DIRTY BUSINESS - 4
Memilih berjalan kesana-kemari di
bandingkan untuk terduduk diam di bangku kebesaranku, pandanganku pun lantas
menatap lekat kearah jarum jam. Aku benar-benar merasa sedikit cemas sekarang
karena beberapa menit yang lalu, Niall memberi kabar bahwa ibuku sempat berkunjung
ke Mansion pribadiku.
Entah
apa yang dipikirnya saat ini, yang pasti aku telah memiliki alasan paling tepat
mengenai kenapa aku tidak bisa berangkat bersama dengannya ke pesta ulang tahun
Hailey. Meraih tas
diatas meja dan mengenakan jaket, dengan mantap barulah aku berlalu pergi dan
tak lupa untuk menutup pintu ruangan.
Berdiri
tepat di ambang pintu masuk studio yang
menjadi tempat produksi pakaian dari butik milikku dan segera menginstupsikan
sebelah tangan kearah mereka yang sedang berjaga, dirinya yang sudah mengerti
pun lantas datang menghampiri dengan mengemudikan mobil range rover berwarna hitam yang menjadi hadiah ulang tahun di usia
ku ke-21.
Segera
menarik handle pintu mobil dan
terduduk di kursi belakang, dia pun lantas mengangguk setelah aku lebih dulu
menunjukkan arah kemana dia harus mengantarku malam ini.
Menempuh
perjalanan yang cukup lama untuk sampai ketempat ini, mobil yang ku tumpangi
pun telah berada tepat didepan pintu utama bangunan yang nampak di jaga oleh 5
orang berbadan tegap. Menatap sekilas kearah luar kaca jendela mobil, aku lihat
banyak para paparazzi sudah siap menyambut dan ada beberapa
orang juga yang sudah melangkah memasuki bangunan tersebut.
“Nona
Kendall, apa tidak sebaiknya kita masuk melalui pintu belakang saja?”
menggelengkan kelapa seraya menyinggung senyum sebagai jawaban dari
pertanyaannya, beberapa detik selanjutnya pun kudapati eksperesi keterkejutan
diwajahnya.
“Ini
pesta ulang tahun Hailey…”
“Dan
aku ingin tetap terlihat hadir di acara ini agar ibuku tidak curiga, Felix”
jelasku sebagai jawaban atas raut wajah terkejutnya, yang lantas dia pahami
dengan ber-oh ria.
Tidak
memiliki waktu banyak untuk berfikir lebih lama, aku pun memantapkan diri untuk
melangkah keluar dari mobil dengan di dampingi oleh Felix. Hingga tiba-tiba,
aku mendapati seorang pria bertubuh tegap mengaitkan tangannya ketubuhku secara
protektif dan ikut membantu
kami untuk menerobos keramaian para paparazzi.
Banyaknya
sambutan flash para paparazzi pun berhasil membuat
mataku mengerejap beberapa kali, sehingga aku pun lebih memilih menghindari
pandangan dari kilatan cahaya tersebut tetapi tetap memaksakan untuk menebar
senyum ramah. Tepat memasuki ruangan gelap dan beraroma percintaan ini tanpa
perlu mengantre, aku lihat dia tengah berdiri tegap seraya mengumbar senyum
kearahku.
Sehingga
aku dengan senang hati segera melangkah kearahnya dan membalas sambutan
rentangan tangannya menjadi pelukkan hangat. Tidak lupa, aku mengecup pipi kanan dan kiri seraya
melepaskan pelukkan di antara kami kemudian memilih melangkah ketengah ruangan
karena takut menarik perhatian lebih kepada para paparazzi.
“Maaf
telah membuatmu menunggu lama” ujarku dengan nada meninggi tepat di telinganya,
sebab aku khawatir jika dia tidak mendengar apa yang aku ucapkan karena suara
musik EDM (Electronic Dance Music) di
dalam sini yang lumayan bising.
“Tidak
masalah Ken” ucapnya seraya memeluk tubuhku dari arah belakang, kemudian
kurasakan gelenyar lembut membasahi leherku di sertai dengan hembusan nafasnya
yang pekat akohol dan membuat
kupu-kupu mulai berterbangan dari dalam perutku.
“Emmhh..
Zayn, cukup…”
“Ada
baiknya kau jelaskan lebih dulu kenapa kau kembali ke Los Angeles lebih cepat
dari waktu yang telah kau janjikan? Bukankah ini baru satu minggu?” keluhku
diambang batas kesadaran yang kini berusaha untuk kembali fokus dan lantas dia
indahkan dengan menyudahi kecupannya di leherku, kemudian menghadapkan tubuhku
berbalik untuk menghadapnya.
“Aku
merindukanmu Kendall. Memangnya apa lagi alasan yang paling tepat?” memutar
bola mata malas atas ucapannya yang dengan terang-terangan menggodaku karena
sepertinya dia telah dipengaruhi oleh alkohol, kini kurasakan kedua tangannya
yang dingin sigap menangkup pipiku sehingga membuat iris mata kami bertemu dan
saling menatap dalam.
“Kita
sudah sering mendebatkan hal ini…”
“Aku
mohon tidak untuk malam ini Ken” ucapnya mencoba memperingatiku, sehingga aku
memilih untuk tidak mendepatnya dan segera aku menepis kedua tangannya di
pipiku kemudian berkeinginan melangkah kearah bar.
“Kau
mau kemana?” tanyanya yang lebih dahulu berhasil mencekal pergelangan tanganku,
sehingga aku harus kembali berhadapan dengannya yang mana saat ini sudah tidak
menyisakan jarak diantara aku dan dia.
“Menikmati
pesta ini, tentu saja..” jawabku sarkastik, akan tetapi mataku lantas membulat
sempurna ketika dia menarik pergelangan tanganku dan membuat dadaku menabrak
dadanya.
“Aku
sangat benci ditentang Ken?!” tuturnya dengan nada tegas serta memperlihatkan
rahangnya yang mulai mengeras, sehingga aku pun memilih untuk menarik kembali
tanganku dari genggamannya.
“Dan
aku sangat benci diperintah?!” balasku yang tak mau kalah, seraya menatap lekat
raut wajahnya yang nampak terbakar emosi ditengah redupnya cahaya dalam ruangan
ini.
“Apa
sulitnya untuk tidak lagi memberikanku tatapan menyebalkan seperti itu Ken?”
mendapati raut wajah penuh kekecewaan dan didominasi oleh aura gelap yang
dimilikinya, membuatku sadar bahwa dia sedang dalam pengaruh alkohol dan kemudian
berusaha mengatur emosiku karena tidak sanggup lagi jika harus lebih lama
menatap sorot matanya.
“Next time, jangan minum lebih dulu…”
“Kau
harus menungguku Zayn” peringatku mencoba mengusaikan perdebatan tidak berarti
ini dan menyingkirkan egoku untuk menggenggam tangannya yang sebelumnya nampak
mengepal begitu erat.
“Aku
minta maaf” ucapku, membuatnya melunak dan kemudian tanpa aba-aba bibirnya mengelumat
bibirku.
Dengan
segala keberanian yang aku punya dan juga dengan setengah tega, aku
mendorongnya agar berhenti mencicipi bibirku ditengah keramaian ini. Sebab, aku
tidak ingin menjadi pusat perhatian semua orang dan besok aku mendapati highlight berita bahwa Kendall Jenner
tengah bercumbu mesra dengan pengusaha muda sukses asal Italia bernama Zayn
Javvad Malik di dalam sebuah club malam.
Menarik
tangannya untuk kearah lain dan jauh dari arah pintu masuk, membuatnya kemudian
menatapku dengan tatapan penuh tanya dan mungkin setengah mati menahan
hasratnya. Akan tetapi, dia lantas mengikuti tatapanku yang kini tengah terpaku
kearah ibuku yang mulai berjalan memasuki tempat ini bersama beberapa bodyguard disisinya.
“Ikut
aku…” putusnya secara sepihak dan menarikku dengan tangannya yang kini
menggenggam erat telapak tanganku.
Mengikutinya
untuk terduduk di salah satu bangku VVIP
yang masih kosong dan jauh dari keberadaan ibuku disana, membuatku sejenak
menyandarkan tubuhku di sofa ini. Di suguhi satu gelas vodka dan lime olehnya,
tak lupa aku berucap terima kasih lebih dahulu dan mulai menyesap perlahan
minuman dalam genggamanku ini.
“Apa
tidak sebaiknya kau pergi saja Zayn?” tanyaku gusar, tetapi dengan sikap
lembutnya dia justru sibuk merapihkan beberapa helaian rambutku dan
mengarahkannya ke belakang telinga. Walaupun hal ini tentu saja berhasil
membuat hatiku berdesir, sekuat hati aku berusaha untuk tidak ikut hanyut
menikmati sikapnya ini dalam kebungkaman.
“Apa
ada hal yang lebih baik dari pada menemani wanita yang kusayangi malam ini?”
meninggikan sebelah alisku karena agak terkejut atas penuturannya yang sudah
mulai melantur, membuat tanganku tergerak mengusap lebut sebelah pipinya.
“Lihat?!
Alkohol telah benar-benar merenggut kewarasanmu rupanya?!” ejekku yang diakhiri
dengan menjentikkan ujung hidungnya, dan hal ini berhasil membuatnya tersenyum
tipis seraya menatapku intens.
“Dan
satu-satunya orang yang membuatku tetap waras menjalani kehidupan yang
menyebalkan ini adalah dirimu Ken” ikut menyinggung senyum karena ucapannya, kini
aku mengerti bahwa Tuhan mempertemukan kami bukan tanpa alasan.
Sebab,
nyatanya setelah satu tahun bersama. Aku baru saja mengetahui fakta bahwa bukan
hanya aku seorang yang menganggap kalau kehidupan ini begitu menyebalkan,
tetapi dia pun demikian.
“Sayangnya
perkataanmu bagaikan angin lalu untukku Zayn” jawabku dengan pasti serta
menyadarkannya agar kembali pada kenyataan, sehingga di detik berikutnya dia
menatapku penuh keterkejutan dan berdecih kemudian.
“Terserah,
yang jelas aku sudah memberitahu bahwa aku akan tetap berada disini” tegasnya,
membuatku mengangguk setuju saja dan tetap mengontrol perasaanku setiap kali
mendapatkan ucapan-ucapan manis darinya yang saat ini sedang di pengaruhi oleh minuman
beralkohol.
“Well, apa sebenarnya yang membuatmu
tiba-tiba kembali ke Los Angeles jauh lebih cepat dari yang telah kau janjikan
kepadaku?” tanyaku to the point yang
kemudian mendapati tangannya mengelus pucuk kepalaku dengan lembut, tetapi hal
ini tidak berlangsung lama karena aku segera menyingkirkan tangannya dari pucuk
kepalaku.
“Karena
ada beberapa hal yang ingin aku bicarakan denganmu saat ini juga” mengangguk
setuju atas ucapannya, aku pun lantas menegakkan posisi dudukku dan menatap
lekat kearahnya.
“Membicarakan
tentang berapa jalang sudah kau tiduri selama satu minggu ini atau--” ujarku
yang lantas terpotong karena dia lantas mengecup singkat bibirku.
“Jangan
memulai lagi, Ken”
“Kau
membuat dirimu terlihat seperti kekasih yang sedang cemburu” sedikit berdecih
atas jawabannya, membuatku lantas memilih menyesap minumanku lebih dahulu untuk
meredakan ketegangan yang aku rasakan.
“Apakah
sangat penting?” tanyaku seraya mengusap lembut tangannya dalam genggaman
tanganku, kemudian mataku sibuk mengamati wajahnya yang nampak bingung
sekaligus memancarkan kesenduan.
“Well, besok aku ingin mengajakmu pergi
ke acara pelelangan di New York” mendengar kata di akhir kalimat yang baru saja
dia ucapkan, tanganku pun berhenti mengusap lembut tangannya.
Degup
jantungku pun tidak lagi seperti sebelumnya dan hatiku begitu mencelos menahan
sesak, terpaksa mataku pun dengan susah payah harus menahan untuk tidak
menumpahkan air mata.
“Kau
tau itu tidak akan mungkin Zayn” sesalku seraya memperhatikan raut wajah dan
tatapannya yang kini berubah menunjukkan kekecewaan, seolah dia begitu ingin
aku bisa ikut pergi menghadiri acara itu bersama dengannya besok.
“Aku
bisa membuatnya menjadi mungkin Ken” tawarnya seraya menatapku penuh harapan
besar.
“Jangan
zayn” tolakku dengan berat hati.
“Please?” tidak ingin membawa percakapan
ini lebih jauh lagi, aku pun hanya bisa menggelengkan kepala sebagai tanda
bahwa aku sudah tetap pada keputusanku untuk tetap menolak ajakkan darinya.
Membuatnya lantas memejemkan mata sejenak kemudian mengangguk setuju dengan
keputusanku pada akhirnya. “Baiklah” putusnya.
“Aku
harap kau mengerti?” tuturku kemudian, membuatnya lantas mengusap pucuk
kepalaku dan membawaku kedalam dekapannya. Hal ini pun membuatku menghembuskan
nafas lega, karena mendapati sikap dewasanya atas penolakkan dariku.
Berusaha
untuk tetap menjaga jarak dari keberadaan ibuku yang sibuk berbincang-bincang
dan menikmati minumannya di arah sana, dengan berhati-hati Hailey pun ikut
bergabung sebentar di meja kami untuk sekedar bertukar sapa. Tidak lupa, aku
dan Zayn pun sama-sama memberikan Hailey sebuah hadiah ulang tahun.
Menegakkan
tubuhku dari sandarannya, sedangkan dia masih asik menyesap minumannya dan
kemudian menghisap rokok disela-sela bibir tipisnya. Perlahan aku pun menggelengkan
kepala berharap dapat sedikit menghilangkan rasa pusingku karena telah minum
terlalu banyak. Memilih bangkit dan meminta izin untuk pergi ke toilet sebentar yang lantas menjadi
perdebatan karena Felix tetap harus ada bersamaku.
“Aku
hanya sebentar Zayn” keluhku, karena dia begitu keras kepala tetap menginginkan
Felix untuk mengawalku ke toilet.
“Dan
membiarkan bokongmu bergesekkan dengan milik para bajingan tua disana?” ucapnya
nya dengan nada ketus, membuatku bergedik ngeri karena melihat matanya yang
sudah memerah tanda bahwa dia bukan lagi dirinya.
Sialan! Perdebatan ini tidak akan
pernah berakhir kalau aku terus menentang ucapannya.
“Ok fine” putusku yang lantas melangkah
pergi seraya diekori oleh Felix dari belakang, namun karena jarak kami sudah
agak jauh aku pun tetap pada keputusanku yang ingin pergi ke toilet tanpa pengawalan darinya.
“Tunggulah
disini, aku hanya sebentar”
“Baik
Nona” ucapnya mematuhi perintahku dan memilih terduduk di kursi bar, sedangkan
aku berlalu ke arah toilet berada.
Merasa
lega setelah membuang air kecil dan memilih untuk segera kembali menghampiri
Felix, tiba-tiba langkahku terhenti karena mendapati kembali seseorang mengenakan
hoodie yang sama seperti beberapa
waktu lalu.
Terlebih,
kini dia tengah memperhatikan gerak-gerikku dari kejauhan. Merasa terusik aku
pun memutuskan untuk beralih menjadi melangkah kearahnya disana. Tetapi
sialnya, dia justru bergegas tergesa kearah pintu belakang karena menyadari
posisiku yang mulai mendekat kearahnya.
Bersusah
payah melewati keramaian dan berhasil menyelinap kearah pintu belakang bangunan
ini, aku pun segera melangkah keluar dan mencoba memastikan keberadaannya
dengan melihat kearah disisi kiri dan kanan. Tak mendapati lagi keberadaanya,
dengan kesal aku pun menendang tempat sampah di dekat dinding.
“Sialan?!”
umpatku meluapkan amarah seraya mengeluarkan bungkusan rokok di dalam clutch yang ku genggam.
Mulai
mengeluarkan satu batang rokok dari kotaknya, segera aku mendekatkan kearah
pemetiknya. Tetapi, setelah aku gagal menyalahkan pemetiknya berulang-ulang
kali. Aku tersadar akan kegelapan yang begitu menyelimuti tempat ini. Tidak
ingin pemikiran buruk mulai menguasai dan dirasa sudah mulai merasa cemas, aku
pun membuang rokok dan pemetik yang ku pegang kemudian memilih untuk melupakan
hal ini.
Tetapi,
baru saja aku melangkah dan menggenggam handle
pintu. Suara langkah yang tidak sengaja menginjak sesuatu terdengar,
membuatku lantas mengurungkan niat untuk masuk dan memilih mencari ponsel dari
dalam clutch.
Menyalahkan
pencahayaan ponsel untuk menerangi keberadaanku, seketika pandanganku di
kagetkan dengan keberadaan seseorang di kejauhan dengan memakai hoodie.
“Hei
tunggu?!” cegahku yang tetap di jawab dengan keheningan, kemudian dengan
penasaran dan rasa takut yang mendominasi.
Aku
membulatkan tekadku untuk setengah berlari kearahnya sembari terus menerangi
jalanku dengan cahaya ponsel dalam genggaman.
“Siapa
kau?”
“Kenapa
kau mengamatiku terus sedari tadi?” tuturku masih dengan nafas terengah-engah
ketika aku berhasil menahan pergelangan tangannya.
“Hei,
jawab pertanyaanku?!” tanyaku sekali lagi dengan intonasi yang meninggi dan
sedikit bergemetar, pasalnya aku tengah berusaha menahan emosi yang kini mulai
membuat dadaku terasa sesak.
“Kau
tidak perlu tau siapa aku!”
“Cukup
ingatlah baik-baik bahwa aku selalu mengawasimu dimana pun dan kapan pun”
jawabnya yang masih enggan berbalik menghadap kearahku, membuatku semakin erat
menggenggam tangannya. “Omong kosong!”
“Cepat
katakan padaku siapa sebenarnya yang telah memerintahmu!” tantangku yang
kemudian dijawabnya dengan berdecih seraya berhasil melepaskan tangannya dari
genggamanku.
“I have no clue”
“Maka
berpikirlah sepanjang hari untuk itu” ujarnya, membuatku lantas menggeram penuh
emosi. Sialan!
“Tunggu”
baru saja aku ingin kembali meraih tangannya dalam genggaman, dirinya justru
lebih dulu mendorong tubuhku.
Brak..
“Akh..”
jeritku yang telah terdorong kearah tiang lampu penerangan yang berdiri kokoh
dari besi, membuat punggung dan kepalaku terasa nyeri di buatnya.
Terlebih
kepalaku pun terasa begitu pening dan telingaku seolah berdengung hingga
mengalunkan kesadarakanku, pasalnya aku sudah semakin sulit untuk menahan sesak
dan mencoba mengerejapkan mata beberapa kali karena tiba-tiba pandanganku sudah
mulai berbayang.
Sialan! Siapa sebenarnya wanita
itu.
“Nona,
apa anda baik-baik saja?" tanyanya ketika orang yang menggunakan hoodie itu berhasil berlari pergi kearah
sebrang jalan, sehingga aku pun memilih menjatuhkan diri untuk duduk di bawah
lampu dan pandanganku kian menatap lekat kearahnya yang meraih tanganku guna
mengecek nadi seraya terus saja bertanya. Namun, karena telingaku masih terus
berdengung membuatku pada akhirnya sulit mendengar apa yang dia ucapkan saat
ini.
Masih
dengan pandanganku yang begitu samar-samar akibat benturan dan adanya pengaruh
minuman alkohol yang aku konsumsi, terlihat dia ikut mengalihkan pandangannya
tepat kearah aku menatap dan mengabaikan seseorang yang dari arah belakang
jalan berlari menghampiri kearah kami. Sebab, tatapanku masih saja terarah
padanya yang masih berdiri di tengah kegelapan dekat pohon besar.
Merasakan adanya
tepukkan di sebelah pundakku, membuat seluruh pemikiranku mengenai seseorang
ber-hoodie itu menjadi buyar seketika dan memilih untuk sejenak
memejamkan mata sebelum akhirnya mengalihkan pandangan menjadi menatapnya.
Dengan
pandangan yang sudah tidak lagi mengabur, membuat hatiku sedikit tercubit atas
rupanya yang asing kini tengah di hiasi dengan raut wajah bertanya-tanya “Are you oke?”.
“Nona Ken??”
mengabaikan panggilnya dari kejauhan yang mungkin memastikan keberadanku di
tengah kegelapan saat ini, selanjutnya terdengar juga adanya suara langkah kaki
yang nampak terdengar setengah berlari ke arahku.
“Sebentar,
saya akan mencoba melihatnya..” ucapnya mencoba meminta persetujuan dan
kemudian memilih berdiri tegap, membuatku dengan segera menahan pergelangan
tangannya “Tidak perlu” kataku.
Sehingga,
dirinya pun lantas menjadi berbalik badan lalu menjadi menatapku begitu lekat.
“Nona Ken,
apa anda baik-baik saja?” tanyanya dengan begitu tiba-tiba dan menampakan raut
wajah panik seperti biasanya, tetapi karena Felix tiba-tiba bersimpuh tepat di
hadapanku dengan segera tanganku yang tengah menahan pergelangan tangannya
menjadi terlepas begitu saja.
“Brengsek!”
geramnya begitu menggebu-gebu seraya mendorong tubuh pria itu dan menarik kerah
baju yang pria itu kenakan dengan sekuat tenaga, kemudian menjadi mengarahkan revolver miliknya tepat di dahi pria
yang sedang dalam kukuhannya “Apa tujuanmu, Dude”.
Hal ini pun
membuatku tidak mampu berucap apapun dan nafasku menjadi sedikit tercekat
ditenggorokan, terlebih keduanya sama-sama menunjukkan tatapan penuh permusuhan
satu sama lain.
Tidak ingin
sesuatu yang tidak diinginkan terjadi nantinya, segeralah aku menghilangkan
rasa terkejutku dengan menyerukan namanya dengan lirih dan sekuat tenaga
menepis kilas-kilas tak mengenakkan dalam kepalaku.
“Felix..”
tidak menghiraukan panggilan dariku karena dia sedang dalam pengaruh emosi,
membuat tatapan dari pria yang tengah dalam kukuhannya itu beralih menjadi
menatapku.
“Kau salah
paham…”
“Aku hanya
berusaha menolongnya” mendengarnya berucap demikian, sehingga di detik
selanjutnya aku pun mengangguk cepat ketika tatapan Felix bertemu denganku guna
mengkonfirmasikan kesalah pahaman yang sedang terjadi saat ini.
Dan nyatanya,
hal ini mampu menurunkan besarnya ego Felix dan membuatnya menyimpan kembali revolver di sisi pinggangnya. Mengingat
betul bahwa dia akan dalam masalah besar nantinya, kalau sampai hal itu
mempengaruhiku dan dia membawaku pulang dalam kadar emosi yang tidak
terkontrol.
“Biar saya
bantu..” tawarnya yang ingin melangkah kedekatku, namun gerakkannya di dahului
oleh Felix yang lebih dahulu memahami kode dariku agar segera membantuku untuk
berdiri sebelum dia yang lebih dahulu melakukannya.
“Terimakasih
sebelumnya, tapi sepertinya kami akan segera pulang saja..” tolakku dengan
ramah seraya sesekali menatap kearah Felix guna meminta dukungan, sehingga pria
ini pun kembali mengambil langkah mundur dan memberikan Felix ruang.
“Kami akan
pulang…”
“Lebih baik
anda pun begitu. Tidak baik berdiri sendirian di tengah kegelapan..” ujar Felix
yang kini mencoba membawa sebelah tanganku untuk melingkar di pundaknya,
membuatku lantas menoleh kearahnya yang justru menyinggung senyum ramah ke
arahku.
“Lain kali, hati-hati..”
pesannya sambil menatapku, membuatku dengan cermat mengamati penampilannya yang
hanya menggunakan t-shit putih dan juga celana jeans panjang
saja. Tidak bisa dipungkiri bahwa aku pun menduga-duga pemikiran buruk
tentangnya, karena siapapun pasti akan merasa aneh mendapati keberadaannya di
sekitaran tempat ini.
Terlebih,
penampilannya yang sangat santai membuat aku kesulitan untuk menebak kenapa dia
tiba-tiba ada disini dan berjalan sendirian di tengah kegelapan malam.
Walaupun terdapat tattoo di sekitaran lengannya, tidak lantas membenarkan juga bahwa dia adalah seorang penjahat atau pun homeless.
Lagi pula dari
raut wajah serta postur tubuhnya saja, bisa dipastikan dia terlihat terawat dan
bukan seorang homeless. Point tambahannya lagi, pembawaannya
yang tenang dan perduli terhadapku membuatnya terlihat lebih berkarismatik dari pada pria ke
banyakkan di usia yang mungkin bisa aku tebak tidak terlalu jauh denganku.
“Terimakasih…”
kataku seraya tersenyum ramah kepadanya.
“Bersikaplah
seperti biasanya dan jangan membuatnya mencurigai kita..” pintaku tanpa ba bi bu, ketika kami memilih kembali
masuk ke dalam club yang semakin bertambah ramai.
“Apa tidak
sebaiknya kita pulang saja Nona?” tanyanya terdengar khawatir, ketika aku
meringis seusai menurunkan sebelah tanganku yang tadi terlingkar di pundaknya.
“Kita temui
dia lebih dahulu..” mengerti dengan apa yang telah aku bicarakan, tiba-tiba
langkah kakiku lantas terhenti setelah mendengar seruan seseorang dari kejauhan
yang ternyata sudah lebih dahulu melangkah kearahku bersama beberapa bodyguard disisinya.
Komentar
Posting Komentar