DIRTY BUSINESS - 4

 

Memilih berjalan kesana-kemari di bandingkan untuk terduduk diam di bangku kebesaranku, pandanganku pun lantas menatap lekat kearah jarum jam. Aku benar-benar merasa sedikit cemas sekarang karena beberapa menit yang lalu, Niall memberi kabar bahwa ibuku sempat berkunjung ke Mansion pribadiku.

Entah apa yang dipikirnya saat ini, yang pasti aku telah memiliki alasan paling tepat mengenai kenapa aku tidak bisa berangkat bersama dengannya ke pesta ulang tahun Hailey. Meraih tas diatas meja dan mengenakan jaket, dengan mantap barulah aku berlalu pergi dan tak lupa untuk menutup pintu ruangan. 

Berdiri tepat di ambang pintu masuk studio yang menjadi tempat produksi pakaian dari butik milikku dan segera menginstupsikan sebelah tangan kearah mereka yang sedang berjaga, dirinya yang sudah mengerti pun lantas datang menghampiri dengan mengemudikan mobil range rover berwarna hitam yang menjadi hadiah ulang tahun di usia ku ke-21.

Segera menarik handle pintu mobil dan terduduk di kursi belakang, dia pun lantas mengangguk setelah aku lebih dulu menunjukkan arah kemana dia harus mengantarku malam ini.

Menempuh perjalanan yang cukup lama untuk sampai ketempat ini, mobil yang ku tumpangi pun telah berada tepat didepan pintu utama bangunan yang nampak di jaga oleh 5 orang berbadan tegap. Menatap sekilas kearah luar kaca jendela mobil, aku lihat banyak para paparazzi sudah siap menyambut dan ada beberapa orang juga yang sudah melangkah memasuki bangunan tersebut.

“Nona Kendall, apa tidak sebaiknya kita masuk melalui pintu belakang saja?” menggelengkan kelapa seraya menyinggung senyum sebagai jawaban dari pertanyaannya, beberapa detik selanjutnya pun kudapati eksperesi keterkejutan diwajahnya. 

“Ini pesta ulang tahun Hailey…”

“Dan aku ingin tetap terlihat hadir di acara ini agar ibuku tidak curiga, Felix” jelasku sebagai jawaban atas raut wajah terkejutnya, yang lantas dia pahami dengan ber-oh ria. 

Tidak memiliki waktu banyak untuk berfikir lebih lama, aku pun memantapkan diri untuk melangkah keluar dari mobil dengan di dampingi oleh Felix. Hingga tiba-tiba, aku mendapati seorang pria bertubuh tegap mengaitkan tangannya ketubuhku secara protektif dan ikut membantu kami untuk menerobos keramaian para paparazzi.

Banyaknya sambutan flash para paparazzi pun berhasil membuat mataku mengerejap beberapa kali, sehingga aku pun lebih memilih menghindari pandangan dari kilatan cahaya tersebut tetapi tetap memaksakan untuk menebar senyum ramah. Tepat memasuki ruangan gelap dan beraroma percintaan ini tanpa perlu mengantre, aku lihat dia tengah berdiri tegap seraya mengumbar senyum kearahku.

Sehingga aku dengan senang hati segera melangkah kearahnya dan membalas sambutan rentangan tangannya menjadi pelukkan hangat. Tidak lupa, aku mengecup pipi kanan dan kiri seraya melepaskan pelukkan di antara kami kemudian memilih melangkah ketengah ruangan karena takut menarik perhatian lebih kepada para paparazzi.

“Maaf telah membuatmu menunggu lama” ujarku dengan nada meninggi tepat di telinganya, sebab aku khawatir jika dia tidak mendengar apa yang aku ucapkan karena suara musik EDM (Electronic Dance Music) di dalam sini yang lumayan bising.

“Tidak masalah Ken” ucapnya seraya memeluk tubuhku dari arah belakang, kemudian kurasakan gelenyar lembut membasahi leherku di sertai dengan hembusan nafasnya yang pekat akohol dan membuat kupu-kupu mulai berterbangan dari dalam perutku.

“Emmhh.. Zayn, cukup…”

“Ada baiknya kau jelaskan lebih dulu kenapa kau kembali ke Los Angeles lebih cepat dari waktu yang telah kau janjikan? Bukankah ini baru satu minggu?” keluhku diambang batas kesadaran yang kini berusaha untuk kembali fokus dan lantas dia indahkan dengan menyudahi kecupannya di leherku, kemudian menghadapkan tubuhku berbalik untuk menghadapnya.    

“Aku merindukanmu Kendall. Memangnya apa lagi alasan yang paling tepat?” memutar bola mata malas atas ucapannya yang dengan terang-terangan menggodaku karena sepertinya dia telah dipengaruhi oleh alkohol, kini kurasakan kedua tangannya yang dingin sigap menangkup pipiku sehingga membuat iris mata kami bertemu dan saling menatap dalam.

“Kita sudah sering mendebatkan hal ini…”

“Aku mohon tidak untuk malam ini Ken” ucapnya mencoba memperingatiku, sehingga aku memilih untuk tidak mendepatnya dan segera aku menepis kedua tangannya di pipiku kemudian berkeinginan melangkah kearah bar.

“Kau mau kemana?” tanyanya yang lebih dahulu berhasil mencekal pergelangan tanganku, sehingga aku harus kembali berhadapan dengannya yang mana saat ini sudah tidak menyisakan jarak diantara aku dan dia. 

“Menikmati pesta ini, tentu saja..” jawabku sarkastik, akan tetapi mataku lantas membulat sempurna ketika dia menarik pergelangan tanganku dan membuat dadaku menabrak dadanya.    

“Aku sangat benci ditentang Ken?!” tuturnya dengan nada tegas serta memperlihatkan rahangnya yang mulai mengeras, sehingga aku pun memilih untuk menarik kembali tanganku dari genggamannya.  

“Dan aku sangat benci diperintah?!” balasku yang tak mau kalah, seraya menatap lekat raut wajahnya yang nampak terbakar emosi ditengah redupnya cahaya dalam ruangan ini.

“Apa sulitnya untuk tidak lagi memberikanku tatapan menyebalkan seperti itu Ken?” mendapati raut wajah penuh kekecewaan dan didominasi oleh aura gelap yang dimilikinya, membuatku sadar bahwa dia sedang dalam pengaruh alkohol dan kemudian berusaha mengatur emosiku karena tidak sanggup lagi jika harus lebih lama menatap sorot matanya.

Next time, jangan minum lebih dulu…”

“Kau harus menungguku Zayn” peringatku mencoba mengusaikan perdebatan tidak berarti ini dan menyingkirkan egoku untuk menggenggam tangannya yang sebelumnya nampak mengepal begitu erat.

“Aku minta maaf” ucapku, membuatnya melunak dan kemudian tanpa aba-aba bibirnya mengelumat bibirku. 

Dengan segala keberanian yang aku punya dan juga dengan setengah tega, aku mendorongnya agar berhenti mencicipi bibirku ditengah keramaian ini. Sebab, aku tidak ingin menjadi pusat perhatian semua orang dan besok aku mendapati highlight berita bahwa Kendall Jenner tengah bercumbu mesra dengan pengusaha muda sukses asal Italia bernama Zayn Javvad Malik di dalam sebuah club malam.

Menarik tangannya untuk kearah lain dan jauh dari arah pintu masuk, membuatnya kemudian menatapku dengan tatapan penuh tanya dan mungkin setengah mati menahan hasratnya. Akan tetapi, dia lantas mengikuti tatapanku yang kini tengah terpaku kearah ibuku yang mulai berjalan memasuki tempat ini bersama beberapa bodyguard disisinya.        

“Ikut aku…” putusnya secara sepihak dan menarikku dengan tangannya yang kini menggenggam erat telapak tanganku.

Mengikutinya untuk terduduk di salah satu bangku VVIP yang masih kosong dan jauh dari keberadaan ibuku disana, membuatku sejenak menyandarkan tubuhku di sofa ini. Di suguhi satu gelas vodka dan lime olehnya, tak lupa aku berucap terima kasih lebih dahulu dan mulai menyesap perlahan minuman dalam genggamanku ini.

“Apa tidak sebaiknya kau pergi saja Zayn?” tanyaku gusar, tetapi dengan sikap lembutnya dia justru sibuk merapihkan beberapa helaian rambutku dan mengarahkannya ke belakang telinga. Walaupun hal ini tentu saja berhasil membuat hatiku berdesir, sekuat hati aku berusaha untuk tidak ikut hanyut menikmati sikapnya ini dalam kebungkaman.

“Apa ada hal yang lebih baik dari pada menemani wanita yang kusayangi malam ini?” meninggikan sebelah alisku karena agak terkejut atas penuturannya yang sudah mulai melantur, membuat tanganku tergerak mengusap lebut sebelah pipinya.

“Lihat?! Alkohol telah benar-benar merenggut kewarasanmu rupanya?!” ejekku yang diakhiri dengan menjentikkan ujung hidungnya, dan hal ini berhasil membuatnya tersenyum tipis seraya menatapku intens.

“Dan satu-satunya orang yang membuatku tetap waras menjalani kehidupan yang menyebalkan ini adalah dirimu Ken” ikut menyinggung senyum karena ucapannya, kini aku mengerti bahwa Tuhan mempertemukan kami bukan tanpa alasan.

Sebab, nyatanya setelah satu tahun bersama. Aku baru saja mengetahui fakta bahwa bukan hanya aku seorang yang menganggap kalau kehidupan ini begitu menyebalkan, tetapi dia pun demikian.    

“Sayangnya perkataanmu bagaikan angin lalu untukku Zayn” jawabku dengan pasti serta menyadarkannya agar kembali pada kenyataan, sehingga di detik berikutnya dia menatapku penuh keterkejutan dan berdecih kemudian.

“Terserah, yang jelas aku sudah memberitahu bahwa aku akan tetap berada disini” tegasnya, membuatku mengangguk setuju saja dan tetap mengontrol perasaanku setiap kali mendapatkan ucapan-ucapan manis darinya yang saat ini sedang di pengaruhi oleh minuman beralkohol.

Well, apa sebenarnya yang membuatmu tiba-tiba kembali ke Los Angeles jauh lebih cepat dari yang telah kau janjikan kepadaku?” tanyaku to the point yang kemudian mendapati tangannya mengelus pucuk kepalaku dengan lembut, tetapi hal ini tidak berlangsung lama karena aku segera menyingkirkan tangannya dari pucuk kepalaku. 

“Karena ada beberapa hal yang ingin aku bicarakan denganmu saat ini juga” mengangguk setuju atas ucapannya, aku pun lantas menegakkan posisi dudukku dan menatap lekat kearahnya.

“Membicarakan tentang berapa jalang sudah kau tiduri selama satu minggu ini atau--” ujarku yang lantas terpotong karena dia lantas mengecup singkat bibirku.

“Jangan memulai lagi, Ken”

“Kau membuat dirimu terlihat seperti kekasih yang sedang cemburu” sedikit berdecih atas jawabannya, membuatku lantas memilih menyesap minumanku lebih dahulu untuk meredakan ketegangan yang aku rasakan.

“Apakah sangat penting?” tanyaku seraya mengusap lembut tangannya dalam genggaman tanganku, kemudian mataku sibuk mengamati wajahnya yang nampak bingung sekaligus memancarkan kesenduan. 

Well, besok aku ingin mengajakmu pergi ke acara pelelangan di New York” mendengar kata di akhir kalimat yang baru saja dia ucapkan, tanganku pun berhenti mengusap lembut tangannya.

Degup jantungku pun tidak lagi seperti sebelumnya dan hatiku begitu mencelos menahan sesak, terpaksa mataku pun dengan susah payah harus menahan untuk tidak menumpahkan air mata.

“Kau tau itu tidak akan mungkin Zayn” sesalku seraya memperhatikan raut wajah dan tatapannya yang kini berubah menunjukkan kekecewaan, seolah dia begitu ingin aku bisa ikut pergi menghadiri acara itu bersama dengannya besok.

“Aku bisa membuatnya menjadi mungkin Ken” tawarnya seraya menatapku penuh harapan besar.

“Jangan zayn” tolakku dengan berat hati. 

Please?” tidak ingin membawa percakapan ini lebih jauh lagi, aku pun hanya bisa menggelengkan kepala sebagai tanda bahwa aku sudah tetap pada keputusanku untuk tetap menolak ajakkan darinya. Membuatnya lantas memejemkan mata sejenak kemudian mengangguk setuju dengan keputusanku pada akhirnya. “Baiklah” putusnya.

“Aku harap kau mengerti?” tuturku kemudian, membuatnya lantas mengusap pucuk kepalaku dan membawaku kedalam dekapannya. Hal ini pun membuatku menghembuskan nafas lega, karena mendapati sikap dewasanya atas penolakkan dariku.

Berusaha untuk tetap menjaga jarak dari keberadaan ibuku yang sibuk berbincang-bincang dan menikmati minumannya di arah sana, dengan berhati-hati Hailey pun ikut bergabung sebentar di meja kami untuk sekedar bertukar sapa. Tidak lupa, aku dan Zayn pun sama-sama memberikan Hailey sebuah hadiah ulang tahun. 

Menegakkan tubuhku dari sandarannya, sedangkan dia masih asik menyesap minumannya dan kemudian menghisap rokok disela-sela bibir tipisnya. Perlahan aku pun menggelengkan kepala berharap dapat sedikit menghilangkan rasa pusingku karena telah minum terlalu banyak. Memilih bangkit dan meminta izin untuk pergi ke toilet sebentar yang lantas menjadi perdebatan karena Felix tetap harus ada bersamaku.

“Aku hanya sebentar Zayn” keluhku, karena dia begitu keras kepala tetap menginginkan Felix untuk mengawalku ke toilet.

“Dan membiarkan bokongmu bergesekkan dengan milik para bajingan tua disana?” ucapnya nya dengan nada ketus, membuatku bergedik ngeri karena melihat matanya yang sudah memerah tanda bahwa dia bukan lagi dirinya.

Sialan! Perdebatan ini tidak akan pernah berakhir kalau aku terus menentang ucapannya.

Ok fine” putusku yang lantas melangkah pergi seraya diekori oleh Felix dari belakang, namun karena jarak kami sudah agak jauh aku pun tetap pada keputusanku yang ingin pergi ke toilet tanpa pengawalan darinya.

“Tunggulah disini, aku hanya sebentar”

“Baik Nona” ucapnya mematuhi perintahku dan memilih terduduk di kursi bar, sedangkan aku berlalu ke arah toilet berada.

Merasa lega setelah membuang air kecil dan memilih untuk segera kembali menghampiri Felix, tiba-tiba langkahku terhenti karena mendapati kembali seseorang mengenakan hoodie yang sama seperti beberapa waktu lalu.

Terlebih, kini dia tengah memperhatikan gerak-gerikku dari kejauhan. Merasa terusik aku pun memutuskan untuk beralih menjadi melangkah kearahnya disana. Tetapi sialnya, dia justru bergegas tergesa kearah pintu belakang karena menyadari posisiku yang mulai mendekat kearahnya.

Bersusah payah melewati keramaian dan berhasil menyelinap kearah pintu belakang bangunan ini, aku pun segera melangkah keluar dan mencoba memastikan keberadaannya dengan melihat kearah disisi kiri dan kanan. Tak mendapati lagi keberadaanya, dengan kesal aku pun menendang tempat sampah di dekat dinding.

“Sialan?!” umpatku meluapkan amarah seraya mengeluarkan bungkusan rokok di dalam clutch yang ku genggam.

Mulai mengeluarkan satu batang rokok dari kotaknya, segera aku mendekatkan kearah pemetiknya. Tetapi, setelah aku gagal menyalahkan pemetiknya berulang-ulang kali. Aku tersadar akan kegelapan yang begitu menyelimuti tempat ini. Tidak ingin pemikiran buruk mulai menguasai dan dirasa sudah mulai merasa cemas, aku pun membuang rokok dan pemetik yang ku pegang kemudian memilih untuk melupakan hal ini.

Tetapi, baru saja aku melangkah dan menggenggam handle pintu. Suara langkah yang tidak sengaja menginjak sesuatu terdengar, membuatku lantas mengurungkan niat untuk masuk dan memilih mencari ponsel dari dalam clutch.

Menyalahkan pencahayaan ponsel untuk menerangi keberadaanku, seketika pandanganku di kagetkan dengan keberadaan seseorang di kejauhan dengan memakai hoodie.

“Hei tunggu?!” cegahku yang tetap di jawab dengan keheningan, kemudian dengan penasaran dan rasa takut yang mendominasi.

Aku membulatkan tekadku untuk setengah berlari kearahnya sembari terus menerangi jalanku dengan cahaya ponsel dalam genggaman.

“Siapa kau?”

“Kenapa kau mengamatiku terus sedari tadi?” tuturku masih dengan nafas terengah-engah ketika aku berhasil menahan pergelangan tangannya.

“Hei, jawab pertanyaanku?!” tanyaku sekali lagi dengan intonasi yang meninggi dan sedikit bergemetar, pasalnya aku tengah berusaha menahan emosi yang kini mulai membuat dadaku terasa sesak.

“Kau tidak perlu tau siapa aku!”

“Cukup ingatlah baik-baik bahwa aku selalu mengawasimu dimana pun dan kapan pun” jawabnya yang masih enggan berbalik menghadap kearahku, membuatku semakin erat menggenggam tangannya. “Omong kosong!”

“Cepat katakan padaku siapa sebenarnya yang telah memerintahmu!” tantangku yang kemudian dijawabnya dengan berdecih seraya berhasil melepaskan tangannya dari genggamanku.

I have no clue

“Maka berpikirlah sepanjang hari untuk itu” ujarnya, membuatku lantas menggeram penuh emosi. Sialan!  

“Tunggu” baru saja aku ingin kembali meraih tangannya dalam genggaman, dirinya justru lebih dulu mendorong tubuhku.

Brak..

“Akh..” jeritku yang telah terdorong kearah tiang lampu penerangan yang berdiri kokoh dari besi, membuat punggung dan kepalaku terasa nyeri di buatnya.

Terlebih kepalaku pun terasa begitu pening dan telingaku seolah berdengung hingga mengalunkan kesadarakanku, pasalnya aku sudah semakin sulit untuk menahan sesak dan mencoba mengerejapkan mata beberapa kali karena tiba-tiba pandanganku sudah mulai berbayang.

Sialan! Siapa sebenarnya wanita itu.

“Nona, apa anda baik-baik saja?" tanyanya ketika orang yang menggunakan hoodie itu berhasil berlari pergi kearah sebrang jalan, sehingga aku pun memilih menjatuhkan diri untuk duduk di bawah lampu dan pandanganku kian menatap lekat kearahnya yang meraih tanganku guna mengecek nadi seraya terus saja bertanya. Namun, karena telingaku masih terus berdengung membuatku pada akhirnya sulit mendengar apa yang dia ucapkan saat ini.

Masih dengan pandanganku yang begitu samar-samar akibat benturan dan adanya pengaruh minuman alkohol yang aku konsumsi, terlihat dia ikut mengalihkan pandangannya tepat kearah aku menatap dan mengabaikan seseorang yang dari arah belakang jalan berlari menghampiri kearah kami. Sebab, tatapanku masih saja terarah padanya yang masih berdiri di tengah kegelapan dekat pohon besar.


Merasakan adanya tepukkan di sebelah pundakku, membuat seluruh pemikiranku mengenai seseorang ber-hoodie itu menjadi buyar seketika dan memilih untuk sejenak memejamkan mata sebelum akhirnya mengalihkan pandangan menjadi menatapnya.


Dengan pandangan yang sudah tidak lagi mengabur, membuat hatiku sedikit tercubit atas rupanya yang asing kini tengah di hiasi dengan raut wajah bertanya-tanya “Are you oke?”.


“Nona Ken??” mengabaikan panggilnya dari kejauhan yang mungkin memastikan keberadanku di tengah kegelapan saat ini, selanjutnya terdengar juga adanya suara langkah kaki yang nampak terdengar setengah berlari ke arahku.


“Sebentar, saya akan mencoba melihatnya..” ucapnya mencoba meminta persetujuan dan kemudian memilih berdiri tegap, membuatku dengan segera menahan pergelangan tangannya “Tidak perlu” kataku.


Sehingga, dirinya pun lantas menjadi berbalik badan lalu menjadi menatapku begitu lekat.


“Nona Ken, apa anda baik-baik saja?” tanyanya dengan begitu tiba-tiba dan menampakan raut wajah panik seperti biasanya, tetapi karena Felix tiba-tiba bersimpuh tepat di hadapanku dengan segera tanganku yang tengah menahan pergelangan tangannya menjadi terlepas begitu saja.


“Brengsek!” geramnya begitu menggebu-gebu seraya mendorong tubuh pria itu dan menarik kerah baju yang pria itu kenakan dengan sekuat tenaga, kemudian menjadi mengarahkan revolver miliknya tepat di dahi pria yang sedang dalam kukuhannya “Apa tujuanmu, Dude”.


Hal ini pun membuatku tidak mampu berucap apapun dan nafasku menjadi sedikit tercekat ditenggorokan, terlebih keduanya sama-sama menunjukkan tatapan penuh permusuhan satu sama lain.


Tidak ingin sesuatu yang tidak diinginkan terjadi nantinya, segeralah aku menghilangkan rasa terkejutku dengan menyerukan namanya dengan lirih dan sekuat tenaga menepis kilas-kilas tak mengenakkan dalam kepalaku.


“Felix..” tidak menghiraukan panggilan dariku karena dia sedang dalam pengaruh emosi, membuat tatapan dari pria yang tengah dalam kukuhannya itu beralih menjadi menatapku.


“Kau salah paham…”


“Aku hanya berusaha menolongnya” mendengarnya berucap demikian, sehingga di detik selanjutnya aku pun mengangguk cepat ketika tatapan Felix bertemu denganku guna mengkonfirmasikan kesalah pahaman yang sedang terjadi saat ini.  


Dan nyatanya, hal ini mampu menurunkan besarnya ego Felix dan membuatnya menyimpan kembali revolver di sisi pinggangnya. Mengingat betul bahwa dia akan dalam masalah besar nantinya, kalau sampai hal itu mempengaruhiku dan dia membawaku pulang dalam kadar emosi yang tidak terkontrol.


“Biar saya bantu..” tawarnya yang ingin melangkah kedekatku, namun gerakkannya di dahului oleh Felix yang lebih dahulu memahami kode dariku agar segera membantuku untuk berdiri sebelum dia yang lebih dahulu melakukannya.


“Terimakasih sebelumnya, tapi sepertinya kami akan segera pulang saja..” tolakku dengan ramah seraya sesekali menatap kearah Felix guna meminta dukungan, sehingga pria ini pun kembali mengambil langkah mundur dan memberikan Felix ruang.


“Kami akan pulang…”


“Lebih baik anda pun begitu. Tidak baik berdiri sendirian di tengah kegelapan..” ujar Felix yang kini mencoba membawa sebelah tanganku untuk melingkar di pundaknya, membuatku lantas menoleh kearahnya yang justru menyinggung senyum ramah ke arahku.


“Lain kali, hati-hati..” pesannya sambil menatapku, membuatku dengan cermat mengamati penampilannya yang hanya menggunakan t-shit putih dan juga celana jeans panjang saja. Tidak bisa dipungkiri bahwa aku pun menduga-duga pemikiran buruk tentangnya, karena siapapun pasti akan merasa aneh mendapati keberadaannya di sekitaran tempat ini.


Terlebih, penampilannya yang sangat santai membuat aku kesulitan untuk menebak kenapa dia tiba-tiba ada disini dan berjalan sendirian di tengah kegelapan malam.


Walaupun terdapat tattoo di sekitaran lengannya, tidak lantas membenarkan juga bahwa dia adalah seorang penjahat atau pun homeless.


Lagi pula dari raut wajah serta postur tubuhnya saja, bisa dipastikan dia terlihat terawat dan bukan seorang homeless. Point tambahannya lagi, pembawaannya yang tenang dan perduli terhadapku membuatnya terlihat lebih berkarismatik dari pada pria ke banyakkan di usia yang mungkin bisa aku tebak tidak terlalu jauh denganku.


“Terimakasih…” kataku seraya tersenyum ramah kepadanya.


“Bersikaplah seperti biasanya dan jangan membuatnya mencurigai kita..” pintaku tanpa ba bi bu, ketika kami memilih kembali masuk ke dalam club yang semakin bertambah ramai.


“Apa tidak sebaiknya kita pulang saja Nona?” tanyanya terdengar khawatir, ketika aku meringis seusai menurunkan sebelah tanganku yang tadi terlingkar di pundaknya.


“Kita temui dia lebih dahulu..” mengerti dengan apa yang telah aku bicarakan, tiba-tiba langkah kakiku lantas terhenti setelah mendengar seruan seseorang dari kejauhan yang ternyata sudah lebih dahulu melangkah kearahku bersama beberapa bodyguard disisinya.

Komentar

Postingan Populer