DIRTY BUSINESS - 13

             Keluar dari toilet, telingaku lantas disambut oleh suara-suara tawa disertai tautan tepuk tangan yang begitu meriah dan juga terasa bergema hingga memenuhi seluruh isi ruangan gedung ini. Langkahku yang kemudian terhenti, membawa pikiran dan hatiku dipenuhi tentangnya sekaligus menginginkan keberadaannya untuk bisa mendampingiku ditengah-tengah keramaian ini lagi seperti dulu.

Mustahil memang berharap Louis bisa hadir di acara yang sesungguhnya diselenggarakan untuk memperingati 2 tahun akan ketidaannya lagi di dunia ini. Terlebih, dahulu hubungan kami berdua berakhir dengan tidak baik dan jujur saja karena hal itu membuatku kemudian benci pada diriku sendiri hingga detik ini. Sebab, saat itu diriku tidak mampu untuk menahan perasaanku terhadapnya.

Gila!

 

Memang!

Sebagian orang bahkan menganggapku demikian semenjak Louis membatalkan prosesi pernikahan kami secara sepihak, hingga kemudian dia berakhir pergi dari hidupku perlahan dan untuk selama-lamanya dengan kesalahan yang selalu aku perbuat. Sehingga satu-satunya cara menutupi semua itu dari hadapan semua orang adalah dengan menghindari publik, sebab menghilang dari dunia ini rasanya terlalu sulit karena aku selalu kembali lagi ketika sudah berusaha untuk mengakhiri.

 

Ting…

 

From: Mom

‘Get out and come back to the hotel now!’

 

From: Mom

‘Don’t go back inside’

 

 


Ada apa? Kenapa tiba-tiba dia menyuruhku untuk pergi dari acara ini tanpa dirinya? 

 

Dor...dor.. dor..dor..

 

Terkejut dan seketika menjatuhkan ponsel serta clutch bag dari genggamanku karena mendengar suara tembakan ke udara, tidak banyak yang bisa aku lakukan selain diam terpaku. Di dominasi oleh suara kepanikan orang-orang serta ada beberapa dari mereka berlarian mencari perlindungan, memberi efek cukup berpengaruh terhadap diriku.

“…Tenang semua”

“…Diam di tempat kalian masing-masing dan jangan ada satu orang pun dari kalian yang bergerak!”

“…Ruangan ini sudah di blokir oleh anggota kami”

“…Tidak akan ada akses untuk jalan keluar”

“…Berdasarkan laporan yang telah kami terima, pada siang hari ini dikota London akan ada transaksi ilegal berupa narkotika yang dilakukan oleh beberapa pengusaha nakal dan kami curigai mereka memanfaatkan keberlangsungan acara besar untuk melakukan aksi tersebut”

“…Saya, pimpinan dalam satuan tugas cabang keamanan nasional FBI. Meminta semua orang disini untuk bekerjasama dan koperatif”

Begitu mengetahui siapa mereka sebenarnya, kakiku pun lantas lemas dan kepalaku seketika terasa berputar hebat. Merasa dejavu sekaligus ketakutan, siapa sangka diambang tatapanku yang mulai meremang justru aku menemukan keberadaannya di ujung kiri sana.

Namun, harapanku atas dirinya justru hanyalah angan ketika dia dengan sukarela menenangkan wanita itu dalam pelukannya padahal sudah ada pria beriris mata berwarna hijau disebelahnya. Dan siapapun yang melihat mereka, pasti akan dengan senang hati berkata bahwa mereka itu tengah terlibat cinta segitiga.

Lebih tertarik memikirkan diriku sendiri, besamaan dengan itu aku pun berusaha memasukkan kembali barang-barangku kedalam clutch bag. Akan tetapi, sialnya botol obatku terbawa oleh langkah kaki mereka yang panik mencari perlindungan.

Brengsek!

 

Jangan sekarang!

 

Mengabaikan botol obatku disana dan lebih memilih bersandar didekat pilar besar, usapan tanganku di dada nyatanya tidak cukup berpengaruh untuk mengurangi rasa sesak dan juga mual yang tiba-tiba menyerang perutku.

Jika biasanya aku meluapkan kesakitanku dengan berteriak, kali ini aku seperti tidak punya keberanian untuk melakukan hal demikian ketika mengingat dimana aku berada sekarang. Hal ini pun membuat bayangan akan sosoknya, kian nyata dalam pandanganku saat ini seolah begitu menuntut untuk diingat kembali.

 

Tidak!

 

Aku tidak ingin mengingatmu lagi!

 

Pergi!

 

Jangan menggangguku!

 

Banjir akan air mata dan terus menekan erat kepalaku dengan kedua tangan, tidak membuat sosoknya pergi dari pikiranku dan justru semakin menarikku masuk kedalam jurang gelap yang sekali lagi akan membuatku  kembali menyakiti diriku sendiri hingga ke dasar.   

 

Flashback on

Besarnya amarah yang menguasai hati dan pikiran, nyatanya mampu membuat keputusan yang telah aku buat terasa seperti sebuah penyesalan. Sebab, jika tadinya aku berpikir dengan aku membalas perbuatannya padaku. Aku bisa membuatnya menyesal dan kembali. Namun ternyata semua itu salah.

Di sudut sana dia justru tersenyum penuh kebahagiaan bersama wanita yang menjadi lawan mainnya disebuah film. Sangat berbanding terbalik dengan apa yang tengah aku rasakan saat ini. Satu-satunya hal manis yang selalu aku ingat tentangnya adalah dia selalu mampu membuatku bahagia dan menangis di saat yang bersamaan.

Dia selalu berhasil membangkitkan harapan-harapan besar, lalu menguburkannya tanpa perasaan. Dia selalu mampu merekatkan puing-puing rinduku, lalu menghancurkannya dalam hitungan menit. Dia selalu bisa membuatku mencintainya, lalu mematahkan hatiku tanpa ampun. Dan bodohnya, aku tidak pernah mampu untuk membencinya.

Ini adalah perasaan dan kisah teraneh yang pernah aku alami. Sebab, aku selalu saja mencintainya dengan sepenuh hati meskipun aku tau bahwa akhirnya hanya akulah yang tertatih-tatih demi meminta kejelasan status yang pasti dan kesungguhannya.

Merindukan dengan seluruh rasa, walaupun kenyataannya semua melenceng jauh dari yang diharapkan. Sudah tau tidak mampu memiliki, namun merasakan kehilangan yang teramat dalam.

Bukan siapa-siapa lagi, tetapi menangis tersedu-sedu oleh pengkhianatan yang tidak bisa di katakan pengkhianatan pula. Bahkan, rasanya luka yang dia torehkan saja masih belum sembuh. Dan dengan teganya, dia justru menambah dengan mengubar kemesraan secara terang-terangan di depan mataku. Dan dia adalah Louis, mantan calon suamiku sekaligus aktor berbakat yang selalu dikagumi banyak orang.

Asshole!

Menenggak satu gelas terakhir dan memilih melangkah pergi meninggalkan ruangan yang berhasil membuat dadaku sesak. Tidak lupa aku meraih clutch bag merk chanel berwarna biru dengan design crocodile alligator dan mengenakan kembali sarung tangan berwarna putih berbahan kulit.

Berjalan dengan sedikit terhuyung karena terlalu banyak menenggak tequila dan lantas menolak tawaran mereka untuk di kawal keluar dari club ini. Seketika aku tergejolak kaget karena puluhan flash dari kamera para paparazzi yang secara tiba-tiba mengarah padaku dan berhasil menyilaukan pandangan serta menjadi memblokir aksesku untuk masuk ke dalam mobil.

Hal seperti inilah yang selalu aku hindari semenjak gagal menikah. Sebab, aku merasa sudah benar-benar jengah mendengar pertanyaan-pertanyaan spontan yang tidak pernah bosan mereka ajukan mengenai aku dan Louis. Seolah-olah mereka masih saja menutup mata akan masalah yang pernah terjadi antara aku dan dia, sehingga emosiku rasanya benar-benar sudah memuncak dibuat mereka saat ini.

“Back off guys”

“Back off”

“Beri Kendall jalan…” ucapnya membuatku batal meraih kamera salah seorang paparazzi yang tak jauh dariku. “Mobil kita disana Nona”

Mengangguk paham dengan sigap dia pun merengkuhkan tubuhku kedekatnya untuk menerobos menjauh dari mereka. Sehingga, tepat ketika mobil ini melesat pergi meninggalkan tempat tersebut barulah seluruh amarah dan tangisku pecah.

Meremas tangan kuat dan sesekali menekan dada serta kepalaku yang kini benar-benar pening karena terus mengingat bagaimana tadi dia tersenyum dengan lepas tanpa perduli keberadaanku di ruangan yang sama dengannya. “Apa anda baik-baik saja Nona?” tanyanya.

“Menepilah Felix” jawabku membuatnya kemudian mengangguk setuju dan menepikan mobil. “Ada apa Nona?”

“Felix, aku ada urusan sebentar”

“Kau kembalilah ke penthouse menggunakan taxi” ucapku.

“Tapi Nona… Tidak baik berkendara dalam keadaan mabuk”

“Lagi pula, Tuan Brian telah berpesan agar jangan sampai membiarkan Nona mengemudikan mobil seorang diri”

“Felix” geramku seraya memberikan tatapan penuh peringatan padanya, hingga terdengar samar dia berdengus nafas secara kasar kemudian melepas seat belt. “Baiklah Nona”

“Tapi, kemana anda akan pergi?” tanyanya.

“Aku akan mengunjungi Mansion

“Dan tolong kalau nanti ayahku menghubungimu. Sampaikan ucapan permohonan maaf dariku, karena aku tidak bisa menuruti perintahnya untuk ikut penerbangan malam ini” mendapati sebuah anggukan pasrah darinya, aku pun lantas mengambil alih kemudi dan segera melajukan mobil seorang diri.

Terus memaki dirinya dengan tersiak tangis yang semakin menjadi selama perjalanan menuju Mansion, tidak henti tanganku pun ikut melampiaskan kekesalan dengan memukul stir kemudi ini berkali-kali setelah lebih dulu menginjak pedal rem.

Sialan!

Bisa-bisanya dia bersikap tidak memperdulikan aku sama sekali tadi. Bastard, brengsek!

Memasuki bangunan berwarna putih yang seharusnya menjadi tempat tinggal kami di masa depan, sesekali aku tersenyum pedih dan berdecih sendiri ketika mengingat dia menjanjikan kebahagiaan akan selalu tercipta disetiap ruangan dalam Mansion ini.

Omong kosong!

Berjalan kearah dapur seraya menikmati lintingan ganja yang memang selalu kami stock bersama di Mansion ini, rasanya pelepasanku pun semakin lengkap ketika menyesap segelas martini. Menikmati rasanya yang netral dan versatile, sensasinya pun semakin terasa ketika aku membiarkan kumpulan asap dari lintingan ganja terlepas keudara.

Akan tetapi, ditengah pelepasanku. Tatapanku tertarik untuk melihat kearah kotak berwarna hitam dengan pita merah yang ada di atas meja panjang dan terhalang oleh bingkai foto-foto kami. Membuka kotak yang ternyata berisi anting berlian, senyumku pun lantas merekah ketika selembar kertas didalam kotak ini bertuliskan namaku.

Belum sempat membaca isi surat tersebut karena suara pintu yang terbuka sedikit mengusikku, aku pun memilih untuk lebih dulu berjalan menghampiri kearah asal suara pintu berada. Ditengah kegelapan malam, seketika kabut penuh amarah pun muncul saat melihat lebih jelas Louis dan wanita itu memasuki kamar.

Brengsek! Beraninya dia membawa orang asing ke dalam Mansion ini.

Tergesa menyusulnya dengan langkah gontai akibat masih dalam pengaruh alkohol. Tubuhku pun hanya bisa diam terpaku di tempat ketika melihat tautan bibir di antara mereka yang kelewat panas. Berulang kali mendapatinya seperti ini dengan wanita lain, berulang kali pula hatiku dibuat hancur berkeping-keping olehnya.

Tidak mampu lagi membendung air mata karena terlalu sakit memikiran hal negatif tentang adegan apa selanjutnya yang akan keduanya lakukan di dalam sana setelah ini. Tatapanku pun jatuh kearah lemari kaca yang menjadi tempat penyimpanan benda mengerikan itu. Karena sudah terbakar cemburu, pada akhirnya aku pun meraih benda tersebut dan menyembunyikannya di balik punggungku.

 

Beginikah akhir yang kau pilih untuk cerita kita L?

 

Brengsek!

Sudah dua tahun lebih aku berusaha mati-matian untuk memperbaiki semua kekacauan yang telah terjadi diantara aku dan dia, tanpa pernah perduli sekalipun kalau aku yang harus terlihat mengemis padanya.

 

Serta hampir selama itu juga aku selalu saja menyingkirkan rasa kekecewaanku sendiri, tanpa pernah dia mengerti bahwa aku  merelakan harga diriku sendiri agar dia menyesal dan berakhir kembali padaku. Justru, kini aku di tampar pada kenyataan yang sesungguhnya bahwa dia tidak akan pernah bisa berubah.

 

Benar-benar, Brengsek!

 

Prak...

 

Sialan!

Mengumpat kesal seraya mengutuk diriku sendiri, karena siku tanganku tidak sengaja menjatuhkan vas bunga. Dengan senang hati aku pun segera menunjukkan kehancurkanku dihadapan dirinya.

“Kendall?” ucapnya yang memanggil namaku dengan wajah terkejut, membuat hatiku rasanya begitu remuk luluh lantah ketika melihat wanita dibawah kukuhannya kini hanya mengenakan pakaian dalam.

Menjijikan!

“Apa yang kau lakukan disini?”

Telah dipenuhi perasaan kecewa yang sudah menumpuk, segera aku pun jawab pertanyaannya dengan menampar keras pipinya hingga sudut bibirnya berdarah dan membuat tanganku bergemetar hebat karena merasakan kesakitan yang sama dengannya tepat didadaku.  

“Seharusnya aku yang bertanya hal itu padamu L”

“Apa sebenarnya yang ada dipikiranmu, sampai kau berani membawa jalang itu memasuki kamar tidur kita!” tanyaku seraya menangis terisak dan menatapnya kecewa.

“Dengar” pintanya, tetapi aku lantas beraksi menepis tangannya yang ingin menggenggam tanganku.

“Tidak!”

“Aku tidak mau mendengar apapun dari mulutmu!”

“Dan kau! Pergi kau dari sini!” usirku seraya berjalan kearah ranjang dan menarik tangan si wanita berambut pirang ini. Namun, Louis justru menghalanginya dengan menarik tanganku. “Ayo, aku antar kau pulang” ajaknya.

“Tidak! Aku akan tetap disini”

“Ini juga rumahku!” bantahku seraya menepis tangannya.

“Kamu mabuk Ken. Dan aku tidak ingin berdebat denganmu dalam keadaan seperti ini” ungkapnya.

“Dan dengan terus-terusan menghindariku apakah itu akan menyelesaikan segalanya L?” tanyaku begitu putus asa.

Sebab, sudah hampir beberapa bulan pasca aku pulih dari kecelakaan yang terjadi dihari kami gagal menikah. Dia justru kembali menjauh, padahal sewaktu aku berada dalam masa kritis dialah yang memintaku untuk pulih. Astaga!

Haruskah aku menyesal karena telah kembali pulih?   

“Kita sudah selesai Kendall. Sudah tidak ada lagi yang perlu diselesaikan dan saling menghindar adalah pilihan yang terbaik untuk kita kedepannya” menggelengkan kepala karena tidak setuju dengan penjelasnnya, aku pun lantas meraih kedua tangannya.

“Aku mohon jangan seperti ini L”

“Kau bilang saja, aku harus bersikap bagaimana agar kita bisa kembali seperti dulu. Aku janji, aku pasti akan langsung menuruti keinginanmu itu” bujukku memohon.

“Sudahlah, ayo aku antar kau pulang” ucapnya yang sama sekali tidak menjawab penawaran dariku dan lebih memilih mengenakan kembali kemeja biru tuanya. “Katakan. Apa yang kurang dariku L?”

“Kenapa kau selalu menyakitiku dengan memilih wanita lain untuk melampiaskan hasratmu? Kenapa tidak denganku saja yang sudah jelas bersedia menyerahkan segalanya untukmu!”

“Kenapa L?” tanyaku dengan nada seoktaf mungkin, membuatnya kemudian berhembus napas kasar seraya mengusap wajahnya. “Hubungan kita sudah berakhir Ken. Sadarlah”

“Tapi aku tidak ingin kita berpisah L” tekanku sekali lagi.

“Cobalah bersikap rasional dan pikirkan bagaimana perasaan pria yang sedang dekat denganmu akhir-akhir ini Ken?!” peringatnya membuat kesedihanku sedikit terobati karena ternyata dia mengetahui berita tentang aku yang keluar dari hotel dengan pria misterius.

“Aku akan menghubungi Felix untuk menjemputmu” ucapnya seraya sibuk menautkan ponsel kearah daun telinga, hingga aku lihat matanya terfokus menatap layar ponsel dan tangannya juga sibuk mengetikkan sesuatu. “L?”

“Apa lagi Ken?”

“Kenapa kau membawanya kesini?” tanyaku seraya mengamati wajah wanita di sisinya itu yang hanya bungkam sedari tadi.

Hingga di detik selanjutnya kembali hatiku benar-benar terasa di hantam batu besar, karena dia lantas mengusap pucuk kepalaku dengan gerakkan asal seperti yang selalu dia lakukan ketika aku mulai terbakar cemburu. Dulu!

“Namanya Parrie, Ken”

“Aku tidak mau tau. Dan lagi pula, bukan itu yang sedang aku pertanyakan L” koreksiku sedangkan dia kemudian mengangguk mengerti. “Ini juga rumahku Ken”

“Jadi, aku pikir aku juga berhak untuk membawa siapapun kesini termasuk Parrie yang sebentar lagi akan menjadi istriku” jelasnya dengan begitu gampangnya, membuat lututku seketika tidak lagi mampu menopang bobot tubuhku sendiri dan mencoba mencari sesuatu untuk menjadi pegangan.

Menepis tangannya yang mengulurkan bantuan untukku berpegangan, sungguh tidak kuasa lagi aku menyembunyikan perasaan sedih dan marahku atas apa yang baru saja dia ucapkan. Mendengar pemberitaan mengenai kedekatannya dengan banyak wanita setiap hari saja sudah berhasil membuatku hilang akal, lalu sekarang? Bagaimana mungkin aku bisa bertahan jika mendengar kabar bahagia mengenai rumah tangganya nanti setiap hari, yang sudah pasti akan menjadi bencana bagi jiwaku. Tidak!

“Saksikan dulu kematianku kalau kau memang menginginkan pernikahanmu dengan wanita ini tetap terjadi” ancamku yang sudah banjir air mata dan menatapnya dengan sungguh-sungguh karena saat ini aku telah terbakar amarah. “Jangan mengancamku” katanya.

“Aku serius L!” tekanku mengingat dahulu ancamanku selalu berhasil dan dia lantas begitu putus asa sekaligus merasa bersalah setelah aku benar-benar menyakiti diriku sendiri pada akhirnya. “Kali ini ancamanmu tidak berlaku untukku Ken” tentangnya.

“Lebih baik kau menghadiri saja acara pernikahanku dengan kekasih barumu, karena aku tidak akan pernah mau menunda pernikahanku hanya karena upaya bunuh dirimu nanti” bagaikan terperosok jatuh kedalam jurang yang curam ketika dia menyatakan hal demikian, dengan lirih aku berusaha tegar seraya mengangguk.

“Kalau begitu berbahagialah atas berita kematianku nanti” kataku yang lantas mengambil langkah menuju pintu keluar Mansion ini tanpa mengucap pamit atau sekedar berbalik melihat wajahnya

“Ken” panggilnya yang tetap aku abaikan.

“Louis, sudahlah biarkan dia menenangkan dirinya” cegah Parrie yang masih terdengar jelas olehku. 

Dasar jalang! Pintar sekali dia memanfaatkan situasi.

Perkara cinta ibarat dua sisi mata uang, yaitu bisa menjadi yang paling berbahagia atau justru merasa paling menderita karenanya. Dan katakanalah, bahwa aku teramat egois dan terlalu buta akan perasaan cintaku kepadanya saat ini. Tetapi sungguh, aku hanya tidak ingin dia kebagian merasakan sakitnya di kecewakan dan di khianati nantinya.

Aku mencintai dia melebihi apapun, bahkan aku rela menjadi orang paling berbeda atau bodoh sekali pun hanya untuk dan demi dia. Aku mencintainya seperti detak dan detik pada jam dinding, jika suatu saat aku berhenti maka itu hanya karena aku mati.

Ada rasa sakit yang melekat dan membuatku kembali terisak. Karena ya, aku berbohong saat berkata bahwa aku akan mencoba melupakannya. Walaupun aku sadar, bahwa bersamaku lebih lama mungkin malah akan melukainya lebih banyak lagi.

Memilih melepas tangis dengan bersandar pada batang pohon besar dan menyatukan kesedihan dengan dinginnya malam, dapat aku lihat dari sini keduanya nampak masih terdiam disana saling merangkul satu sama lain dan menatap kearahku disini.

Jantungku pun terasa berdetak sangat cepat dan nafasku terasa berburu, ketika tanganku meraih benda ini dari balik badanku. Mencoba mengangkat benda ini dengan perlahan karena tanganku benar-benar gemetar, peluh keringat pun perlahan mulai membasahi dahi juga telapak tanganku yang kini sudah menggenggam erat benda ini.

 

Dor...

 

Dor..dor..dor..

 

Dor..dor..dor..dor..dor…

 

“Akhhhhhhh……” mendengar jeritan kesakitan dari suara yang sangat tidak asing, membuat kesadaranku tersentak untuk membuka mata seraya menurunkan tanganku dan membuatku melepaskan pistol Revolver jenis Ruger Super Blackhawk 44 Mag dari genggaman.

Menutup kembali mataku dengan kedua telapak tangan seraya menjatuhkan lututku bersatu dengan tanah, terdengar suara derap langkah cepat dari arah belakangku.

Menoleh kearah belakang seraya melihat sekelebat bayangan hitam berlalu kearah yang lain, seketika itu juga aku bangkit dan ketika ingin mengikuti bayangan tersebut. Suara raungan penuh kesakitan itu justru kembali terdengar, membuatku bimbang ingin memilih melangkah kearah yang mana. “Siapa itu”

“Siapa disana?” tanyaku memastikan dan sama sekali tidak mendapati sebuah jawaban, sehingga aku lebih memilih untuk kearahnya disana.

Terbelalak karena ada aliran darah yang mulai berceceran akibat lepasan timah panas dari tembakan membabi buta yang baru saja aku arahkan, air mata ku pun lantas lolos ketika melihat keduanya sama-sama tengah meregang nyawa di dekat pintu. 

Dengan pikiran mengawang serta mual tidak tertahankan karena bau anyir darah, aku tetap memaksa berlari walau lunglai kearahnya dan bersimpuh. Meletakkan kepalanya untuk bertopang diatas pahaku seraya menangkup wajahnya, dadaku seketika terasa sakit ketika mendapati darah segar kian mengalir semakin deras tepat dibagian kiri di bawah dadanya.

Mengecup dahinya berulang kali karena rasa takut lebih mendominasi diriku, seketika aku rasakan tangannya yang kini terasa dingin mengusap lemah pipiku kemudian aku lantas menggelengkan kepala dan menggengam erat tangannya yang kini ada dipipiku karena dia mengerang kesakitan. “I’am so sorry..” ungkapku.

“A-ak-aku benar-benar tidak sengaja L”

“Aku tidak bermasud menyakitimu. Aku hanya ingin memperingatinya saja agar tidak lagi bersamamu. Aku cemburu L, sangat cemburu” jelasku lirih seraya menatapnya dengan tatapan mengabur, karena phobia-ku akan darah. “I know. Sekarang pergilah Ken”

“Aku akan menghubungi 911” kataku sibuk mencari ponsel didalam clutch bag, namun tidak kunjung kutemukan karena tanganku yang sialannya bergemetar hebat. “Pergi Ken”

“Jangan perdulikan aku” pintanya seraya menggeram menahan rasa sakit. “Tidak L”

“Aku tidak mau!”

“Aku mohon segeralah pergi dari sini dan bawalah Parrie bersamamu Ken. Please?” ucapnya dengan nafas tersenggal-senggal dan mulai mengeluarkan banyak darah dari mulut serta hidung, membuat tanganku semakin gemetar dan membawa kepalanya dalam pelukkan seraya menempelkan dahiku dengan dahinya tepat ketika dia mulai menarik panjang nafasnya. “No..No…!”

“Aku mohon jangan tutup matamu Louis” teriakku panik seraya menggeleng guna memohan lalu mengguncang tubuhnya dalam pelukkanku dengan terisak dan meraung sejadinya, serta tidak hentinya aku mengecup sekujur wajahnya yang sudah memucat dan hal inilah yang kemudian mengalirkan rasanya sakit hingga ke ulu hati dan sulit untukku bernafas dengan normal.

Sehingga ketika kepanikkan sudah mengacaukan seluruh pikiran dan rasa takut sudah berhasil mempengaruhi hatiku, kepalaku pun kian berputar begitu hebat setelahnya. Membuat seluruh pandanganku sedikit menggelap, tetapi aku tetap berusaha berteriak permintaan tolong walaupun dengan suara yang terdengar parau dan merasakan adanya tepukan di bahuku dari arah belakang.  

            Flashback off

“Kendall” panggilnya membuatku lantas menoleh kearahnya yang menepuk bahuku dari arah belakang. “Masuklah. Sudah malam dan kau harus banyak beristirahat”

“Aku sudah baik-baik saja Mom

“Kau bisa mengatakan hal itu nanti setelah kau melakukan terapimu. Tidak sekarang” koreksinya seraya mengeluarkan ponsel dari dalam tas hermes hitam yang terlingkar anggun dilengannya dan menghela napas lelah setelah membaca sesuatu di ponselnya. “Ada apa?” tanyaku.

“Aku harus pergi” jawabnya tanpa disertai alasan.  

“Tidak menginap saja?”

“Masih ada banyak kekacauan yang harus aku bereskan dengan segera. Well, aku harap kau mau bekerja sama” ujarnya yang aku balas dengan mengangguk setuju, karena setelah kemarin kepulanganku dari rumah sakit. Dia telah memperbolehkan aku untuk kembali menetap di Mansion pribadiku ini.

“Para media pasti sedang sibuk membicarakanku saat ini”

“Tidak perlu memikirkannya. Fokus saja pada proses penyebuhanmu Ken” ucapnya tanpa menghentikan langkah untuk bisa sampai di dekat pintu kamar. “Aku dan ayahmu sepakat menambah beberapa bodyguard untuk menjagamu. Jadi, aku tidak ingin mendapat laporan kalau kau mengacaukan tugas mereka. Mengerti?”

“Iya Mom” jawabku menyetujui seraya membukakannya pintu kamar.  “Sampaikan salamku untuk Daddy

“Akan aku sampaikan nanti. See you” putusanya.

Menikmati malam pergantian tahun hanya di Mansion pribadiku sambil menatap bangunan kota Los Angeles dari teras, karena rencana kami sekeluarga untuk berlibur bersama keluarga Horan batal akibat kejadian tidak mengenakkan yang menyebabkan aku mengalami serangan panik tepat beberapa hari lalu ketika berada di London.

Sunyi pun tetap menjadi teman paling sejati untukku di kala sedang menghadapi saat-saat seperti ini. Meringkuk nyaman seorang diri sebagaimana yang sudah-sudah, tidak banyak yang bisa aku harapkan akan kesehatan mentalku setelah kemarin ibuku mengatakan bahwa resep obat-obatanku kembali bertambah.

Memuakkan!

Pukul 12 malam telah berlalu, dengan segera aku menekan remote control untuk menutup gorden kamar dan meminum obat tidur bersamaan dengan beberapa obat lainnya. Sekilas menatap ke arah ponsel yang sudah beberapa hari ini tidak aku sentuh dan dibiarkan begitu saja di atas nakas, dengan penuh keyakinan aku pun tetap mengabaikan ponselku dan memilih merebahkan tubuhku di ranjang queen size hingga akhirnya terpejam.

Enam hari sudah aku menyibukkan diriku sendiri dengan mengurus urusan butik dari rumah serta merawat tanaman-tanaman di halaman Mansion. Selama itu pula, aku healing dari media sosial atau pun media elektronik lainnya dan berkomunikasi dengan Paris hanya melalui sambungan telepon milik Felix.

Menerapkan cara-cara demikian berdasarkan buku kesehatan mental yang beberapa hari ini sedang aku baca, nampaknya membuatku merasa telah baik-baik saja sekarang. Walaupun memang tidak akan pulih seratus persen, tetapi setidaknya cara yang aku lakukan ini adalah permulaan yang baik untuk kesehatan mental juga kesetabilan emosiku.

Mengidap PTSD (Posttraumatic Stress Disorder) dalam fase setelah kritis dengan periode yang berlangsung lama, menjadikan suatu trauma yang aku alami semakin cepat di bandingkan pengalaman terdahulunya ketika kejadian trauma itu sendiri kembali terulang. Sehingga, memang satu-satunya cara untuk bisa memulih adalah dengan mengkonsumsi obat-obatan yang dibarengi dengan melakukan psikoterapi atau terapi.   

“Kendall” panggilnya yang nampak berjalan kearahku dengan menjinjing dua paper bag berisikan makanan siap saji dari restaurant favorite kami, Craig’s. “Apa yang kau bawa Hails?”

“1 box, Scallops berisi  parmesan, truffle, mushroom and spring vegetable risotto. Dan 1 box, Meatloaf berisi Mashed potatoes, vegetable, and gravy” tuturnya berhasil membuatku tergiur dan menutup buku kesehatan mental yang sedang aku baca. “Pilihlah satu untukmu” timpanya.

“Aku scallops saja” putusku.

“Berat badanmu tidak akan meningkat drastis kalau hanya memakan satu porsi daging Ken” ejeknya yang berlalu kearah dapur untuk mengambil minum, piring dan juga sendok.

“No thank’s” yakinku seraya mengeluarkan box makanan dari dalam paper bag.

By the way, Ken. Photographer yang beberapa waktu lalu kau rekomendasikan itu sudah resmi menandatangani kontrak kerjasama dengan kita dan dia juga tidak keberatan memotretmu untuk majalah GQ besok”

“Sungguh?” tanyaku yang masih begitu tidak percaya seraya menerima piring yang dia ulurkan. Mengangguk atas pertanyaan dariku, Hailey pun lantas mengambil posisi duduk disebelahku. “Tapi dia tidak memiliki ponsel. Itulah masalahnya Ken”

“Kita masih bisa menghubunginya melalui email Hails, tenanglah. Lagi pula, bukankah kau telah memberitahu kapan waktu kerjanya dimulai dan berakhir?”

“Iya kau benar. Bahkan, perkataanmu ini sama dengan pesannya padaku bahwa selama kita percaya dengan kemampuannya dan tidak membuatnya menunggu lama di lokasi. Dia pasti akan melakukan tugasnya dengan baik”

“Dia berkata seperti itu?” mengangguk atas pertanyaan yang baru saja aku berikan, seketika aku pun berdengus remeh karena tidak sabar melihat bagaimana rupa dari si pria sombong yang akan menjadi bagian dari team kerjaku nanti. “Apa salahnya menungguku? Aku bosnya disini” lanjutku.

“Entahlah, tapi menurutku dia punya standard kedisiplinan yang cukup kritis. Tepat seperti ucapanmu barusan, bahwa dia akan mengerti waktu kerjanya tanpa perlu kita ingatkan” ungkapnya yang aku hiraukan dan lebih memilih menikmati menu yang dia pesan dari restaurant favorite kami. “Aku berharap dia yang telat nanti”

“Mana mungkin dia melanggar aturannya sendiri”

“Apakah kau ingin aku membuktikan bahwa ucapanmu barusan itu bisa menjadi mungkin?” tawarku membuatnya seketika menatapku begitu horror. “Astaga, singkirkan ide nakalmu itu Ken. Jangan mempertaruhkan kerjasama kita hanya karena kau ingin membantah ucapanku” protesnya, membuatku tertawa lepas seraya mengandahkan kedua bahu acuh.

“Kita liat saja nanti” putusku.   

Selesai menikmati santap siang bersama, Hailey kemudian kembali sibuk dengan urusannya sendiri dan aku memilih pergi mandi karena tertarik untuk menerima tawaran bertemu dengan Kate.

Sabar mengeluarkan dan memilah milih barang-barang dari dalam koper, tanpa buang waktu aku segera membuka brankas untuk menimpan kotak hitam berisi batu berlian pemberian dari Zayn. Namun, tatapanku lantas tertuju kearah jaket kulit berwarna hitam milik Harry.

Tidak ada lagi harum aroma tobacco vanilla di jaket kulit miliknya, karena aku telah memerintah Dani pelayan di Mansion ini untuk mencucinya. Seketika aku pun teringat akan janji kami tepat di malam nanti, sehingga dengan segera aku mencari paper bag yang kosong untuk menyimpan jaket kulit miliknya ini.

 

To: Kate

‘Aku akan tiba di tempatmu satu jam lagi’

From : Kate

‘Baiklah Ken. Hati-hati dijalan’

 

 


Seusai mengetik pesan dan membuka pintu mobil range rover hitam kesayanganku, segera aku pun masuk dan terduduk di kursi penumpang sedangkan Felix sudah siap pada posisinya di kursi pengemudi. “Kita akan kemana Nona” tanyanya.

“Mengunjungi kediaman keluarga Horan. Malibu Park Lane”

“Baik Nona”

“Berapa jumlah mereka Felix?”

“Totalnya 20 orang Nona” jawabnya, sontak membuat tatapanku yang tadinya tengah mengamati para bodyguard di belakang sana lantas tertuju kepadanya di kursi pengemudi.

Gila!

“Aku tidak ingin mereka semua mengikuti kita Felix” ucapku memperingatkannya dengan nada penuh ketegasan, sebab aku tak ingin menjadi pusat perhatian nantinya. “Hanya 5 orang yang ikut dengan kita Nona. 3 mobil termasuk kita, jangan khawatir..” jawabnya.

“Pastikan mereka selalu dalam pengawasanmu Felix”

“Baik Nona” sedikit bernapas lega setelah mendengarnya memberi perintah melalui alat di telinganya, barulah kemudian kami menuju ke kediaman keluarga Horan.

Hampir satu setengah jam menempuh perjalanan karena harus melewati kemacetan terlebih dahulu di hari weekend, kini tibalah aku di kediaman keluarga Horan. Di sambut hangat oleh beberapa bodyguard yang berjaga sekaligus di kawal oleh 6 orang bodyguard pribadiku termasuk Felix. Aku pun dengan sopan memerintahkan Felix untuk menekan bel di sisi pintu utama Mansion ini. 

“Selamat datang, Nona Kendall

Terimakasih, suster Ana jawabku seraya tersenyum.  

“Nyonya sudah menunggu kedatangan anda di ruangannya”

Mari saya antar ucapnya membuatku menganggukkan kepala dan langsung mengekor di belakangnya untuk menuju ke lantai dua tepat di hadapan pintu ruangan kerja Kate.

Tok..tok..tok

“Masuk”

“Hei Kate” sapaku.

“Saya permisi dulu Nona” selanya setelah Kate mengendahkan kepalanya asal ke arah kanan sebagai perintah. “Terimakasih Ana” jawabku.

“Silahkan masuk dan duduklah Ken” ujarnya yang aku segera patuhi dengan terduduk disalah satu kursi panjang yang juga diduduki oleh Kate, hingga kemudian mataku pun lantas tertarik  memperhatikan seisi ruangan ini secara detail. 

Banyaknya lemari kaca besar berisi obat, serta rak-rak tinggi yang terdapat buku-buku tebal di sisi kanan dan kiri. Semakin membuatku mengakui bahwa Kate memang seorang psikiater hebat seperti yang di beritakan banyak orang. Akan tetapi, aku pribadi justru lebih suka jika di tangani oleh anaknya yaitu Niall karena dengannya aku tidak harus khawatir jika nantinya resep obatku bertambah.  

Ken..

Kendall?? panggilnya yang mencoba menyadarkanku dengan menaik turunkan tangan kanannya dihadapan wajahku. “Ken, kau dengar aku?”

“Iya, aku dengar. Sorry..” jawabku.

“It’s ok”

Well, aku senang sekali akhirnya kau mau menerima undanganku untuk datang kesini” ungkapnya terdengar begitu senang akan kehadiranku disini.

Aku juga senang bisa bertemu denganmu Kate. Tapi, bisakah kalau kita langsung to the point saja? tuturku sambil memainkan jari tanganku yang saling bertautan, akan tapi tiba-tiba saja dia lantas menggenggam tanganku dan membawa kedalam pangkuannya.

“Dengar?! Kau tentu bisa langsung menceritakan apa pun masalahmu padaku Ken. Tapi, kau tidak perlu merasa gugup seperti ini” mengangguk patuh segera aku pun menarik tanganku dari genggamannya. “Kate..”

Aku mohon berikan aku solusi yang tepat?!”

Aku sudah bosan dengan semua masalahku yang tidak kunjung selesai hingga saat ini”

“Ak-aku…Aku juga tidak mau jika harus meminum semua obat-obatan sialan itu seumur hidupku Kate” keluhku begitu lirih dan sudah beruraikan air mata, kemudian di indahkan olehnya dengan mengangguk seraya meraih kertas dan menekan tombol pulpen untuk menuliskan sesuatu.

Perhatikan Ken…” pintanya yang sudah menggambarkan dua lingkaran diantara satu titik, sontak aku pun mengerutkan kening namun tetap memperhatikan.

“Sekarang, anggaplah posisimu adalah titik ini dan kau dipaksa untuk memilih satu diantara dua lingkaran berisi konsekuensi yang sama tetapi berbeda porsinya”

Lantas, manakah yang akan kau pilih? Lingkaran di depan atau di belakang titik?" tanyanya padaku dengan sungguh-sungguh tetapi tetap menyinggungkan senyum ramah, berbanding terbalik dengan aku yang lantas menatapnya lekat dan berpikir keras untuk menjawab pertanyaan darinya.

“Aku tidak mau ada konsekuensi apapun Kate”

“Jadi, aku tidak ingin ada dua lingkaran ini. Baik di depan atau di belakang titik” jawabku yang sudah lebih dulu merebut pulpen dari tangannya, kemudian mencoret dua lingkaran yang telah dia gambar di kertas. “Kita tau betul bahwa hal itu tidak akan mungkin bisa Ken”

“Kenapa tidak bisa?”

“Sebab, konsekuensi itu ibatkan semua obat-obatan yang memang sudah seharusnya kau konsumsi. Sedangkan porsinya ibarat dosis obatnya. Jadi, kemungkinan kita hanya bisa memperkecil dosis obatnya saja dan balik lagi semua itu tergantung pada apa yang menjadi pilihanmu”

“Ingin bergerak maju atau terus menatap mundur” tanyanya.  

“Lalu, apakah kau bisa menjamin bahwa porsi yang aku dapatkan akan sedikit jika aku memilih lingkaran yang ada di depan?” tanyaku berupa perumpamaan yang kemudian dia setujui dengan mengangguk. “Selama kau mau mengikuti semua aturan yang ada. Bagaimana?”

“Baiklah, kalau begitu aku akan memilih lingkaran yang ada di depan. Maksudku, aku akan bergerak maju” putusku.

“Itu pilihan yang bagus Ken”  

“Kalau begitu mulai detik belajarlah untuk memikirkan tentang dirimu sendiri terlebih dahulu, baru setelahnya kau boleh memikirkan tentang orang lain” mengangguk setuju atas saran yang baru saja Kate berikan, tangannya tanpa aba-aba kemudian menggenggam tanganku guna menyalurkan kekuatan. “Aku sudah menemukan jadwal yang tepat dan lusa adalah jadwal psikoterapi-mu akan dimulai. Bagaimana? Apa kau bisa?”

“Oke, aku akan datang” jawabku menyanggupi.

Beberapa jam telah berlalu, aku pun memutuskan untuk pamit dan memilih untuk melanjutkan perjalanan ke tempat selanjutnya yang akan aku kunjungi. Hampir setengah jam sudah dalam perjalanan, akhirnya tibalah aku di restaurant Nobu dan tidak lupa untuk membawa paper bag berwarna hitam yang berisi jaket kulit miliki Harry.

20.05 PM. Semoga saja dia datang dan mau menunggu.

Menemukan sosoknya tengah berada di area outdoor dan nampak asik memandangi hamparan bintang di langit serta berteman dengan dinginnya udara malam ini, membuatku tidak ingin menganggu waktunya dan lebih memilih untuk menunggu serta mengamatinya dari meja yang ada di area indoor restaurant.

“Kita disini saja Felix” ucapku.

“Baik Nona”

Yakin bahwa dia tidak sedang baik-baik saja karena berulang kali menenggak botol minuman dengan cepat seolah seperti orang yang sedang kehausan, pada akhirnya aku pun memilih bangkit dan menghampirinya seorang diri namun tetap mendapat pengawasan dari para bodyguard-ku dari kejauhan.  

“Brengsek!”

Dasar kau wanita tidak berperasaan! umpatnya begitu lantang seraya menenggak kembali botol minuman dalam genggamannya dan sontak hal itu membuatku terkejut serta bertanya-tanya, namun tidak sampai menghentikan langkahku untuk menuju ke sisinya.

“Apa kau sedang mengumpat kepadaku?”

“Kau?!” gumamnya begitu terkejut melihat kehadiranku, tetapi aku lantas tersenyum dan melambaikan tangan kearahnya. “Hei Harry”

“Apa aku membuatmu menunggu lama?” tidak mendapati jawaban apapun darinya, dengan jengah aku berdengus remeh seraya mengulurkan paper bag berisi jaket hitam miliknya. “Ini ambillah..”

“Aku rasa saat ini kau sangat membutuhkannya”    

“Jaket?” ucapnya yang terlihat kebingungan ketika membuka paper bag yang aku berikan. Namun, aku paham bahwa itu semua karena efek dari minuman beralkohol yang baru saja dia konsumsi secara berlebihan. Astaga!

Baiklah, aku tidak ingin terlibat dalam masalah setelah ini.

“Aku harus pergi”

Well, besok pagi mungkin kau akan mengingatnya” kataku seraya menepuk pundaknya, karena tidak berniat untuk menjelasakan dari awal kenapa aku mengembalikan jaket miliknya.

“Tunggu” pintanya tepat setelah aku mengambil satu langkah untuk pergi dari sisinya, sehingga tatapan kami pun akhirnya bertabrakan dan dapat aku lihat ada kehancuran di iris mata hijaunya.

Oh my goodness! Tidak seharusnya dia menunjukkan kehancuranmu padaku. Terlebih, jika itu akibat dari hubungannya dengan Gigi yang sudah pasti akan berkaitan juga dengan Zayn.

Demi Tuhan, aku bahkan sudah tidak ingin mengetahui kabar apapun tentang mereka. Telebih, setelah terakhir kali aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana cara keduanya bersikap di tengah kehancuranku saat di London.

Padahal jelas-jelas Zayn mengetahui bahwa aku juga berada disana, tetapi dia justru lebih mementingkan Gigi yang jelas-jelas memiliki Harry dari pada aku- ibu dari Paris. Dan demi Dewa Zeus, jangan sesekali mengumpamakan kekecewaanku ini sebagai rasa cemburu karena kedekatannya dengan Gigi.

Jangan harap!  

Sorry, tapi aku tidak memiliki banyak waktu Har” alibiku seraya mengambil satu langkah mundur dan secara sepihak aku lantas memutus tatapan kami.

“Wanita dan alasannya” sindirnya seraya berdengus remeh.

“Lalu, apakah kau datang kesini hanya untuk mengembalikkan jaket ini saja?”

Sial! Apa dia menyadari bahwa aku memang sengaja menghindarinya?

“Hei, Hello?!”

“Aku sedang bertanya padamu?!”

“Kenapa kau hanya diam?” menghela napas gusar karena enggan menjawab apa yang baru saja dia tanyakan, seketika dia pun mengulurkan botol minuman ber-alkohol miliknya padaku.

Astaga! Apa apaan dia!

“Temani aku..”

“Aku tidak ingin patah hati sendirian” terkejut sekaligus meninggikan sebelah alisku karena perkataannya, dengan kesal aku pun menyerahkan kembali botol minuman ini kepadanya sebelum pembahasannya terlalu jauh dan aku kembali dibuat kecewa karena mendengar penjelasannya tentang dua manusia itu. “Hei kau mau kemana!”  pekiknya.

“Ke neraka!” sarkasku seraya kembali melanjutkan langkah memasuki area indoor dan tidak menghiraukan dirinya yang sedang terbahak-bahak dan nyaris terkencing di celana mungkin.    

Dasar tidak waras! 

Komentar

Postingan Populer