DIRTY BUSINESS - 2
|
|
|
Setelah mendengar suara pintu yang tertutup, segera aku pun
bertanggung jawab untuk merapihkan kembali kamar ini dan setelahnya aku segera
melangkah memasuki kamar mandi. Menanggalkan seluruh pakaianku satu persatu,
kemudian barulah aku beralih memasuki bath
up yang berisikan air hangat guna me-rilex-an tubuh dan pikiranku
dari kekacauan serta ketegangan yang telah terjadi.
Beberapa
menit sibuk berpakaian dan merias diri, segera aku menenggak beberapa butir
obat kemudian mendorongnya dengan meminum segelas air putih dan tidak lupa
untukku selalu menggunakan sarung tangan.
Pagi
ini, aku memilih untuk menggunakan sarung tangan berbahan kulit dengan warna
hitam dan memiliki satu kancing manset dipergelangannya. Membawa beberapa
dokumen yang telah kupersiapkan sebelumnya dalam genggaman kemudian beralih
melingkar tas di lengan satunya, aku pun lantas bergegas menuju keluar kamar.
Tersenyum
simpul kearah seorang pelayan tua bernama Dani yang tengah menyiapkan sarapan
di meja makan, mataku memicing tajam kearahnya sudah berdiri tegap di dekat
kolam renang. Pakaian formal itu selalu sempurna dalam balutan tubuhnya,
terlebih dengan menghirup harum aroma tubuhnya
yang menggunakan parfum Clive
Christian No.1 dapat aku tebak dengan mudah siapa dia disana.
“Saya
permisi Nona, Tuan” menganggukkan kepala sebagai tanda persetujuan dariku atas
permintaan undur dirinya dari hadapan kami, segera itu pula aku menunggunya
berlalu dari ruangan ini dengan langkah yang sungguh-sungguh memakan waktu.
“Maaf
membuatmu menunggu lama” ucapku guna meminta perhatian darinya bahwa aku
berkenan menerima kehadirannya di Mansion-ku ini, seketika itu juga
kudapati bibirnya menyimpul senyum dan mulai melangkah menghampiriku yang kini
memilih terduduk di meja makan.
“Tidak
masalah…”
“Sayangnya,
wajahmu berkata sebaliknya” ejekku yang membuatnya lantas tertawa hambar.
“Aku
pria penyabar. Kau bahkan tau itu!” balasnya memuji diri sendiri dan tidak ada
pilihan lain bagiku selain mengangguk setuju saja.
“Well,
kenapa kau tidak menunggu di kantor saja?” berucap tanpa memandang kerahnya,
tanganku pun terulur meletakkan dokumen serta tas diatas meja makan kemudian
melepas sarung tangan dan menggunakan handsanitizer.
“Kau
benar-benar tuan rumah yang buruk” sindirnya.
Tidak
mau kalah aku pun lantas menjawab “Dan kau telah membuatku tersinggung!”.
“Satu sama kalau begitu” balasnya dengan
nada mengejek. Sialan!
Menunggu
untuk yang ketiga kalinya, agar kedua tanganku kering selama kurang lebih 30
detik. Setelah memang sebelumnya aku lebih dahulu menggosok seluruh permukaan
tangan hingga semua sela-sela jari dengan cairan sanitizer serta memastikan kalau tanganku sudah benar-benar bersih.
Barulah aku mengambil sepotong roti gandum dan dengan lihai mengolesinya dengan
selai kacang menggunakan pisau.
Jangan
heran kalau nanti aku menggunakan handsanitizer,
tissue atau sesuatu berulang-ulang dalam beberapa situasi
serta kondisi yang mungkin akan di anggap sangat berlebihan oleh sebagian
orang. Atau bisa jadi, melihatku sangat marah ketika sesuatu benda yang telah
aku susun bergeser dari tempatnya dan biasanya hal inilah yang paling sering
membuat perasaan mereka tersinggung.
Tetapi,
aku melakukan itu bukan semata-mata karena sedang mengalami period dan menjadi sangat sensitive. Aku memiliki OCD (Obsessive
Compulsive Disorder) atau yang lebih dikenal dengan pemikiran yang terjadi
terus menerus dan perilaku yang akan dilakukan secara berulang ulang sampai
kalau hal itu tidak dilakukan akan menimbulkan rasa cemas dan tidak nyaman
dalam diriku.
Ya,
seperti sekarang contohnya. Hatiku gelisah ingin membenarkan posisi pisau yang
baru saja aku letakkan tidaklah tepat dan ketika aku ingin membenarkan posisi
pisau agar tersanggah di dalam selai kacang. Dia justru lebih dahulu
melakukannya atau mungkin mulai merasa terganggu dengan perilaku OCD (Obsessive
Compulsive Disorder) yang aku miliki.
Entahlah! Aku tidak perduli.
“Berlama-lama
di New York membuatku sangat merindukan setiap ucapan pedasmu Ken” tuturnya
seraya menarik bangku yang ada disebelahku dan setelah membenarkan pisau, kemudian
dia berhasil lebih dulu merebut cangkir kopi milikku dan perlahan menyesapnya
dengan nikmat sembari sedikit meniup-niupnya lebih dulu.
“Suatu
kehormatan bisa dirindukan oleh pria super sibuk sepertimu, Sir” balasku berlaga formal, sebelum
kemudian mulai melahap roti yang ada dalam genggaman.
“Kau
memang pandai memutar balikkan fakta, Ken…”
“Jelas-jelas
agen mata-mataku mengatakan kalau kau yang terlalu sering melewatkan jam
makanmu karena sibuk dengan urusan kantor” meninggikan sebelah alisku karena apa
yang dia ucapkan sesuai dengan kenyataan, membuatku kemudian segera meletakkan
roti dalam genggamanku di atas piring.
“Dasar
penguntit!” ketusku.
“Jangan
paksa aku untuk mencari tau siapa dia…” keluhku padahal aku mengerti siapa agen
mata-mata yang dia maksud itu.
“Itu
tidak akan pernah ku biarkan” ejeknya.
“Kau
menjijikan sungguh!” ucapku sekali lagi, membuatnya kemudian tersenyum dan
menggeleng-gelengkan kepala dengan sebelah tangannya sibuk mengusap pucuk
kepalaku.
“Come on, jangan membuat semuanya menjadi
kacau. Hargailah perjuanganku yang sudah jauh-jauh datang kesini” lanjutnya
dengan berekspresi seperti memohon, yang kemudian aku balas dengan memutar bola
mata malas seraya menyingkirkan tangannya dari atas pucuk kepalaku.
“Semoga
saja dia senang melihat pria pengecut dihadapanku ini mau bersusah payah
meluangkan waktu hanya untuk menghadiri undangan darinya” balasku seraya
menatapnya, hingga kemudian aku mengaduh karena mendapati tangannya dengan
gemas mencubit kedua pipiku.
“Sejak
kapan pria di hadapanmu ini, kau pandang menjadi seorang pria pengecut. Heuh?!”
kesulitan menjawab pertanyaannya karena tangannya sibuk mencubit pipiku,
membuatku dengan terpaksa meninju dadanya sebagai perlawanan.
“Aww..”
ringisnya dan hal ini berhasil membuat tangannya terlepas untuk menyiksa
pipiku.
“Sialan
kau Horan! Singkirkan tangan sialan mu itu dariku” protesku agak berlebihan
sambil mengusap kedua pipiku yang terasa perih akibat ulahnya, kemudian
mengambil napkin untuk membersihkan
tangan dan beralih meraih ponsel yang ada di dalam tasku.
Membuka
kata sandi yang ada di layar ponselku dan mencari aplikasi kalender. Segera aku
memundurkannya dari bulan ini, menjadi ke beberapa bulan sebelum dia pergi ke New
York. Sekitar hampir enam bulan yang lalu, tepatnya dua hari sebelum aku
menempati mansion ini.
“Lihatlah..
Tepat dibulan ini, dimana saat kepergianmu ke New York. Aku meresmikan dirimu
sebagai seorang pengecut” unjukku mencoba memberi jawaban yang sempat tertunda,
karena sebelumnya dia sibuk menyiksa kedua pipiku.
“Sudahlah,
Ken. Jangan membahas hal itu untuk saat ini” pintanya dengan nada rendah,
membuatku menjadi sedikit gemas karena sikapnya yang terkesan acuh tak acuh
ini.
“Iya,
tentu saja?!” ucapku seraya mengangguk sepakat sambil melirik kearahnya dengan
kembali berkata “Aku juga malas kembali membahas topik membosankan ini”.
“Sekali
pengecut akan tetap selamanya menjadi seorang pengecutkan?” tuturku final
seraya meletakkan ponsel disisi kanan dan kembali menggunakan tissue untuk membersihkan tangan barulah
aku lanjut menyantap roti dalam genggaman.
“Masa
bodo tentang kalian”
“For your information, bahwa aku selalu
berusaha. Bahkan, sampai detik ini”
“Jadi
tolong, singkirkan jauh-jauh kata pengecut itu dariku. Oke?” jawabnya terdengar
gusar, kemudian mengusap kasar pucuk kepalaku dengan gerakkan singkat.
“Tapi
kau belum melakukannya dengan maksimal Horan?!” tekanku dengan nada ketus
seraya memutar bola mata malas, kemudian mengulurkan tangan untuk meraih
cangkir yang ada di hadapannya.
“Tidak
ada lagi minum-minuman berkandungan kafein, Kendall?!” cegahnya yang kemudian
dibarengi dengan bunyi suara getar ponsel, sehingga dengan senang hati aku
membatalkan niat untuk berdebat dengannya dan lantas meraih napkin untuk kembali membersihkan
tanganku kemudian menggenggam ponselku yang tadi aku letakkan disisi kanan.
Drtt…drtt…drtt…
“Ibuku..” tuturku untuk menjawab
tatapan penasaran yang dia arahkan, kemudian aku pun menyandarkan tubuhku ke
kursi dan terfokus untuk membaca isi pesan dari ibuku yang begitu tiba-tiba.
From:Mom
'Good morning, Ken. Sepertinya London sudah menunggu kita seusai Natal
nanti. Jadi, pastikan jadwalmu sudah kosong. Dan sampaikan juga salamku untuk
Niall. Love u ken -Mom'
“Sepertinya
kau harus membawaku kabur minggu depan Niall” keluhku dengan nada rendah seolah
sudah kehabisan akal dan menjadi sedikit meremas ponsel dalam genggamangan,
hingga seketika kekesalanku teralihkan karena dia tiba-tiba mengusap bahuku.
“Ada
apa lagi?” tanyanya dengan raut wajah begitu penasaran namun dengan nada bicara
yang biasa saja, membuatku kemudian menggeleng sebagai jawaban dan terpaksa
memberikan senyum hambar.
“Lupakan
saja..”
“Katakan”
pintanya, tetapi aku lantas menggeleng lemah.
“Aku
harap kau tidak tersinggung” ucapku yang sama sekali tidak memberikan jawaban
atas pertanyaan yang dia ajukkan, membuatnya hanya pasrah mengangguk anggukan
kepala.
Dengan
senyum hambar dia pun lantas berkata “Jangan mengkhawatirkan apapun Ken. Percayalah
bahwa semua akan baik-baik saja Ken” kembali menyinggung senyum terbaikku
setelah dia berkata demikian, membuatku kemudian memberanikan diri untuk menatap
lekat iris mata birunya yang terlihat begitu teduh.
“Sayangnya
aku begitu membenci London?!” ucapku dalam artian yang sebenarnya, seolah
mencoba membagi rasa bahwa kata London akan selamanya menjadi kata yang paling
aku benci sepajang hidup. Sehingga dalam sepersekian detik, dia mendekat
kearahku dan dibawalah aku bersandar untuk menenggelamkan kesedihan di
permukaan dadanya.
“Kau
harus bisa melawannya Ken” menggelengkan kepalaku karena merasa mustahil untuk
menerapkan apa yang dia ucapkan, dengan kesal aku pun mendorong tubuhnya agar
menjauh dariku.
“Aku
bosan mendengarnya! Apa kau punya kata-kata lain Niall?” tanyaku seraya bangkit
dari keterdudukan, kemudian menghapus jejak air mata dipipi dengan punggung
tangan dan menggunakan kembali sarung tangan kulit seraya meraih tas serta
dokumen diatas meja karena akan terasa percuma kalau aku memintanya untuk
mengerti maksudku yang sebenarnya sama sekali tidak dia pahami.
“Sebanyak
apapun kata-kata yang aku berikan, tentu tidak akan pernah merubah keadaan apapun
kalau kau tidak lantas menerapkannya” mengangguk setuju atas ucapannya itu,
ternyata membuatku justru semakin bisa menilai bahwa akulah yang terlalu egois
disini.
“Ya,
kau benar” gumamku.
“Dengar!
Kau boleh saja membenci kota itu seumur hidupmu. Tapi apa iya?! kau mau terus
menerus tenggelam di masa lalu dan berhenti melakukan apapun karena bergantung
pada kebencian orang lain di sepanjang hidupmu?” jelasnya dengan penuh
hati-hati dan berhasil membuatku merasa terpojokkan, terlebih tatapan dari kedua
iris matanya seolah mampu menembus kedalam dadaku.
“Yang
lalu biarlah berlalu, Ken”
“Karena
waktu akan tetap berjalan sebagaimana mestinya dan tidak akan pernah menunggu
perubahan apapun” jelasnya.
“Sudahlah,
lupakan saja dan jangan dibahas lagi. Aku yakin dia akan sangat marah kalau
sampai kita datang terlambat” jawabku mengalihkan pembicaraan dan yang aku
lihat dia hanya menganggukkan kepala sebagai tanda setuju, sehingga kemudian
dia bangkit dari keterdudukkannya dan melangkah kearah sisi sebelah kiriku.
Namun,
entah kenapa pandanganku tiba-tiba saja mengabur dan kepalaku sudah terasa
sangat pening. Bersamaan dengan itu, dadaku rasanya sangat panas dan kakiku
terasa semakin sulit menopang tubuhku sendiri. Kesulitan untuk menghirup nafas
banyak-banyak, membuat tanganku akhirnya mencari-cari pegangan dan berhasil
menggenggam tangannya dengan erat.
“…Ken?...”
“…Are you ok?...”
“…Kendall...”
melihat raut wajahnya dengan pandangan yang sudah mengabur dan tak dapat
mendengar apa yang dia ucapkan selanjutnya, lantas aku alihkan untuk melihat
bibirnya begerak berucapkan ejaan huruf namaku sebelum akhirnya pandanganku
berubah menjadi gelap.
Meringis
dan sedikit memijat pelan kedua sisi dahiku yang masih terasa berputar, tanpa
aku duga-duga tangannya pun berhasil menahan gerak tubuhku untuk tidak beranjak
lebih dulu dari ranjang berukuran queen size ini. Sontak
tatapan kami pun bertemu dan membuatnya mengambil posisi menjadi terduduk
kembali di sisiku, kemudian melepaskan alat stetoskop yang
terkait di lehernya.
“Tekanan
darahmu sangatlah rendah dan sepertinya tubuhmu juga membutuhkan istirahat yang
cukup Ken” mendengarnya berujar demikian dengan nada yang terdengar kecewa,
membuatku merasa bersalah karena aku membiarkan diriku sendiri terjaga selama
beberapa malam dan memporsir pekerjaanku selama beberapa hari belakangan.
Nada
penuh kekecewaan itu berhasil membuatku menyimpulkan bahwa, dia sangat khawatir
tentangku saat ini. Tapi entah kenapa, rasanya aku masih benar-benar tidak bisa
percaya bahwa sikapnya masih sama seperti dahulu. Pasalnya, lelaki dengan
tinggi sekitar seratus tujuh puluh satu centi ini sudah lama
tidak pernah mengunjungiku lagi.
Memang
tidak ada yang berubah dari penampilannya, rambut berwarna pirang di bagian
poni itu juga masih sama seperti dulu dan mungkin akan tetap menjadi ciri
khasnya. Terlebih lagi, iris matanya yang berwarna biru kian kontras dengan
kulitnya yang berwarna putih bersih dan sangat cocok terhadap karakter dirinya
yang ramah serta penuh semangat.
Mengingat
kedekatan kami yang bukan tanpa alasan, karena memang ibunya sudah berteman
sejak remaja dengan ibuku dan ayahnya adalah dokter pribadi ayahku. Membuat
kami juga terpaksa ikut menjalin hubungan baik, khususnya sebagai pasien dan
dokter selama kurang lebih hampir 4 tahun lamanya.
“Lebih
baik kau istirahat saja dirumah Ken” tawarnya yang kemudian bergerak memasukkan
peralatan kedokteran miliknya kedalam tas, sehingga hal ini pun aku manfaatkan
untuk merubah posisiku menjadi terduduk.
“Dan
membatalkan rencana kita?”
”Sungguh!
Itu adalah ide yang sangat bodoh Niall” mendapati dia menatapku dalam diam dan
dengan tatapan yang paling aku benci, membuatku lantas menghembuskan nafas
kemudian.
“Jangan
pernah menatapku dengan tatapan memperihatinkan seperti itu Niall” peringatku
yang sedikit tersinggung dan merasa mulai tidak nyaman.
“Aku
tidak menatapmu dengan tatapan demikian” bantahnya namun tetap dengan nada
rendah, yang berhasil membuat suasana kamar ini tiba-tiba menjadi terasa begitu
dingin dan hening.
“Sudahlah..
aku akan bersiap-siap terlebih dahulu” putusku dengan nada sarkas, seraya
menggeser posisi kakiku menurun kearah lantai. Seolah mengerti, tangannya yang
putih pun dengan begitu posesif telah
terlingkar dipinggulku.
“Kau
yakin? Perlu aku bantu?!” tawarnya terdengar ragu-ragu, membuatku membalas
ucapannya dengan menggelengkan kepala. Sehingga, tangannya perlahan mulai
terlepas dari pinggulku. Membuatku pada akhirnya melangkah dengan perlahan
kedalam kamar mandi.
Aku
terdiam menatap diriku sendiri di hadapan kaca wastafel, hingga
terdengar samar suara pintu yang tertutup. Tanpa mau perduli apa yang akan di
lakukannya dan tidak ingin membuang waktu dalam pemikiran negatif yang terus mempengaruhi,
aku pun lantas merapihkan pakaianku dan segera melangkah keluar dengan
melingkarkan tasku di lengan serta membawa beberapa dokumen dalam genggaman.
Lama
tenggelam dalam pemikiranku sendiri atas pesan yang dikirimkan oleh ibuku.
Tiba-tiba saja aku langsung tergejolak panik akibat sambaran flash kamera paparazzi yang
berhasil mempotret keberadaanku dari arah luar kaca jendela mobil. Seruan
orang-orang yang memanggil namaku pun semakin terdengar jelas, ketika aku dan
Niall melangkah turun dari mobil.
Berbanding
terbalik dengannya yang melangkah mantap seraya mengumbar senyum ramah kepada
para paparazzi, aku justru memilih menghentikan langkahku dengan
tiba-tiba dan melepas tautan tangan kami karena aku melihat seseorang
mengenakan hoodie berwarna hitam yang memang sudah beberapa
hari ini kedapatan sedang mengawasiku dari kejauhan.
Brengsek!! Siapa dia sebenarnya.
Meneguk
siliva-ku dengan susah payah,
sepersekian detik kilas balik akan masa lalu itu terekam kembali dengan jelas
dalam pikiranku dan berhasil membuat hatiku mencelos menahan sesak disekujur
dadaku. Merasakan tanganku di tarik dengan tiba-tiba, aku pun dengan langkah
gontai terpaksa jadi mengikutinya.
“Apa
kau baik-baik saja Ken?” tanyanya dengan nada pelan, membuatku tersadar bahwa
kami sudah berada di dalam studio
butikku yang memang banyak karyawan berlalu-lalang seraya memberikan kami
tatapan penuh sambutan.
“Ah..
I-iya, aku tidak apa-apa” jawabku yang sedikit terbata-bata dan hal ini justru
malah dia apresiasikan dengan merangkul pundakku menjadi kedalam dekapannya.
“Jangan melamun” peringatnya kemudian.
“Aku
tidak melamun!” elakku sesuai dengan kenyataan.
“Hanya
berdiri dengan pemikiran yang terbang entah kemana, begitu maksudmu?” tebaknya,
membuatku berdengus seraya memutar bola mata malas.
“Berniat
membuka hati untuk karyawanmu, heuh?” godanya
“Tutup
mulutmu, sialan!” peringatku.
“Well, aku tidak yakin mereka bisa
mengimbangimu diranjang”
“Horan!”
tersenyum seperti keledai tolol disisiku ketika aku memanggil namanya penuh
penekanan, tidak lantas membuatnya melepaskan tubuhku dari dekapannya.
Namun,
hal ini tidak berlangsung lama karena tiba-tiba saja tubuh Niall ditarik paksa
untuk berbalik menghadap kearahnya dan membuat aku lantas mengambil jarak
mundur seraya menyinggung senyum lebar ketika mengetahui siapa yang melakukannya.
Melihat
senyumnya begitu berseri-seri dan kedua iris mata berwarna hazel yang
sudah beberapa bulan belakangan selalu sendu, kini telah kembali
berbinar-binar. Membuat aku akhirnya merasa lega, karena melihat mereka berdua
bisa sama-sama melepas rindu.
“Senang
sekali melihatmu ada disini?!” ungkapnya dengan nada gembira dan langsung saja
mendekap memeluk tubuh Niall, membuatku hanya bisa melihat interaksi keduanya tanpa protes.
“Aku
juga senang, melihatmu baik-baik saja” balasnya yang nampak berekspresi tegang, tetapi di detik
selanjutnya aku perhatikan tangannya mulai ikut beralih meghantarkan ketenagan
dengan membalas pelukkannya.
“Sebelumnya
kau pergi bahkan tanpa pamit kepadaku, Horan!” protesnya, membuatku sadar bahwa
itu akan menjadi obrolan panjang dan memilih untuk menintrupsi keduanya.
“Emm..
Bagaimana kalau kalian melanjutkannya nanti saja?” usulku yang mulai merasa
menjadi penonton, seraya mengedarkan pandangan kearah sekitar. Sehingga,
keduanya pun mengiyakannya dengan segera melepas pelukkan yang memang sedang
berlangsung di antara keduanya.
Komentar
Posting Komentar