DIRTY BUSINESS - 3

 

            Melirik sejenak jam yang terlingkar di pergelangan tanganku dan kembali beralih memperhatikan dirinya yang masih menjelaskan presentasi mengenai pengelolaan produksi dan distribusi. Ketenanganku pun berubah, ketika dia membahas mengenai kontrak kerja sama dengan model ambassador yang selama ini kami percaya untuk mengenakan pakaian rancanganku.


Dengan kekuasaan penuh, aku pun lantas menjedanya yang sedang memberikan penjelasan dan bangkit dari keterdudukan seraya berjalan menghampirinya. Melempar proposal secara asal dari gengaman tepat ke hadapannya, seluruh pasang mata dalam ruang rapat pun menjadi menatap penuh keterkejutan kearahku.

“Lebih baik tunda saja semua produksi musim depan”

“Kalau pembahasan rapat hari ini masih saja tentang pemutusan kerjasama dengan model kita yang satu itu” ucapku tanpa berpikir panjang, sehingga aku bisa melihat dengan jelas keningnya yang memunculkan garis mendalam seraya menatapku dengan tatapan tak percaya.

“Tapi reputasinya akhir-akhir ini sedang tidak bagus Ken”

“Terlalu banyak pemberitaan miring tentang kehidupan pribadinya” jelasnya, membuatku merasa sedikit tertampar atas ucapannya dan lantas menarik senyum tipis seraya melipat kedua tanganku di dada.

“Kalau begitu singkirkanlah hal-hal pribadi tantang kehidupannya!”

“Karena kita bisa bernegosiasi untuk menurunkan biaya yang seharusnya dia dapatkan tanpa perlu memutus kontrak kerjasama dengannya” usulku yang kini mulai melibatkan ego, membuatnya kemudian menatapku dengan sorot mata penuh permohonan. 

“Ken, terlalu beresiko kalau kita masih menjalin kerjasama dengannya” jawabnya dengan nada putus asa, membuatku yakin bahwa dia sangat memahami alasan dibalik keputusanku yang satu ini. 

“Aku pemilik perusahaan ini, Hailey”

“Maka hanya akulah yang berhak menentukan segalanya disini” tegasku penuh penekanan dan tak ingin dibantah seperti biasanya, membuat kami bertukar pandangan begitu dalam selama beberapa detik.  

“Sepertinya memang sudah tidak dibutuhkan lagi kerjasama tim disini” balasnya diluar dugaan seraya membuang pandangan dari arahku, kemudian tangannya sibuk merapihkan bekas-berkas diatas meja rapat yang berbentuk persegi panjang ini.

“Jangan tersinggung”

“Aku hanya berusaha mengingatkan tentang siapa aku dan apa posisimu diperusahaan ini, Hails.”

“Siapa tau kau lupa?” tantangku agak terbawa suasana, membuatnya kemudian berdecih kecewa.

“Aku pikir kita benar-benar harus berbicara empat mata Ken?” menghadap kearahku seraya berucap demikian, membuatku mata saling bertatapan dan mencoba untuk saling menyelami pikiran satu sama lain. Hingga dia berhasil menghantarkan kesadaranku, bahwa ini sungguh diluar rencana.

“Maaf.. tidak seharusnya aku berucap demikian kepadamu Hails. Tapi, aku rasa kau sangat mengerti cara memperlakukan seseorang dengan baik tanpa perduli bagaimana masalah yang sedang di terimanya kan?” singgungku pada akhirnya, kemudian mengangkat bokongku dari kursi rapat yang tengah aku duduki.

Dengan langkah tertahan, aku pun berusaha menyingkirkan perasaan tak enak hati dan segera berjalan melewatinya untuk keluar dari ruang rapat ini. Walaupun dipenuhi perasaan bersalah karena terlalu terbawa suasana, tetapi setidaknya rencana yang sudah aku dan Niall susun tetap harus berjalan sebagaimana mestinya.

Tanpa menunggu lama, terlihat beberapa karyawan mulai menyusul keluar satu per satu dari dalam ruang rapat dan sekarang mungkin hanya menyisakan Hailey seorang diri di dalam sana.

Memberi anggukkan sebagai tanda agar segera bersiap menjalankan rencana yang telah disusun sebelumnya, dengan mantap dirinya pun menghampiriku dan melangkah lebih dulu untuk masuk kedalam ruang rapat dengan menopang kue ulang tahun dikedua tangannya.

“HAPPY BIRTHDAY TO YOU...”

“HAPPY BIRTHDAY TO YOU…”

“HAPPY BIRTHDAY, DEAR HAILEY”

“HAPPY BIRTHDAY TO  YOU…”

Menyanyikan lagu selamat ulang tahun bersama-sama untuknya, membuat suasana diruangan rapat ini menjadi bercampur rasa suka cita. Sehingga, satu hal yang aku lihat darinya saat ini adalah dia tak berkutik ditempatnya berpijak dan menatap kami semua dengan tatapan bahagia yang bercampur dengan air mata dipelupuk matanya. 

Happy birthday Hails” ucapku lebih dulu, membuatnya menurunkan kedua tangannya yang sedari tadi menutupi mulutnya dan dengan cekatan aku menarik lengannya agar lebih dekat dengan posisi kue yang sedang Niall pegang.

“Oh God, kalian benar-benar membuatku kehabisan kata-kata!” keluhnya yang justru malah terlihat berseri-seri.

“Ini semua ide Niall” selaku membeberkan fakta.

Thank you so much, aku pikir kau telah lupa hari ulang tahunku” ucapnya seraya menatap Niall begitu dalam, sehingga terlihat Niall pun ikut hanyut karenanya aku lantas memutus tanpa permisi.

“Aku pikir hari ini kita masih memiliki banyak pekerjaan yang harus diselesaikan” selaku.

“Ah sorry..” ucapnya yang tersadar akan sindiranku.

“Jangan lupa make a wish” peringat Niall yang kemudian dihadiahi dengan tatapan memuja oleh seluruh para karyawan yang menyaksikannya, sehingga dengan jahil aku menyenggol bahu Hailey yang malah dia tanggapi dengan biasa saja tanpa kudapati rona merah diantara kedua pipinya.

“Jadi, yang tadi itu tidak serius?” tanyanya agak kebingungan.

“Kita bisa bahas hal itu dirapat yang akan datang Hails..” mendapati dirinya meninggikan sebelah alis atas jawabanku, segera aku pun mengendikkan dagu kearah lilin. Seolah memintanya untuk fokus saja dengan acara kejutan ini. 

“Terimakasih Ken, Niall dan kalian semua” ucapnya setelah meniup lilin dan berdoa dalam hati dengan mata yang berkaca-kaca, kemudian tanpa di duga-duga dia membawaku kedalam pelukkannya. Membuatku sedikit terkejut karena dia menghadiahiku dengan ciuman gemas di kedua pipi.

“Aku akan langsung memecatmu kalau sampai semua orang mempertanyakan orientasi seksual kita setelah ini Hails” sindirku seraya mendorongnya untuk menjauh dariku, yang kemudian di hadiahi tawa oleh mereka semua. 

“Kau bosnya disini. Aku bisa apa?” balasnya pasrah berdasarkan fakta, membuatku kembali berdecak sebal karena dia seenaknya menjapit hidungku dengan ibu jari dan jari telunjuknya.

Akan tetapi hal itu tak berlangsung lama, karena begitu aku berhasil lolos dari aksi jahilnya. Aku lantas mundur beberapa langkah dari dekatnya dan membuatnya sibuk untuk menerima ucapan serta pelukkan hangat dari Niall dan juga para karyawan didalam ruang rapat ini.

Ikut berbaur di tengah kebahagiaan yang sedang Hailey rasakan, tidak mengubah rasa kesepian didalam diriku. Bahkan, di tengah kemeriahan kejutan ulang tahunnya yang sengaja aku dan Niall persiapkan sejak satu bulan lalu.

Aku masih tetap saja merasa sendiri dan kosong. Terlebih lagi, rasanya begitu sulit ketika aku harus berusaha memperlihatkan senyum serta berbaur untuk ikut tertawa bersama padahal aku sendiri tidak mengerti dimana letak kelucuannya.

Memilih undur diri dari hadapan mereka semua, kini aku pun kembali menuju ruanganku dan menyibukkan diri dengan kembali menggambar sketsa mengenai model rancangan busana terbaru yang nantinya akan aku tawarkan kepada beberapa client untuk perhelatan acara met gala tepat pada akhir bulan di awal tahun depan.

Akan tetapi, suara notifikasi ponsel membuyarkan fokusku dan lantas saja aku mengumpat kesal karena mendapat informasi terbaru dari Felix yang merupakan bodyguard kepercayaanku. Sehingga, dengan malas aku pun meletakkan ponselku dan menghentikan kesibukkanku untuk sejenak menyandarkan tubuhku dikursi kebesaran dalam ruanganku ini.

Tok..tok.. tok..

Masuk.. tuturku mengindahkan ketukan pintu yang tertuju pada ruangan ini, membuatku lantas kembali mengubah posisi duduk menjadi lebih benar seraya menyanggah dagu dengan sebelah tangan diatas meja dan segera mempersilahkannya untuk terduduk di single sofa kesayanganku yang bermotif bunga.

“Menyendiri tidak akan menyelesaikan masalah Ken” sindirnya dengan nada penasaran, seraya memangku bantal sofa diatas pahanya.

“Aku baik-baik saja Hails” elakku mencoba menyangkal dari tuduhannya itu dan membuatnya langsung berdecak malas, kemudian melempar bantal sofa kearahku. Beruntung aku sigap menangkapnya, sehingga kopi milikku tidak sampai memporak-porandakan barang-barang yang ada di atas meja ini.

Geez!! Kau hampir saja menghancurkan laporan rapat dan seluruh sketch busana untuk para client diatas meja ini Hails”

“Jangan bermain-main dengan bantal ini” umpatku dengan melempar tatapan serius kearahnya dan malah dia acuhkan dengan menghembuskan nafas kasar seraya menyinggungkan deretan giginya yang rapi.      

“Aku tidak akan melempar bantal itu kalau saja kau mau menceritakan apa permasalahanmu, Kendall Jenner” elaknya dengan nada putus asa, kemudian bangun dari keterdudukannya dan berjalan kearahku seraya terduduk kembali di kursi merah muda yang langsung berhadapan denganku.

“Ayolah, Hails”

Jangan menatapku seperti itu keluhku dengan nada rendah karena merasa risih, namun tetap saja tidak dia indahkan dan justru malah membawa tanganku menyatu dengan tangannya yang kemudian menjadi bertumpuh bersama diatas meja.

“Kalau begitu jangan sungkan untuk ceritakan padaku?!”

“Sekarang katakan, kau sedang ada masalah apa?” tanyanya dengan begitu memaksa, sehingga aku memilih untuk menghirup oksigen banyak-banyak terlebih dahulu sebelum mengutarakan hal ini padanya.

“Oke, oke.. Tapi janji, kali ini kau tidak boleh ikut campur?” tawarku seraya menatapnya lekat-lekat, yang kemudian langsung dia setujui dengan anggukkan kepala dan ikut mengaitakan jari kelingkingnya dengan jari kelingkingku.

“Felix baru saja memberitahuku…”

“Dia baru saja tiba dari Italia

“Dan aku yakin, kau mengerti dengan apa yang akan terjadi selanjutnya” menatapnya dengan cermat, membuatku bernafas lega karena akhirnya dia menganggukkan kepala dan menyinggungkan senyum walaupun sangat tipis.

“Tidak masalah kalau aku tidak diperbolehkan untuk ikut campur kali ini. Tapi tetap ada syaratnya Ken” ucapnya, membuatku mengerutkan dahi cukup dalam.

“Kau memang sialan Hails” keluhku tidak terima, membuatnya mengendikkan bahu asal dan menyinggung senyum mengejeknya.

“Cepat katakan, apa syaratnya?” tanyaku dengan berat hati.

“Nanti malam dia hanya boleh menemuimu di acara pesta ulang tahunku dan kau tetap dalam pengawasan Felix” menggelengkan kepala sebagai bentuk penentangan dariku, dirinya kemudian menangkup kedua pipiku.

“Ini adalah keputusan yang paling baik Ken”

“Itu pun kalau kau masih menginginkan hubungan kalian masih berlanjut” jelasnya memberikanku pengertian, agar nantinya aku tidak menggali kuburan untuk diriku sendiri.

“Baiklah, kali ini aku setuju dengan keputusanmu” jawabku dengan mantap, membuatnya kemudian melepaskan tangkupan tangannya dipipiku dan beralih melihat jam di pergelangan tangannya.

“Sudah 20 menit kita berbicara disini dan membiarkan Niall mati kebosanan di ruanganku”

“Lebih baik kau segera singkirkan sejenak pekerjaanmu itu!” perintahnya, membuatku meninggikan sebelah alis karena tidak ingin mengikuti perintahnya yang satu ini.

“Aku bosnya disini dan aku tidak berkewajiban menemani tamu. Lagi pula, dia kembali untukmu…” kataku tanpa jeda dan kembali menyibukan diri untuk men-design sketsa busana untuk beberapa client-ku.

“Aku tunggu lima menit lagi di lobby” belum sempat kembali memprotes, yang kudapati justru suara pintu tertutup. Dengan gemas, aku pun menghentakkan kedua kaki sebagai pengalih karena sikap menyebalkannya itu.

Menerima ajakkan darinya untuk makan siang bersama-sama, akhirnya kami memutuskan untuk makan siang di salah satu restaurant favorite aku dan Hailey yaitu Craig’s. Kemudian, ketika kita hendak bersiap keluar dari studio butik milikku ini, Niall dan Felix dengan sigap mengambil posisi tepat di samping kami tanpa menghiraukan kehadiran para paparazzi disekeliling.

Beberapa menit setelah menempuh perjalanan dan tiba di tempat tujuan, kami pun memilih tempat duduk yang agak jauh dari sisi jendela. Sebab, aku tidak ingin jika flash dari kamera para paparazzi menganggu quality time kami nantinya.

Sejenak memesan makanan juga minuman dengan menu yang berbeda, tiba-tiba tatapan kami lantas teralih pada suara seruan seseorang dari kejauhan yang memanggil nama Hailey.

“Hai. kau sendirian??” tanyanya to the point, seraya bangkit dari duduknya dan saling mencium pipi kanan dan kiri.

Well, kau bisa lihat sendiri?!”

“Tidak ada siapapun disampingku bukan?!” memutar bola mata malas atas ucapannya, dengan besar hati Niall pun ikut mengulurkan tangannya demi mengindahkan ucapan Hailey yang ingin memperkenalkan keduanya.

“Niall..” tuturnya, membuatku lantas membenarkan posisi dudukku.

“Justin..” balasnya.  

“Oh hai, Ken” sapanya terdengar seperti teman lama, membuatku lantas menyingungkan senyum kearahnya dan bangkit dari keterdudukkan untuk menyambut jabatan tangannya yang terarah untukku.

“Apa kabar?” tanyanya begitu ramah.

Good, how about you?

“Sejauh ini masih baik-baik saja” mengangguk paham, sekilas aku menangkap tatapan yang sulit di artikan dari Hailey.

“Bagaimana kalau kau bergabung bersama kami?” ucapnya begitu tiba tiba dan menatapku guna meminta izin. “Tak masalahkan?” lanjutnya.

Menyetujui ucapannya untuk mengajak Justin bergabung pada meja yang sama dengan kami, membuat kedua iris mata berwarnakan hazel itu tidak lepas untuk saling memandang dan melupakan sekelilingnya.

Bahkan, ketika waiters meminta izin untuk meletakkan pesanan kami. Dia tetap tidak menanggapinya sama sekali. Hal ini pun membuat aku tidak sengaja menatap kilat berbeda dari si pemilik iris berwarnakan biru disebelah Hailey.  

Seandainya perasaan adalah sebuah bahasa lisan yang mampu di ungkapkan dengan mudah dan tidak harus menunggu akan aksi saling menunjukkan satu sama lain. Mungkin sudah tidak akan ada lagi hati yang patah hanya karena rasa ketidak pekaan dari salah satu diantaranya dan tidak perlu lagi pengandaian-pengandaian terhadap sesuatu hal yang dapat mengganjal hati serta mengacaukan pikiran akibat kekhawatiran semata.

Aku paham benar, tatapan apa yang sedang diperlihatkannya itu. Ya, ada kekhawatiran yang begitu melekat disana. Bahkan, mampu menggambarkan perasaan yang tidak ingin dia tunjukkan pada siapapun dan semestinya bisa saja berakhir jika saja dia mampu menghilangkan rasa takutnya atas kemungkinan-kemungkinan buruk yang muncul dalam pikirannya sendiri.

Berpamitan untuk sejenak menyusul Hailey yang sudah berlalu ke toilet, dengan sedikit terbawa perasaan aku pun sengaja menarik lengan Hailey dan membawanya kembali masuk kedalam toilet. Tatapan kami pun lantas saling berhadapan dan saling bertukar pandang selama beberapa detik, hingga kesadaranku tersentak ketika dirinya mulai menarik lengannya dari genggaman tanganku.

“Ada apa, Ken?” tanyanya beraut wajah bingung, membuatku lantas menimang-nimang resiko atas apa yang sebenarnya ingin aku jelaskan padanya.

“Apa kau memiliki hubungan khusus dengannya?” tanyaku penuh pertimbangan dengan mencoba menggali informasi tentang kedekatan keduanya terlebih dahulu.

“Dengan Justin, maksudku?!” tambahku, mencoba meluruskan pertanyaan yang baru saja aku ajukkan.

“Ti..Tida.k, Ka..kami belum sejauh itu. Maksudku ya, sejauh ini kami hanya berteman saja” jelasnya dengan raut wajah kebingungan dia pun kembali berucap “Kenapa bertanya demikian Ken?”.

Memejamkan pandangan atas ketergugupannya dalam menjawab pertanyaanku, segera aku mengusap wajah secara kasar demi me-rilex-an pikiran sejenak.

“Kau sama sekali tidak menyadarinya?” tanyaku begitu penasaran. Hinggga membuatnya lantas menyeritkan dahi cukup dalam.

“Maksudnya?”

“Aku tidak mengerti sungguh” timpanya begitu kebingungan.

“Kalau begitu cukup jauhi Niall!”

What?

Well, Setidaknya belajarlah sedikit untuk memahami perasaan seseorang” ucapku pada akhirnya, setelah mengurungkan niat untuk menjelaskan apa yang baru saja aku sadari seraya menepuk sebelah bahunya dan memilih keluar dari toilet ini lebih dahulu.

“Jangan lupa nanti malam, aku tunggu.. ” katanya yang sekali lagi berhasil membuat kami sekilas menoleh kearahnya. “Ya, pasti aku akan datang”

Menyudahi acara makan siang kali ini dan lebih dahulu mengintrupsikan seorang waiters untuk meminta check holder, aku pun lantas menaruh beberapa lebar uang cash didalam buku tersebut melebihi sedikit dari nominal yang tertera. Usai membersihkan tanganku dengan handsanitizer dan kembali menggunakan sarung tangan, tak berselang lama kami pun melangkah keluar restaurant ini dan lebih dulu berpamitan pada Justin. Sehingga, hal ini membuat para paparazzi tak henti-hentinya memotret kebersamaan kami yang jarang mereka dapatkan.

Setelah memutuskan untuk kembali lebih dahulu ke studio dan menjadi berpisah dengan Niall yang juga memilih untuk kembali ke Mansion-ku di antar oleh Felix, tak lantas mengubah kebungkaman Hailey yang mungkin masih kebingungan atas maksud dari ucapanku di toilet tadi. Bahkan, raut wajahnya menjadi begitu menyedihkan ketika aku memilih melenggang memasuki ruangan tanpa mengucapkan sapaan perpisahan lebih dahulu kepadanya.


Membuka pintu ruangan dengan perlahan, membuatku lantas mengerutkan dahi atas kehadiran benda asing di atas meja kerjaku. Dan baru beberapa langkah memasuki ruangan kerjaku, aku kembali tersentak kaget dan melangkah mundur ketika mendapati seseorang dengan pakaian serba hitam bangun dari keterdudukannya seraya menundukkan kepalanya yang kemudian aku balas juga dengan menganggukkan kepala juga.


“Sejak kapan kau disini?” tanyaku padanya sambil berpegangan pada gagang pintu ruangan, yang justru dia jawab dengan meletakkan secercah kertas yang terlipat tepat diatas kotak yang ada dimejaku.


“Saya permisi..” pamitnya, membuatku segera mencekal sebelah tangannya dengan tiba-tiba dan dengan gerakan implusif dia tergesa menarik lengannya. “Aku belum memerintahkan hal itu..”.


Mengabaikannya yang masih berdiri didekat pintu, dengan mantap aku berjalan kedekat meja kerjaku berada dan segera meletakkan tas ber-merk hermes tipe rose gold crocodile milikku diatasnya. Melirik sejenak kearahnya, membuatku pada akhirnya mengucapkan hal diluar rencana dan tidak seharusnya aku lakukan.   


“Katakan padanya aku tidak bisa datang malam ini” ucapku seraya membuka kotak hadiah darinya yang ternyata berisi jam tangan rolex keluaran terbaru tipe presidential yang telah di custom dengan berlapis full diamond, mungkin jika diteliti harga originalnya saja sesuai dengan apa yang aku baca di website dua hari lalu bahwa harga jam tangan ini setara dengan dua mobil ferarri tipe 458 Italia spider milikku.


“Dia sedang menghadapi banyak masalah akhir-akhir ini. Bukankah akan sangat tidak adil, kalau kau sampai tidak datang untuk menemuinya malam ini?” tanyanya, membuatku sedikit bimbang dengan keputusan yang aku buat beberapa menit lalu bahwa aku batal menemuinya malam ini.


“Dasar pengadu” ejekku yang akhirnya menyerah juga.


“Baiklah, kalau begitu katakan padanya untuk menemuiku di Avalon Night Club. Pukul sepuluh malam ini, pesta ulang tahun Hailey” putusku final, membuatnya menganggukan kepala seraya melangkah keluar dari ruangan kerjaku tanpa berucap apapun lagi.

Komentar

Postingan Populer