukku.

“Jangan mencoba berdalih atau pun mengacuhkan pertanyaan dariku, Ken”

“Aku tidak bermaksud begitu” terduduk pasrah di sisinya dan kemudian menghembuskan nafas kasar, tangannya dengan gerakkan cepat lantas meraih tanganku dengan menggenggamnya erat di dalam pangkuan.

“Katakan, apa sebenarnya yang menganggu tidurmu?!”

“Tidak ada…”

“Aku hanya perlu ruang sendiri Mom” jawabku yang tidak ingin menjelaskan apapun dan hal itu membuatnya berhembus nafas secara kasar.

“Aku akan menguhubungi Rue…”

“Tapi aku harus kembali ke Mansion-ku, karena-” terjeda, dia pun lantas berucap. “Aku belum siap menyaksikan kematian putriku, Ken” terdiam membatu, dapatku lihat raut wajahnya menjadi sendu seketika.

“Kematianku tidak akan secepat itu Mom

“Tinggalkan dia Ken” pintanya sekali lagi dengan tersulut emosi, membuatku lantas tersikap dan menatap tajam kearah iris mata berwarna cokelat yang sama seperti warna iris mataku.

“Aku tidak mengerti apa sebenarnya yang sedang kita bicarakan” elakku seraya ingin menghindar dari hadapannya, namun rasa sakit dalam dadaku justru semakin menjadi ketika dia dengan cepat menahan pergelangan tanganku dan memperlihatkan air matanya padaku.

Plak…

“Jangan pernah kau memasang topengmu ketika kau sedang berbicara denganku Kendall?!”

“Karena selama satu tahun terakhir…”

“Tidak pernah sehari pun kau lepas dari pengawasanku?!”

“Dan.. kau juga tidak perlu lagi menyembunyikan apapun dariku. Sebab, Rane telah menceritakan segalanya padaku” memilih bungkam dan memegang pipiku yang masih panas akibat dia tampar, ku biarkan dia berlalu dari sisiku dan aku pun melakukan hal yang sama. Enggan untuk menoleh kearahnya, walaupun hanya menatap punggungnya yang perlahan mulai menjauh dari hadapanku.

Sejujurnya, ini bukan kali pertama aku mendapatkan sebuah tamparan keras dari ibuku semenjak kejadian memalukan itu terjadi. Sehingga, tidak ada alasan tepat untukku menaruh dendam ataupun rasa sakit hati kepadanya hingga saat ini.

Sebab, ketika hampir 2 tahun aku terus saja berupaya mengacaukan hidupku sendiri dengan berbagai cara. Tepat satu malam, setelah kehidupan lebih menyakitkan harus aku lewati. Aku mencoba kembali menyakiti diriku sendiri, tepat ketika ayahku sedang berada di negera lain dan Kylie berada di kota yang lain.

Memahami bahwa ibuku sedang dengan emosi yang sudah memuncak, maka aku pun membiarkannya berulang kali menampar wajahku hingga sudut bibir dan hidungku mengeluarkan banyak darah. Bahkan, waktu itu aku berharap aku bisa secepatnya menutup mata tanpa perduli nyawaku akan habis di tangan siapa.

Tetapi, harapan itu terasa mustahil ketika aku melihat ibuku yang merasa bersalah dan lantas menjerit begitu keras seraya menggores kedua telapak tangannya sendiri dengan pisau. Rasanya ingin sekali aku berlari ke arahnya dan melepar pisau itu dari genggamannya, namun sialnya kondisiku saat itu benar-benar tidak memungkinkan.

Beberapa bulan setelah kejadian, ibuku berubah menjadi sangat pendiam dan selalu menjaga jarak dariku ketika kami hanya berdua saja. Hal itu pun cukup membuatku merasa seperti ada tembok besar di antara aku dan ibuku, membuat kesadaranku langsung mengambil alih karena takut kalau-kalau ibuku membenci kehadiranku dan menyalahkan dirinya sendiri nanti.

Dengan berat hati, aku pun berusaha dengan keras untuk kembali menjadi diriku yang dahulu belum pernah mengenal rasa sakit. Dan ketika merasa telah berhasil menunjukkan bahwa aku sudah baik-baik saja di hadapannya maupun keluargaku saat itu, lantas barulah kemudian aku memilih keputusan untuk tinggal jauh dari mereka.

Entah kenapa, mereka justru selalu mengutarakan bahwa aku egois. Padahal, mereka adalah alasan utama kenapa aku bersikap egois. Berharap mereka dapat mengerti sedikit saja diriku, rasanya pun percuma kalau nyatanya apa yang mereka lakukan justru selalu mempunyai dampak yang cukup besar untuk diriku.

Sungguh, bukan sebuah makian yang ingin aku dengar dari mereka ketika aku mengambil keputusan untuk diriku serta masa depanku. Ataupun amarah yang meledak-ledak, ketika aku menentang keinginan mereka yang tidak sama dengan keinginanku. Aku hanya ingin mereka mendengar suaraku, hanya itu. 

Apakah itu salah? Apa tidak bisa? Apa tidak boleh? Seegois itukah keinginanku? Hingga setiap kali mereka berbicara denganku harus dengan cara yang meledak-ledak, penuh amarah dan dengan intonasi yang tinggi?

Ketahuilah, bahwa aku juga hanya manusia biasa yang terkadang bisa melakukan kesalahan apapun. Jadi, jangan pernah memperlakukanku seperti seorang penjahat yang harus terpenjara dalam sebuah kata-kata ataupun umpatan-umpatan. Sesungguhnya, aku hanya berusaha mencari kebebasan dan kesenangan ku di luar sana agar bisa merangkul batin untuk memulih. Walaupun aku paham bahwa semuanya tidak akan semudah yang aku bayangkan.

Tetapi, ketika seorang psikolog dan psikiater bahkan sudah tidak bisa berbuat banyak atas apa yang menimpa diriku. Rasanya hal itu cukup mampu menghancurkan keseluruhan harapan-harapanku untuk bisa menjalani kehidupan dengan normal, sehingga aku pikir menjadi egois adalah pilihan yang paling tepat.

Tetapi maaf bila dengan cara ini yang mana harus sebentar  'Melarikan diri', bisa membuat aku terlihat begitu egois dan tidak memperdulikan diri sendiri. Sebab, aku hanya lelah.

“Jangan membuat mereka bisa menebak apa yang telah terjadi”

“Kami menunggumu untuk sarapan bersama…”

“Bersiaplah segera..” tidak merespon apa yang baru saja ibuku ucapkan dari ambang pintu kamar, beberapa detik selanjutnya air mataku pun tumpah bersamaan dengan suara pintu yang di tutup.

Ting

 

From : Zayn

‘Selamat pagi, Ken. Maaf telah membuatmu dalam masalah besar. Tapi aku berjanji akan segera membereskannya setelah aku kembali dari New York. Salam untuk ibumu’

 

To: Zayn.

'Kau tak perlu membereskan apapun?!'

 

From : Zayn

‘Kita liat saja nanti..’

 


Entah permainan apa yang ingin Zayn mainkan, dengan kesal aku memilih menutup pesan darinya seraya melempar ponsel dengan sembarang kemudian barulah aku menghapus air mata di kedua pipi seraya memijat pelipis sejenak sebelum mengambil langkah menuju ke dalam kamar mandi.

Beberapa menit di rasa sudah cukup untuk membersihkan tubuh di dalam bath up dengan menggunakan sabun Molton brown beraroma rhubarb, rose dan musk.

Segera aku pun menarik bath robe yang ada kemudian berlalu memasuki walk in closet pribadiku di Mansion ini dan berdiri di hadapan cermin besar, mataku seketika membulat sempurna dan membuatku jadi memutar tubuh memunggungi ke arah cermin karena mendapati sesuatu yang berwarna biru keungu-unguan terjejak di sekitaran punggungku.

Hatiku pun mencelos ketika membayangkan apa yang ku dapati semalam, yang kemudian juga di iringi dengan suara meringisku ketika dengan sengaja tanganku sedikit menekan bagian punggung. Tidak ingin lebam ditubuhku membekas lebih lama, segera aku pun mengoleskan obat krim yang mengandung arnica ke sekitar bekas lebam.

Sialan!

Masih memandangi memar yang tepampang nyata dan lantas menutup kembali bath robe mandi yang melekat di tubuhku lalu, mulai memilih baju olahraga yang akan ku kenakan untuk hari ini. Tak lupa bagiku untuk selalu menggunakan sarung tangan.

Terlepas dari segala ke sibukanku di dalam walk in closet, perlahan langkahku pun tergerak untuk keluar kamar dan menuruni satu persatu anak tangga yang ada di Mansion utama ini guna menghampiri mereka semua di ruang makan.

Good morning..” ucapku datar yang kemudian membuat beberapa dari mereka menjadi menatapku dengan melempar senyum menyambut kehadiranku diantara mereka.

Morning, Ken.. “ sahut adikku yang tetap sibuk memotong kentang di piringnya. “Bagaimana tidurmu?”

Not bad

“Menginaplah lebih lama Ken”

“Aku tidak bisa meninggalkan Hailey sendirian, Dad” balasku seraya melangkah lebih dekat ke arah meja makan, kemudian mengecup kedua pipi ayahku secara bergantian dan kemudian menempatkan posisi duduk di kursi sebelahnya yang bersebelahan juga dengan adikku.

Dimana, tepat di hadapanku adalah tempat ibuku terduduk menikmati sarapan paginya tanpa mau menoleh barang sejenak atas kehadiranku di ruangan ini.

Menatap seluruh makanan yang berada diatas meja makan berukuran besar dari kayu dan bergaya klasik ini, tidak membuat kami lupa untuk memanjat doa sebelum makan dan mengucap syukur setelahnya.

Sehingga bukan hal tabu lagi, jika momen seperti ini ayah atau ibuku manfaatkan untuk saling bercerita dan berbagi perasaan satu sama lainnya dengan aku juga Kylie.

“Apa benar kau sedang dekat dengan dia?” tebaknya membuatku batal meraih butter di tengah meja makan dan lantas kembali terduduk dengan menatap wajahnya penuh keraguan, hingga tiba-tiba suara deheman milik ibuku memecahkan keheningan.

“Dia yang di maksud ayah-mu itu Justin, Ken” sela ibuku mencoba membuatku tidak salah paham, bersamaan juga dengan suara batuk-batuk milik adikku yang bisa ku tebak karena tersedak makanannya.

“Ken, bantu adikmu…”

“Berikan dia minum” mengangguk patuh atas perintah dari ayahku, segera aku mengulurkan gelas berisikan air putih pada Kylie.

“Jangan terburu-buru” ingatku membuatnya mengangguk setuju seraya menerima gelas yang aku berikan dan menenggak isinya hingga tandas. 

Well.. kau bisa mengajaknya ke acara makan rutin nanti malam kalau kau mau” tawar ibuku tetap dengan pembawaan yang santai seraya menikmati salad di hadapannya.

“Dan membiarkan media semakin ramai?”

“Apa yang salah dengan itu?”

“Aku bukan Kylie yang senang menjadi highlight berita, Mom

“Lagi pula aku dan Justin hanya berteman, tidak lebih..” tuturku berdasarkan fakta yang sesungguhnya, sedangkan ibuku justru berdecih remeh. “Tidak akan ada pertemanan yang murni antara perempuan dengan laki-laki”

“Jika bukan kau yang terjebak dalam hatinya, maka dialah yang jatuh hati padamu” katanya.  

In your dream Mom?!” mengangguk setuju atas pernyataan yang adikku katakan, nyatanya berhasil membuat ayahku menyinggung senyum tipisnya. “Bahkan putriku bisa mendapatkan yang lebih dari pada dirinya, bukan begitu Ken?”

“Adikku juga bisa, bukan begitu Kyl?” mengangguk setuju seraya menimpali pertanyaannya kepada adikku, kembalilah aku menyibukkan diri dengan menyuap potongan waffle.

“Tentu…” balasnya.

“Apa salahnya mencoba untuk saling mengenal lebih jauh?”

“Aku bahkan bisa meminta kontaknya sekarang juga kalau kau mau. Bagaimana?” mendengar lagi usul dari ibuku, membuat selera makanku memburuk dan memilih melempar tatapan memohon kepada ayahku kemudian. “Sudahlah…”

“Jangan memaksanya Kris”

“Lagi pula, aku yakin kedua penerus keluarga Jenner punya selera yang cukup baik dalam mencari pujaan hati mereka” ucapnya membelaku, membuat meja ini kemudian hening sedangkan aku tidak mau ambil pusing dan tetap menikmati sarapanku pagi ini. 

Merasakan sangat tertekan dan tidak jarang meluapkannya dengan cara menjerit atau bahkan menangis sejadinya di dalam kamar karena terlalu banyak menanggung beban pikiran dalam kehidupan, ternyata memang tidak memberikan efek apapun setelahnya. Terkecuali hanya rasa lelah dan berakhir kehilangan kontrol yang mampu menyusahkan banyak orang.

Terlebih, mengetahui bahwa kehidupan yang aku jalani ini berbeda dari kebanyakkan. Penuh kekacauan dan rasa bersalah.

Membuatku semakin merasa tak berguna dan tak berdaya secara bersamaan, seolah satu-satunya jalan terbaik yang aku miliki hanya dengan kembali tenggelam dalam kesendirian walaupun dengan waktu yang terbatas. Sehingga, mengikuti keputusan ibuku untuk kembali mengikuti aktivitas meditasi bersama pelatih yoga pribadi keluargaku adalah salah satu cara terampuh untuk meredam segala rasa khawatirnya atasku yang sebenarnya selalu menyembunyikan segala hal darinya.

Duduk bersila di atas matras yoga dengan berusaha berpikir tenang sambil memejamkan mata dan meletakkan tangan di paha, lalu memposisikan telapak tangan terbuka keatas dengan menyentuhkan ujung ibu jari ke jari telunjuk selama hampir satu jam.

Tidak henti-hentinya aku berusaha untuk bernapas panjang dengan tenang dan teratur selama beberapa menit, seraya merasakan dinginnya hembusan angin yang menembus kulit di taman hingga menimbulkan suasana hati ini kembali sedikit damai dan tenang.

“Silahkan rapalkan mantra-mantra penyemangat yang selalu kau yakini dalam pikiran Ken”

“Kemudian ulangi secara terus menerus” perintah Rue, membuatku kembali mengulang mantra andalanku.

I'm good enough and I will always be good enough, cause yesterday is over and tomorrow will be fine. Everything about my life is fine. Gumamku berulang-ulang di dalam hati.

“Tarik napas perlahan…”

“Cobalah untuk tetap santai dan buang pula dengan perlahan”

“Kemudian, buka mata dan jangan terburu-buru”

“Tetap santai dan perlahan…” mengikuti apa yang dia ucapkan, membuatku tatapan kami lantas bertemu dan saling menyinggungkan senyum. “Semoga meditasi ini masih berpengaruh untukmu Ken”

“Mudah-mudahan saja”

“Baiklah, aku rasa meditasi untuk hari ini sudah cukup…”

“Apakah besok kita akan melanjutkan meditasi ini lagi, Rue?” tanyaku, membuatnya mengangguk setuju. “Sesuai perintah Kris”

“Bisakah kau lupakan perintahnya?”

“Datanglah ke studio fitness milikku, maka kau bisa mengikuti banyak kelas olahraga disana dan aku bisa melupakan perintah Kris”

“Akan pikiran tawaranmu”

“Aku akan selalu menunggu..”

“Sialan?!” umpatku ketika melihat kearah sosok wanita bermata biru yang berdiri tepat di belakang pelatihku. “What?

Sorry.. just ignore it

“Apa kau baik-baik saja Ken?” tanyanya terdengar khawatir seraya menghantarkan usapan tangannya di punggungku, karena aku mengumpat kesal namun tetap pada posisi duduk bersila. “Ya.. I’am fine

By the way, terimakasih untuk hari ini…”

“Dan maaf kalau ibuku membuat jadwalmu menjadi berantakkan hari ini” ucapku singkat dan mencoba menyembunyikan kegelisahanku dengan memberikan senyum terbaik. “Sama sekali bukan masalah Ken”

“Lagi pula, bukankan memang sudah seharusnya aku memiliki jadwal untuk melatihmu kembali setiap minggunya mulai hari ini?”

“Bahkan mulai saat ini aku memiliki dua pertemuan dalam satu minggu denganmu”

“Aku harap kau tidak bosan Ken”

“Jangan membuatku bosan kalau begitu”

“Akan aku usahakan untukmu…”

“Kalau begitu, see you ok?” ucapnya seraya memberikan pelukkan perpisahan darinya, kerena waktu meditasiku telah usai. “See you …” balasku.

Menatap keberadaan ibuku dan wanita itu yang perlahan mulai mendekat ke arahku, segera aku pun memilih bangkit dari keterdudukan dan berlalu dari hadapan pelatih pribadiku guna menghindari kedatangan mereka. “Kendall”

“Ke sinilah sebentar..” panggilnya menyerukan namaku, membuat langkah kaki ini pun terhenti dan sejenak memejamkan mata guna meredam kekesalan akan keputusan ibuku yang terkesan sangat egois kali ini. “Maaf Mom, tapi badanku rasanya sudah sangat berkeringat

“Kita bicara nanti saja ya?!”

Permisi…” balasku agak kesulitan pada akhirnya, kemudian memilih kembali berbalik badan dan melanjutkan langkahku yang sempat tertunda tanpa memperdulikan lagi tatapan membunuh dari ibuku. “Anak itu selalu saja mencari-cari alasan?!”

“Biarkan saja Kris…”

“Jangan sampai kau justru membuat meditasi yang sedang dia jalani menjadi berakhir sia-sia”

“Kau benar…”

“Tetapi tetap saja, caranya bersikap sangatlah tidak sopan?!”

“Sama sekali bukan masalah Kris. Kendall bahkan sudah seperti putriku sendiri” mendengar sekilas percakapan mereka, membuatku lantas berdecih remeh karena masih kesal dengan keputusan egois dari ibuku.  

Pasalnya, tadi pagi setelah sarapan. Ibuku berhasil meyakinkan ayahku agar aku kembali melaksanakan kegiatan meditasi rutin itu di Mansion ini. Dan sialannya, ibuku kembali mengancam. Jika saja aku berani menentang apa yang telah dia tetapkan atasku, maka dia tidak segan untuk mengadukan pada ayahku mengenai semua kegiatan liarku selama tidak lagi tinggal bersama mereka.

Sehingga, di sinilah aku sekarang. Terjebak dalam kebosanan, seperti tidak di perbolehkan pergi meninggalkan Mansion ini tanpa bodyguard yang di utus khusus oleh ibuku. Kemudian kembali  melakukan kegitan meditasi sebanyak dua kali dalam seminggu dengan di damping oleh pelatih yoga pribadi keluargaku. Terlebih, satu hal yang paling aku tidak suka adalah kehadiran wanita itu di Mansion ini karena kedatangannya sangatlah bertepatan dengan masalah yang sedang melandaku.

Oh God?!

Aku benar-benar tidak siap jika harus mendatangi ruangan hampa itu lagi atau pun berteman dengan benda kecil itu lebih banyak lagi. Sialan!

Terlepas dari segala kegiatan di dalam kamar mandi yang dipenuhi dengan lilin aroma terapi berbahan dasar bunga lavender, membuatku tak sadar entah sudah berapa lama aku berkutat di hadapan cermin besar yang ada di walk in closet.

Sama sekali tidak menyentuh alat make up untuk merias wajahku dan hanya berminat mengeringkannya sebentar dengan hairdyer, kemudian membiarkan rambutku terurai serta menatap keseluruhan diriku yang tengah mengenakan lingerie di balut bathrobe berbahan dasar silk dengan pikiran yang mengawang seusai mengoleskan kembali obat krim arnica yang sebelumnya aku gunakan ke sekitar bekas lebam di punggungku.

Berpindah untuk merebahkan punggungku di ranjang dengan di sanggah bantal, tangan ku pun terulur meraih ponsel dari atas nakas. Menghembuskan nafas lelah karena melihat ada 55 pesan masuk serta 120 panggilan tak terjawab dan semua itu dari Hailey, tanpa berlarut-larut aku pun segera mengetikkan pesan singkat untuknya sebab ponsel ku baru saja selesai di charger.

 

To: Hailey

‘Saat ini aku berada di Bel-Air dan ibuku tidak mengizinkanku pergi tanpa pengawalan. Jadi, aku harap besok kau bersedia untuk menggantikanku mewawancarai photographer yang telah di rekomendasikan oleh model kita.

From: Hailey

‘Take your time, Ken. Aku akan menghandle-nya untukmu. So, segeralah mengucapkan terimakasih pada Niall karena dia lebih dahulu memberitahukan kabarmu padaku sebelum aku menggila ketika aku tidak mendapatimu di Mansion semalam.’

To: Hailey

‘Ok.. Thx, Hails. Untuk sementara aku titip Six padamu ya dan jangan lupa untuk hadir di acara malam natal keluargaku’

From: Hailey

‘Ok..’

 

 


Tok..tok..tok...

“Masuk..” tuturku ketika mendapati suara ketukkan di pintu kamar, kemudian dengan perlahan pintu kamar pun terbuka dan memunculkan sosoknya disana. Sehingga, segera aku pun membenarkan posisiku menjadi terduduk di sisi ranjang.

“Apakah kau sudah minum obat?” tanyanya seraya melangkah mendekat kearahku dan menatapku dengan tatapan yang paling aku benci. Sehingga, dengan sekuat hati aku kembali harus menahan perih lagi kali ini.    

“Kau takut atau khawatir?” jawabku yang balik bertanya, namun hal ini tidak membuat dirinya batal untuk terduduk disebelahku dan justru dia malah menyinggungkan senyum lebarnya kearahku.

“Kakakku terlalu mempesona untuk ditakuti” ikut menyinggung senyum atas jawaban darinya, membuatku tidak terlalu sulit menahan perih yang dia hantarkan dan sebagai pengalihannya aku pun lantas menggenggam erat kedua tangannya. “Tidak perlu khawatir Kyl…”

“Lagi pula, mana bisa aku hidup dengan normal tanpa meminum semua obat-obatku itu” ucapku menjawab rasa khawatirnya, sehingga sepersekian detik kemudian aku mendapatkan dirinya tiba-tiba menenggelamkan wajahnya tepat di dadaku. 

“Tidak bisa…”

“Karena setiap hari kami sudah terbisa untuk selalu mengkhawatirkanmu, Ken”

“Sampai-sampai rasa khawatir itu berubah menjadi rasa ketakutan yang mendarah daging” ucapnya, membuat lidahku tiba-tiba berubah kelu dan dadaku terasa sesak menahan pilu.

Terlebih, tatapanku terpaku padanya yang kini sudah banjir oleh air mata dan bahunya nampak bergetar menahan isakkannya yang semakin menjadi di dadaku.

“Kami sudah pernah melihatmu benar-benar hancur…”

“Terlebih kami menyaksikan sendiri kehancuranmu tepat didepan mata kami tanpa bisa berbuat apa-apa”

“Dan hal itu nyatanya teramat cukup untuk menghancurkan kami setiap harinya karena terlalu khawatir terhadapmu”

“Sehingga, satu-satunya ketakutan terbesar kami setelah kau memilih untuk pergi dari Mansion ini adalah melihat kau hancur lagi Ken” tak kuasa menahan air mata atas apa yang dia ucapkan, dengan cepat aku pun segera mendekap erat dirinya dalam pelukkanku dan mengelus punggungnya seolah meyakinkan bahwa hal itu tidak akan pernah terjadi lagi kepadaku. “Jangan khawatir…”

“Pada kenyatanya, aku masih baik-baik saja sampai detik ini Kyl” lirihku seraya menghapus jejak air mata yang ada dikedua pipinya, kemudian segera mengambil jarak dan berdiri guna melangkah dari sisi ranjang. “Tidak Ken”

“Kau menyembunyikannya dari kami?! Aku bisa lihat itu…”

“Tidak sama sekali” elakku.

“Kakakku bukanlah seorang pembohong” tertampar cukup keras atas pernyataan yang baru saja dia ungkapkan, dengan berat hati aku pun mengangguk setuju. “Kau mengenalku dengan baik Kyl”

“Jangan menyembunyikan apapun dariku kalau begitu?!”

“Apa dengan menunjukkan hal sedang aku sembunyikan dapat lantas menyelesaikan segalanya?”

“Setidaknya kau tidak harus menanggungnya seorang diri Ken”

“Terimakasih, tapi aku lelah Kyl…”

“Sepertinya aku akan tidur saja malam ini” ucapku berupaya menyembunyikan air mataku darinya dan lantas melipat kedua tangan di dada, setelah sebelumnya lebih dahulu memutar handle pintu kamar ini agar terbuka.

“Kami semua selalu menginginkan yang terbaik untukmu”

“Aku tau apa yang terbaik untuk diriku”

“Bukannya aku bermaksud untuk membela Mom..”

“Tapi, aku yakin apa yang Mom lakukan juga semata-mata hanya tidak ingin kalau kakakku yang sudah dewasa ini tersakiti lagi” Ucapnya yang kali ini kembali membela ibuku. “Selama aku tidak mengizinkan orang lain untuk menyakitiku, maka aku tidak akan pernah merasa tersakiti lagi”

“Kalau begitu segeralah memperjelas hubunganmu dengan lelaki itu, agar kau tidak lagi mendapat pengawasan berlebihan dari Mom” menyinggung senyum malas karena usulnya yang seolah telah berpengalaman menghadapi situasi seperti ini, sejenak dia pun menghentikan langkahnya di sisiku.

“Hmm.. Pukul 7 malam nanti kau sudah harus siap Ken”

“Itu pun kalau kau tidak ingin Mom sendiri yang datang ke kamarmu dengan sikap memaksa”

Bye, see you to night..” memutar bola mata jengah karena dia mengecup pipiku setelah berucap demikian, membuatku menutup pintu dengan segera dan memasuki ruang walk in closet seraya terduduk di hadapan meja rias.

Pikirku, mengalah untuk saat ini mungkin lebih baik dari pada harus keras kepala menentang keinginannya terus menerus. Lagi pula, aku juga bosan seharian terkurung di Mansion ini dan pada akhirnya akan sama saja. Aku tetap akan di paksa harus menghadiri makan malam rutin bersama malam ini.

Komentar

Postingan Populer