DIRTY BUSINESS - 13
Keluar dari toilet, telingaku lantas disambut oleh suara-suara tawa disertai tautan tepuk tangan yang begitu meriah dan juga terasa bergema hingga memenuhi seluruh isi ruangan gedung ini. Langkahku yang kemudian terhenti, membawa pikiran dan hatiku dipenuhi tentangnya sekaligus menginginkan keberadaannya untuk bisa mendampingiku ditengah-tengah keramaian ini lagi seperti dulu.
Mustahil memang
berharap Louis bisa hadir di acara yang sesungguhnya diselenggarakan untuk
memperingati 2 tahun akan ketidaannya lagi di dunia ini. Terlebih, dahulu
hubungan kami berdua berakhir dengan tidak baik dan jujur saja karena hal itu
membuatku kemudian benci pada diriku sendiri hingga detik ini. Sebab, saat itu
diriku tidak mampu untuk menahan perasaanku terhadapnya.
Gila!
Memang!
Sebagian orang
bahkan menganggapku demikian semenjak Louis membatalkan prosesi pernikahan kami
secara sepihak, hingga kemudian dia berakhir pergi dari hidupku perlahan dan untuk
selama-lamanya dengan kesalahan yang selalu aku perbuat. Sehingga satu-satunya
cara menutupi semua itu dari hadapan semua orang adalah dengan menghindari publik,
sebab menghilang dari dunia ini rasanya terlalu sulit karena aku selalu kembali
lagi ketika sudah berusaha untuk mengakhiri.
Ting…
From: Mom
‘Get out
and come back to the hotel now!’
From: Mom
‘Don’t go
back inside’
Ada apa? Kenapa tiba-tiba dia
menyuruhku untuk pergi dari acara ini tanpa dirinya?
Dor...dor.. dor..dor..
Terkejut
dan seketika menjatuhkan ponsel serta clutch
bag dari genggamanku karena mendengar suara tembakan ke udara, tidak banyak
yang bisa aku lakukan selain diam terpaku. Di dominasi oleh suara kepanikan
orang-orang serta ada beberapa dari mereka berlarian mencari perlindungan, memberi
efek cukup berpengaruh terhadap diriku.
“…Tenang
semua”
“…Diam
di tempat kalian masing-masing dan jangan ada satu orang pun dari kalian yang bergerak!”
“…Ruangan
ini sudah di blokir oleh anggota kami”
“…Tidak
akan ada akses untuk jalan keluar”
“…Berdasarkan
laporan yang telah kami terima, pada siang hari ini dikota London akan ada transaksi
ilegal berupa narkotika yang dilakukan oleh beberapa pengusaha nakal dan kami
curigai mereka memanfaatkan keberlangsungan acara besar untuk melakukan aksi
tersebut”
“…Saya,
pimpinan dalam satuan tugas cabang keamanan nasional FBI. Meminta semua orang
disini untuk bekerjasama dan koperatif”
Begitu
mengetahui siapa mereka sebenarnya, kakiku pun lantas lemas dan kepalaku seketika
terasa berputar hebat. Merasa dejavu sekaligus ketakutan, siapa sangka diambang
tatapanku yang mulai meremang justru aku menemukan keberadaannya di ujung kiri
sana.
Namun,
harapanku atas dirinya justru hanyalah angan ketika dia dengan sukarela
menenangkan wanita itu dalam pelukannya padahal sudah ada pria beriris mata
berwarna hijau disebelahnya. Dan siapapun yang melihat mereka, pasti akan dengan
senang hati berkata bahwa mereka itu tengah terlibat cinta segitiga.
Lebih
tertarik memikirkan diriku sendiri, besamaan dengan itu aku pun berusaha memasukkan
kembali barang-barangku kedalam clutch
bag. Akan tetapi, sialnya botol obatku terbawa oleh langkah kaki mereka
yang panik mencari perlindungan.
Brengsek!
Jangan sekarang!
Mengabaikan
botol obatku disana dan lebih memilih bersandar didekat pilar besar, usapan
tanganku di dada nyatanya tidak cukup berpengaruh untuk mengurangi rasa sesak
dan juga mual yang tiba-tiba menyerang perutku.
Jika
biasanya aku meluapkan kesakitanku dengan berteriak, kali ini aku seperti tidak
punya keberanian untuk melakukan hal demikian ketika mengingat dimana aku
berada sekarang. Hal ini pun membuat bayangan akan sosoknya, kian nyata dalam
pandanganku saat ini seolah begitu menuntut untuk diingat kembali.
Tidak!
Aku tidak ingin mengingatmu lagi!
Pergi!
Jangan menggangguku!
Banjir
akan air mata dan terus menekan erat kepalaku dengan kedua tangan, tidak
membuat sosoknya pergi dari pikiranku dan justru semakin menarikku masuk
kedalam jurang gelap yang sekali lagi akan membuatku kembali menyakiti diriku sendiri hingga ke dasar.
Flashback
on
Besarnya amarah yang menguasai hati dan pikiran, nyatanya
mampu membuat keputusan yang telah aku buat terasa seperti sebuah penyesalan. Sebab,
jika tadinya aku berpikir dengan aku membalas perbuatannya padaku. Aku bisa
membuatnya menyesal dan kembali. Namun ternyata semua itu salah.
Di sudut sana dia justru tersenyum penuh kebahagiaan bersama wanita yang menjadi lawan mainnya
disebuah film. Sangat berbanding terbalik dengan apa yang tengah aku rasakan
saat ini. Satu-satunya hal manis yang selalu aku ingat tentangnya adalah dia
selalu mampu membuatku bahagia dan menangis di saat yang bersamaan.
Dia selalu
berhasil membangkitkan harapan-harapan besar, lalu menguburkannya tanpa
perasaan. Dia selalu mampu merekatkan puing-puing rinduku, lalu
menghancurkannya dalam hitungan menit. Dia selalu bisa membuatku mencintainya,
lalu mematahkan hatiku tanpa ampun. Dan bodohnya, aku tidak pernah mampu untuk
membencinya.
Ini adalah
perasaan dan kisah teraneh yang pernah aku alami. Sebab, aku selalu saja
mencintainya dengan sepenuh hati meskipun aku tau bahwa akhirnya hanya akulah
yang tertatih-tatih demi meminta kejelasan status yang pasti dan
kesungguhannya.
Merindukan
dengan seluruh rasa, walaupun kenyataannya semua melenceng jauh dari yang
diharapkan. Sudah tau tidak mampu memiliki, namun merasakan kehilangan yang
teramat dalam.
Bukan
siapa-siapa lagi, tetapi menangis tersedu-sedu oleh pengkhianatan yang tidak
bisa di katakan pengkhianatan pula. Bahkan, rasanya luka yang dia torehkan saja
masih belum sembuh. Dan dengan teganya, dia justru menambah dengan mengubar
kemesraan secara terang-terangan di depan mataku. Dan dia adalah Louis, mantan
calon suamiku sekaligus aktor berbakat yang selalu dikagumi banyak orang.
Asshole!
Menenggak
satu gelas terakhir dan memilih melangkah pergi meninggalkan ruangan yang
berhasil membuat dadaku sesak. Tidak lupa aku meraih clutch bag merk chanel berwarna biru
dengan design crocodile alligator dan mengenakan kembali sarung tangan berwarna putih berbahan kulit.
Berjalan
dengan sedikit terhuyung karena terlalu banyak menenggak tequila dan
lantas menolak tawaran mereka untuk di kawal keluar dari club ini. Seketika aku tergejolak kaget
karena puluhan flash dari kamera para paparazzi yang
secara tiba-tiba mengarah padaku dan berhasil menyilaukan pandangan serta
menjadi memblokir aksesku untuk masuk ke dalam mobil.
Hal
seperti inilah yang selalu aku hindari semenjak gagal menikah. Sebab, aku
merasa sudah benar-benar jengah mendengar pertanyaan-pertanyaan spontan yang
tidak pernah bosan mereka ajukan mengenai aku dan Louis. Seolah-olah mereka
masih saja menutup mata akan masalah yang pernah terjadi antara aku dan dia,
sehingga emosiku rasanya benar-benar sudah memuncak dibuat mereka saat ini.
“Back off guys”
“Back off”
“Beri
Kendall jalan…” ucapnya membuatku batal meraih kamera salah seorang paparazzi yang
tak jauh dariku. “Mobil kita disana Nona”
Mengangguk
paham dengan sigap dia pun merengkuhkan tubuhku kedekatnya untuk menerobos
menjauh dari mereka. Sehingga, tepat ketika mobil ini melesat pergi
meninggalkan tempat tersebut barulah seluruh amarah dan tangisku pecah.
Meremas tangan
kuat dan sesekali menekan dada serta kepalaku yang kini benar-benar pening
karena terus mengingat bagaimana tadi dia tersenyum dengan lepas tanpa perduli
keberadaanku di ruangan yang sama dengannya. “Apa anda baik-baik saja Nona?”
tanyanya.
“Menepilah
Felix” jawabku membuatnya kemudian mengangguk setuju dan menepikan mobil. “Ada
apa Nona?”
“Felix, aku
ada urusan sebentar”
“Kau kembalilah
ke penthouse menggunakan taxi”
ucapku.
“Tapi Nona… Tidak
baik berkendara dalam keadaan mabuk”
“Lagi pula, Tuan
Brian telah berpesan agar jangan sampai membiarkan Nona mengemudikan mobil
seorang diri”
“Felix”
geramku seraya memberikan tatapan penuh peringatan padanya, hingga terdengar samar
dia berdengus nafas secara kasar kemudian melepas seat belt. “Baiklah
Nona”
“Tapi, kemana
anda akan pergi?” tanyanya.
“Aku akan mengunjungi
Mansion”
“Dan tolong kalau
nanti ayahku menghubungimu. Sampaikan ucapan permohonan maaf dariku, karena aku
tidak bisa menuruti perintahnya untuk ikut penerbangan malam ini” mendapati
sebuah anggukan pasrah darinya, aku pun lantas mengambil alih kemudi dan segera
melajukan mobil seorang diri.
Terus memaki
dirinya dengan tersiak tangis yang semakin menjadi selama perjalanan menuju Mansion, tidak henti tanganku pun ikut
melampiaskan kekesalan dengan memukul stir kemudi ini berkali-kali setelah
lebih dulu menginjak pedal rem.
Sialan!
Bisa-bisanya dia bersikap tidak memperdulikan aku sama
sekali tadi. Bastard, brengsek!
Memasuki bangunan
berwarna putih yang seharusnya menjadi tempat tinggal kami di masa depan, sesekali
aku tersenyum pedih dan berdecih sendiri ketika mengingat dia menjanjikan
kebahagiaan akan selalu tercipta disetiap ruangan dalam Mansion ini.
Omong kosong!
Berjalan kearah dapur seraya menikmati lintingan ganja yang
memang selalu kami stock bersama di Mansion ini, rasanya pelepasanku pun
semakin lengkap ketika menyesap segelas martini. Menikmati rasanya yang netral dan versatile, sensasinya pun semakin
terasa ketika aku membiarkan kumpulan asap dari lintingan ganja terlepas
keudara.
Akan tetapi, ditengah pelepasanku. Tatapanku tertarik untuk
melihat kearah kotak berwarna hitam dengan pita merah yang ada di atas meja
panjang dan terhalang oleh bingkai foto-foto kami. Membuka kotak yang ternyata
berisi anting berlian, senyumku pun lantas merekah ketika selembar kertas
didalam kotak ini bertuliskan namaku.
Belum sempat membaca isi surat tersebut karena suara pintu
yang terbuka sedikit mengusikku, aku pun memilih untuk lebih dulu berjalan menghampiri
kearah asal suara pintu berada. Ditengah kegelapan malam, seketika kabut penuh
amarah pun muncul saat melihat lebih jelas Louis dan wanita itu memasuki kamar.
Brengsek! Beraninya dia
membawa orang asing ke dalam Mansion ini.
Tergesa menyusulnya dengan langkah gontai akibat masih dalam pengaruh
alkohol. Tubuhku pun hanya bisa diam terpaku di tempat ketika melihat tautan
bibir di antara mereka yang kelewat panas. Berulang kali mendapatinya seperti
ini dengan wanita lain, berulang kali pula hatiku dibuat hancur berkeping-keping
olehnya.
Tidak mampu lagi membendung air mata karena terlalu sakit memikiran hal
negatif tentang adegan apa selanjutnya yang akan keduanya lakukan di
dalam sana setelah ini. Tatapanku pun jatuh kearah lemari kaca yang menjadi tempat penyimpanan benda mengerikan itu. Karena sudah
terbakar cemburu, pada akhirnya aku pun meraih benda tersebut dan menyembunyikannya
di balik punggungku.
Beginikah akhir yang kau pilih untuk cerita kita L?
Brengsek!
Sudah dua
tahun lebih aku berusaha mati-matian untuk memperbaiki semua kekacauan yang
telah terjadi diantara aku dan dia, tanpa pernah perduli sekalipun kalau aku
yang harus terlihat mengemis padanya.
Serta
hampir selama itu juga aku selalu saja menyingkirkan rasa kekecewaanku sendiri,
tanpa pernah dia mengerti bahwa aku merelakan harga diriku sendiri agar dia
menyesal dan berakhir kembali padaku. Justru, kini aku di tampar pada kenyataan
yang sesungguhnya bahwa dia tidak akan pernah bisa berubah.
Benar-benar,
Brengsek!
Prak...
Sialan!
Mengumpat kesal seraya mengutuk diriku sendiri, karena siku
tanganku tidak sengaja menjatuhkan vas bunga. Dengan senang
hati aku pun segera menunjukkan kehancurkanku dihadapan dirinya.
“Kendall?” ucapnya yang memanggil namaku dengan wajah
terkejut, membuat hatiku rasanya begitu remuk luluh lantah ketika melihat
wanita dibawah kukuhannya kini hanya mengenakan pakaian dalam.
Menjijikan!
“Apa yang kau
lakukan disini?”
Telah dipenuhi
perasaan kecewa yang sudah menumpuk, segera aku pun jawab pertanyaannya dengan
menampar keras pipinya hingga sudut bibirnya berdarah dan membuat tanganku
bergemetar hebat karena merasakan kesakitan yang sama dengannya tepat didadaku.
“Seharusnya aku yang bertanya hal itu padamu L”
“Apa sebenarnya yang ada dipikiranmu, sampai kau berani
membawa jalang itu memasuki kamar tidur kita!” tanyaku seraya menangis terisak
dan menatapnya kecewa.
“Dengar” pintanya, tetapi aku lantas beraksi menepis
tangannya yang ingin menggenggam tanganku.
“Tidak!”
“Aku tidak mau mendengar apapun dari mulutmu!”
“Dan kau! Pergi kau dari sini!” usirku seraya berjalan kearah
ranjang dan menarik tangan si wanita berambut pirang ini. Namun, Louis justru
menghalanginya dengan menarik tanganku. “Ayo, aku antar kau pulang” ajaknya.
“Tidak! Aku akan tetap disini”
“Ini juga rumahku!” bantahku seraya menepis tangannya.
“Kamu mabuk Ken. Dan aku tidak ingin berdebat denganmu dalam
keadaan seperti ini” ungkapnya.
“Dan dengan terus-terusan menghindariku apakah itu akan
menyelesaikan segalanya L?” tanyaku begitu putus asa.
Sebab, sudah hampir beberapa bulan pasca aku pulih dari
kecelakaan yang terjadi dihari kami gagal menikah. Dia justru kembali menjauh, padahal
sewaktu aku berada dalam masa kritis dialah yang memintaku untuk pulih. Astaga!
Haruskah aku menyesal karena
telah kembali pulih?
“Kita sudah selesai Kendall. Sudah tidak ada lagi yang perlu
diselesaikan dan saling menghindar adalah pilihan yang terbaik untuk kita
kedepannya” menggelengkan kepala karena tidak setuju dengan penjelasnnya, aku
pun lantas meraih kedua tangannya.
“Aku mohon jangan seperti ini L”
“Kau bilang saja, aku harus bersikap bagaimana agar kita bisa
kembali seperti dulu. Aku janji, aku pasti akan langsung menuruti keinginanmu
itu” bujukku memohon.
“Sudahlah, ayo aku antar kau pulang” ucapnya yang sama sekali
tidak menjawab penawaran dariku dan lebih memilih mengenakan kembali kemeja
biru tuanya. “Katakan. Apa yang kurang dariku L?”
“Kenapa kau selalu menyakitiku dengan memilih wanita lain
untuk melampiaskan hasratmu? Kenapa tidak denganku saja yang sudah jelas bersedia
menyerahkan segalanya untukmu!”
“Kenapa L?” tanyaku dengan nada seoktaf mungkin, membuatnya kemudian
berhembus napas kasar seraya mengusap wajahnya. “Hubungan kita sudah berakhir
Ken. Sadarlah”
“Tapi aku tidak ingin kita berpisah L” tekanku sekali lagi.
“Cobalah bersikap rasional dan pikirkan bagaimana perasaan pria
yang sedang dekat denganmu akhir-akhir ini Ken?!” peringatnya membuat
kesedihanku sedikit terobati karena ternyata dia mengetahui berita tentang aku yang keluar dari hotel
dengan pria misterius.
“Aku akan
menghubungi Felix untuk menjemputmu” ucapnya seraya sibuk menautkan ponsel
kearah daun telinga, hingga aku lihat matanya terfokus menatap layar ponsel dan
tangannya juga sibuk mengetikkan sesuatu. “L?”
“Apa lagi
Ken?”
“Kenapa kau
membawanya kesini?” tanyaku seraya mengamati wajah wanita di sisinya itu yang
hanya bungkam sedari tadi.
Hingga di
detik selanjutnya kembali hatiku benar-benar terasa di hantam batu besar,
karena dia lantas mengusap pucuk kepalaku dengan gerakkan asal seperti yang
selalu dia lakukan ketika aku mulai terbakar cemburu. Dulu!
“Namanya
Parrie, Ken”
“Aku tidak
mau tau. Dan lagi pula, bukan itu yang sedang aku pertanyakan L” koreksiku sedangkan
dia kemudian mengangguk mengerti. “Ini juga rumahku Ken”
“Jadi, aku
pikir aku juga berhak untuk membawa siapapun kesini termasuk Parrie yang
sebentar lagi akan menjadi istriku” jelasnya dengan begitu gampangnya, membuat
lututku seketika tidak lagi mampu menopang bobot tubuhku sendiri dan mencoba
mencari sesuatu untuk menjadi pegangan.
Menepis
tangannya yang mengulurkan bantuan untukku berpegangan, sungguh tidak kuasa
lagi aku menyembunyikan perasaan sedih dan marahku atas apa yang baru saja dia
ucapkan. Mendengar pemberitaan mengenai kedekatannya dengan banyak wanita
setiap hari saja sudah berhasil membuatku hilang akal, lalu sekarang? Bagaimana
mungkin aku bisa bertahan jika mendengar kabar bahagia mengenai rumah tangganya
nanti setiap hari, yang sudah pasti akan menjadi bencana bagi jiwaku. Tidak!
“Saksikan dulu
kematianku kalau kau memang menginginkan pernikahanmu dengan wanita ini tetap
terjadi” ancamku yang sudah banjir air mata dan menatapnya dengan
sungguh-sungguh karena saat ini aku telah terbakar amarah. “Jangan mengancamku”
katanya.
“Aku serius L!”
tekanku mengingat dahulu ancamanku selalu berhasil dan dia lantas begitu putus
asa sekaligus merasa bersalah setelah aku benar-benar menyakiti diriku sendiri
pada akhirnya. “Kali ini ancamanmu tidak berlaku untukku Ken” tentangnya.
“Lebih baik
kau menghadiri saja acara pernikahanku dengan kekasih barumu, karena aku tidak
akan pernah mau menunda pernikahanku hanya karena upaya bunuh dirimu nanti”
bagaikan terperosok jatuh kedalam jurang yang curam ketika dia menyatakan hal
demikian, dengan lirih aku berusaha tegar seraya mengangguk.
“Kalau begitu
berbahagialah atas berita kematianku nanti” kataku yang lantas mengambil
langkah menuju pintu keluar Mansion ini tanpa mengucap pamit
atau sekedar berbalik melihat wajahnya
“Ken”
panggilnya yang tetap aku abaikan.
“Louis,
sudahlah biarkan dia menenangkan dirinya” cegah Parrie yang masih terdengar
jelas olehku.
Dasar jalang! Pintar sekali dia memanfaatkan situasi.
Perkara cinta
ibarat dua sisi mata uang, yaitu bisa menjadi yang paling berbahagia atau
justru merasa paling menderita karenanya. Dan katakanalah, bahwa aku teramat
egois dan terlalu buta akan perasaan cintaku kepadanya saat ini. Tetapi
sungguh, aku hanya tidak ingin dia kebagian merasakan sakitnya di kecewakan dan
di khianati nantinya.
Aku mencintai
dia melebihi apapun, bahkan aku rela menjadi orang paling berbeda atau bodoh
sekali pun hanya untuk dan demi dia. Aku mencintainya seperti detak dan detik
pada jam dinding, jika suatu saat aku berhenti maka itu hanya karena aku mati.
Ada rasa
sakit yang melekat dan membuatku kembali terisak. Karena ya, aku berbohong saat
berkata bahwa aku akan mencoba melupakannya. Walaupun aku sadar, bahwa
bersamaku lebih lama mungkin malah akan melukainya lebih banyak lagi.
Memilih
melepas tangis dengan bersandar pada batang pohon besar dan menyatukan
kesedihan dengan dinginnya malam, dapat aku lihat dari sini keduanya nampak
masih terdiam disana saling merangkul satu sama lain dan menatap kearahku
disini.
Jantungku pun
terasa berdetak sangat cepat dan nafasku terasa berburu, ketika tanganku meraih
benda ini dari balik badanku. Mencoba mengangkat benda ini dengan perlahan
karena tanganku benar-benar gemetar, peluh keringat pun perlahan mulai
membasahi dahi juga telapak tanganku yang kini sudah menggenggam erat benda
ini.
Dor...
Dor..dor..dor..
Dor..dor..dor..dor..dor…
“Akhhhhhhh……”
mendengar jeritan kesakitan
dari suara yang sangat tidak asing, membuat kesadaranku tersentak untuk membuka
mata seraya menurunkan tanganku dan membuatku melepaskan pistol Revolver jenis Ruger
Super Blackhawk 44 Mag dari genggaman.
Menutup
kembali mataku dengan kedua telapak tangan seraya menjatuhkan lututku bersatu
dengan tanah, terdengar suara derap langkah cepat dari arah belakangku.
Menoleh
kearah belakang seraya melihat sekelebat bayangan hitam berlalu kearah yang
lain, seketika itu juga aku bangkit dan ketika ingin mengikuti bayangan
tersebut. Suara raungan penuh kesakitan itu justru kembali terdengar, membuatku
bimbang ingin memilih melangkah kearah yang mana. “Siapa itu”
“Siapa
disana?” tanyaku memastikan dan sama sekali tidak mendapati sebuah jawaban,
sehingga aku lebih memilih untuk kearahnya disana.
Terbelalak
karena ada aliran darah yang mulai berceceran akibat lepasan timah panas dari
tembakan membabi buta yang baru saja aku arahkan, air mata ku pun lantas lolos
ketika melihat keduanya sama-sama tengah meregang nyawa di dekat pintu.
Dengan
pikiran mengawang serta mual tidak tertahankan karena bau anyir darah, aku
tetap memaksa berlari walau lunglai kearahnya dan bersimpuh. Meletakkan kepalanya
untuk bertopang diatas pahaku seraya menangkup wajahnya, dadaku seketika terasa
sakit ketika mendapati darah segar kian mengalir semakin deras tepat dibagian
kiri di bawah dadanya.
Mengecup
dahinya berulang kali karena rasa takut lebih mendominasi diriku, seketika aku
rasakan tangannya yang kini terasa dingin mengusap lemah pipiku kemudian aku
lantas menggelengkan kepala dan menggengam erat tangannya yang kini ada
dipipiku karena dia mengerang kesakitan. “I’am
so sorry..” ungkapku.
“A-ak-aku
benar-benar tidak sengaja L”
“Aku tidak
bermasud menyakitimu. Aku hanya ingin memperingatinya saja agar tidak lagi
bersamamu. Aku cemburu L, sangat cemburu” jelasku lirih seraya menatapnya
dengan tatapan mengabur, karena phobia-ku
akan darah. “I know. Sekarang
pergilah Ken”
“Aku akan
menghubungi 911” kataku sibuk mencari ponsel didalam clutch bag, namun tidak kunjung kutemukan karena tanganku yang
sialannya bergemetar hebat. “Pergi Ken”
“Jangan
perdulikan aku” pintanya seraya menggeram menahan rasa sakit. “Tidak L”
“Aku tidak
mau!”
“Aku mohon segeralah
pergi dari sini dan bawalah Parrie bersamamu Ken. Please?” ucapnya dengan nafas tersenggal-senggal dan mulai
mengeluarkan banyak darah dari mulut serta hidung, membuat tanganku semakin
gemetar dan membawa kepalanya dalam pelukkan seraya menempelkan dahiku dengan
dahinya tepat ketika dia mulai menarik panjang nafasnya. “No..No…!”
“Aku mohon
jangan tutup matamu Louis” teriakku panik seraya menggeleng guna memohan lalu
mengguncang tubuhnya dalam pelukkanku dengan terisak dan meraung sejadinya, serta
tidak hentinya aku mengecup sekujur wajahnya yang sudah memucat dan hal inilah
yang kemudian mengalirkan rasanya sakit hingga ke ulu hati dan sulit
untukku bernafas dengan normal.
Sehingga
ketika kepanikkan sudah mengacaukan seluruh pikiran dan rasa takut sudah
berhasil mempengaruhi hatiku, kepalaku pun kian berputar begitu hebat
setelahnya. Membuat seluruh pandanganku sedikit menggelap, tetapi aku tetap
berusaha berteriak permintaan tolong walaupun dengan suara yang terdengar parau
dan merasakan adanya tepukan di bahuku dari arah belakang.
“Kendall”
panggilnya membuatku lantas menoleh kearahnya yang menepuk bahuku dari arah
belakang. “Masuklah. Sudah malam dan kau harus banyak beristirahat”
“Aku sudah
baik-baik saja Mom”
“Kau bisa
mengatakan hal itu nanti setelah kau melakukan terapimu. Tidak sekarang”
koreksinya seraya mengeluarkan ponsel dari dalam tas hermes hitam yang terlingkar anggun dilengannya dan menghela napas
lelah setelah membaca sesuatu di ponselnya. “Ada apa?” tanyaku.
“Aku harus
pergi” jawabnya tanpa disertai alasan.
“Tidak
menginap saja?”
“Masih ada
banyak kekacauan yang harus aku bereskan dengan segera. Well, aku harap kau mau bekerja sama” ujarnya yang aku balas dengan
mengangguk setuju, karena setelah kemarin kepulanganku dari rumah sakit. Dia telah
memperbolehkan aku untuk kembali menetap di Mansion
pribadiku ini.
“Para media
pasti sedang sibuk membicarakanku saat ini”
“Tidak perlu
memikirkannya. Fokus saja pada proses penyebuhanmu Ken” ucapnya tanpa
menghentikan langkah untuk bisa sampai di dekat pintu kamar. “Aku dan ayahmu
sepakat menambah beberapa bodyguard untuk
menjagamu. Jadi, aku tidak ingin
mendapat laporan kalau kau mengacaukan tugas mereka. Mengerti?”
“Iya Mom” jawabku menyetujui seraya
membukakannya pintu kamar. “Sampaikan
salamku untuk Daddy”
“Akan aku sampaikan
nanti. See you” putusanya.
Menikmati
malam pergantian tahun hanya di Mansion
pribadiku sambil menatap bangunan kota Los Angeles dari teras, karena rencana
kami sekeluarga untuk berlibur bersama keluarga Horan batal akibat kejadian
tidak mengenakkan yang menyebabkan aku mengalami serangan panik tepat beberapa
hari lalu ketika berada di London.
Sunyi pun tetap
menjadi teman paling sejati untukku di kala sedang menghadapi saat-saat seperti
ini. Meringkuk nyaman seorang diri sebagaimana yang sudah-sudah, tidak banyak
yang bisa aku harapkan akan kesehatan mentalku setelah kemarin ibuku mengatakan
bahwa resep obat-obatanku kembali bertambah.
Memuakkan!
Pukul 12
malam telah berlalu, dengan segera aku menekan remote control untuk menutup gorden
kamar dan meminum obat tidur bersamaan dengan beberapa obat lainnya. Sekilas
menatap ke arah ponsel yang sudah beberapa hari ini tidak aku sentuh dan
dibiarkan begitu saja di atas nakas, dengan penuh keyakinan aku pun tetap mengabaikan
ponselku dan memilih merebahkan tubuhku di ranjang queen size hingga akhirnya terpejam.
Enam hari
sudah aku menyibukkan diriku sendiri dengan mengurus urusan butik dari rumah
serta merawat tanaman-tanaman di halaman Mansion.
Selama itu pula, aku healing dari
media sosial atau pun media elektronik lainnya dan berkomunikasi dengan Paris
hanya melalui sambungan telepon milik Felix.
Menerapkan
cara-cara demikian berdasarkan buku kesehatan mental yang beberapa hari ini
sedang aku baca, nampaknya membuatku merasa telah baik-baik saja sekarang. Walaupun
memang tidak akan pulih seratus persen, tetapi setidaknya cara yang aku lakukan
ini adalah permulaan yang baik untuk kesehatan mental juga kesetabilan emosiku.
Mengidap PTSD (Posttraumatic Stress Disorder) dalam
fase setelah kritis dengan periode yang berlangsung lama, menjadikan suatu
trauma yang aku alami semakin cepat di bandingkan pengalaman terdahulunya
ketika kejadian trauma itu sendiri kembali terulang. Sehingga, memang
satu-satunya cara untuk bisa memulih adalah dengan mengkonsumsi obat-obatan
yang dibarengi dengan melakukan psikoterapi atau terapi.
“Kendall”
panggilnya yang nampak berjalan kearahku dengan menjinjing dua paper bag berisikan makanan siap saji
dari restaurant favorite kami, Craig’s.
“Apa yang kau bawa Hails?”
“1 box, Scallops berisi parmesan, truffle, mushroom and
spring vegetable risotto. Dan 1 box, Meatloaf
berisi Mashed potatoes, vegetable,
and gravy” tuturnya berhasil membuatku tergiur dan menutup buku kesehatan
mental yang sedang aku baca. “Pilihlah satu untukmu” timpanya.
“Aku scallops saja” putusku.
“Berat
badanmu tidak akan meningkat drastis kalau hanya memakan satu porsi daging Ken”
ejeknya yang berlalu kearah dapur untuk mengambil minum, piring dan juga
sendok.
“No thank’s” yakinku seraya mengeluarkan box makanan dari dalam paper
bag.
“By the way, Ken. Photographer yang beberapa waktu lalu kau rekomendasikan itu sudah
resmi menandatangani kontrak kerjasama dengan kita dan dia juga tidak keberatan
memotretmu untuk majalah GQ besok”
“Sungguh?”
tanyaku yang masih begitu tidak percaya seraya menerima piring yang dia
ulurkan. Mengangguk atas pertanyaan dariku, Hailey pun lantas mengambil posisi
duduk disebelahku. “Tapi dia tidak memiliki ponsel. Itulah masalahnya Ken”
“Kita masih
bisa menghubunginya melalui email Hails, tenanglah. Lagi pula, bukankah kau
telah memberitahu kapan waktu kerjanya dimulai dan berakhir?”
“Iya kau
benar. Bahkan, perkataanmu ini sama dengan pesannya padaku bahwa selama kita percaya
dengan kemampuannya dan tidak membuatnya menunggu lama di lokasi. Dia pasti
akan melakukan tugasnya dengan baik”
“Dia berkata
seperti itu?” mengangguk atas pertanyaan yang baru saja aku berikan, seketika
aku pun berdengus remeh karena tidak sabar melihat bagaimana rupa dari si pria
sombong yang akan menjadi bagian dari team kerjaku nanti. “Apa salahnya
menungguku? Aku bosnya disini” lanjutku.
“Entahlah,
tapi menurutku dia punya standard kedisiplinan
yang cukup kritis. Tepat seperti ucapanmu barusan, bahwa dia akan mengerti
waktu kerjanya tanpa perlu kita ingatkan” ungkapnya yang aku hiraukan dan lebih
memilih menikmati menu yang dia pesan dari restaurant
favorite kami. “Aku berharap dia yang telat nanti”
“Mana mungkin
dia melanggar aturannya sendiri”
“Apakah kau
ingin aku membuktikan bahwa ucapanmu barusan itu bisa menjadi mungkin?” tawarku
membuatnya seketika menatapku begitu horror. “Astaga, singkirkan ide nakalmu
itu Ken. Jangan mempertaruhkan kerjasama kita hanya karena kau ingin membantah
ucapanku” protesnya, membuatku tertawa lepas seraya mengandahkan kedua bahu
acuh.
“Kita liat
saja nanti” putusku.
Selesai
menikmati santap siang bersama, Hailey kemudian kembali sibuk dengan urusannya
sendiri dan aku memilih pergi mandi karena tertarik untuk menerima tawaran
bertemu dengan Kate.
Sabar mengeluarkan
dan memilah milih barang-barang dari dalam koper, tanpa buang waktu aku segera
membuka brankas untuk menimpan kotak
hitam berisi batu berlian pemberian dari Zayn. Namun, tatapanku lantas tertuju
kearah jaket kulit berwarna hitam milik Harry.
Tidak ada
lagi harum aroma tobacco vanilla di
jaket kulit miliknya, karena aku telah memerintah Dani pelayan di Mansion ini untuk mencucinya. Seketika
aku pun teringat akan janji kami tepat di malam nanti, sehingga dengan segera
aku mencari paper bag yang kosong
untuk menyimpan jaket kulit miliknya ini.
To: Kate
‘Aku akan tiba di tempatmu satu
jam lagi’
From : Kate
‘Baiklah
Ken. Hati-hati dijalan’
Seusai mengetik pesan dan membuka
pintu mobil range rover hitam kesayanganku, segera aku pun masuk dan terduduk di kursi penumpang sedangkan Felix sudah siap pada
posisinya di kursi pengemudi. “Kita akan
kemana Nona” tanyanya.
“Mengunjungi kediaman keluarga Horan. Malibu Park Lane”
“Baik Nona”
“Berapa jumlah mereka Felix?”
“Totalnya 20 orang Nona” jawabnya, sontak membuat tatapanku
yang tadinya tengah mengamati para bodyguard di belakang sana lantas tertuju
kepadanya di kursi pengemudi.
Gila!
“Aku tidak ingin mereka semua mengikuti kita Felix” ucapku memperingatkannya dengan nada penuh ketegasan,
sebab aku tak ingin menjadi pusat perhatian nantinya. “Hanya 5 orang yang
ikut dengan kita Nona. 3
mobil termasuk kita, jangan khawatir..” jawabnya.
“Pastikan
mereka selalu dalam pengawasanmu Felix”
“Baik Nona”
sedikit bernapas lega setelah mendengarnya memberi perintah melalui alat di
telinganya, barulah kemudian kami menuju ke kediaman keluarga Horan.
Hampir satu
setengah jam menempuh perjalanan karena harus melewati kemacetan terlebih
dahulu di hari weekend, kini tibalah
aku di kediaman keluarga Horan. Di sambut hangat oleh beberapa bodyguard yang berjaga sekaligus di
kawal oleh 6 orang bodyguard
pribadiku termasuk Felix. Aku pun dengan sopan memerintahkan Felix untuk menekan
bel di sisi pintu utama Mansion ini.
“Selamat
datang, Nona Kendall”
“Terimakasih,
suster Ana” jawabku seraya
tersenyum.
“Nyonya sudah
menunggu kedatangan anda di ruangannya”
“Mari
saya antar” ucapnya membuatku menganggukkan
kepala dan langsung
mengekor di belakangnya untuk
menuju ke lantai dua tepat di hadapan pintu ruangan kerja Kate.
Tok..tok..tok
“Masuk”
“Hei Kate”
sapaku.
“Saya permisi
dulu Nona” selanya setelah Kate mengendahkan kepalanya asal ke arah kanan
sebagai perintah. “Terimakasih Ana” jawabku.
“Silahkan masuk
dan duduklah Ken” ujarnya yang aku segera patuhi dengan
terduduk disalah satu kursi panjang yang juga diduduki oleh Kate, hingga kemudian mataku pun lantas tertarik memperhatikan seisi ruangan ini secara detail.
Banyaknya lemari kaca besar berisi
obat, serta rak-rak
tinggi yang terdapat buku-buku tebal di sisi kanan dan kiri. Semakin membuatku mengakui bahwa
Kate memang seorang psikiater hebat seperti yang di beritakan banyak orang. Akan
tetapi, aku pribadi justru lebih suka jika di tangani oleh anaknya yaitu Niall
karena dengannya aku tidak harus khawatir jika nantinya resep obatku
bertambah.
“Ken..”
“Kendall??” panggilnya yang mencoba menyadarkanku dengan menaik turunkan
tangan kanannya dihadapan wajahku. “Ken, kau dengar aku?”
“Iya, aku
dengar. Sorry..” jawabku.
“It’s ok”
“Well, aku senang
sekali akhirnya kau mau
menerima undanganku untuk datang kesini” ungkapnya terdengar begitu senang akan kehadiranku disini.
“Aku juga
senang bisa bertemu
denganmu Kate. Tapi, bisakah kalau kita langsung to the point saja?” tuturku sambil
memainkan jari tanganku yang saling bertautan, akan tapi tiba-tiba saja dia lantas menggenggam tanganku dan membawa
kedalam pangkuannya.
“Dengar?! Kau tentu bisa langsung
menceritakan apa pun
masalahmu padaku Ken. Tapi, kau tidak perlu merasa gugup seperti
ini” mengangguk patuh
segera aku pun menarik tanganku dari genggamannya. “Kate..”
“Aku
mohon berikan aku solusi yang tepat?!”
“Aku
sudah bosan dengan semua masalahku
yang tidak kunjung selesai hingga saat ini”
“Ak-aku…Aku juga tidak mau jika harus
meminum semua obat-obatan
sialan itu seumur hidupku
Kate” keluhku begitu lirih dan sudah beruraikan air
mata, kemudian di
indahkan olehnya dengan mengangguk seraya meraih
kertas dan menekan
tombol pulpen untuk menuliskan sesuatu.
“Perhatikan
Ken…” pintanya yang sudah menggambarkan
dua lingkaran diantara satu titik, sontak aku pun mengerutkan kening namun
tetap memperhatikan.
“Sekarang, anggaplah
posisimu adalah titik
ini dan kau dipaksa untuk memilih satu diantara dua lingkaran berisi konsekuensi yang sama tetapi berbeda
porsinya”
“Lantas, manakah yang akan kau
pilih? Lingkaran di
depan atau di belakang titik?"
tanyanya padaku dengan sungguh-sungguh tetapi
tetap menyinggungkan senyum ramah, berbanding
terbalik dengan aku yang lantas menatapnya lekat dan berpikir keras untuk menjawab pertanyaan darinya.
“Aku tidak mau
ada konsekuensi apapun Kate”
“Jadi, aku
tidak ingin ada dua lingkaran ini. Baik di depan atau di belakang titik”
jawabku yang sudah lebih dulu merebut pulpen dari tangannya, kemudian mencoret
dua lingkaran yang telah dia gambar di kertas. “Kita tau betul bahwa hal itu
tidak akan mungkin bisa Ken”
“Kenapa tidak
bisa?”
“Sebab,
konsekuensi itu ibatkan semua obat-obatan yang memang sudah seharusnya kau
konsumsi. Sedangkan porsinya ibarat dosis obatnya. Jadi, kemungkinan kita hanya
bisa memperkecil dosis obatnya saja dan balik lagi semua itu tergantung pada apa
yang menjadi pilihanmu”
“Ingin bergerak
maju atau terus menatap mundur” tanyanya.
“Lalu, apakah
kau bisa menjamin bahwa porsi yang aku dapatkan akan sedikit jika aku memilih
lingkaran yang ada di depan?” tanyaku berupa perumpamaan yang kemudian dia
setujui dengan mengangguk. “Selama kau mau mengikuti semua aturan yang ada. Bagaimana?”
“Baiklah,
kalau begitu aku akan memilih lingkaran yang ada di depan. Maksudku, aku akan
bergerak maju” putusku.
“Itu pilihan
yang bagus Ken”
“Kalau begitu
mulai detik belajarlah untuk memikirkan tentang dirimu sendiri terlebih dahulu, baru setelahnya kau
boleh memikirkan tentang orang lain” mengangguk setuju atas saran yang baru
saja Kate berikan, tangannya tanpa aba-aba kemudian menggenggam tanganku guna
menyalurkan kekuatan. “Aku sudah menemukan jadwal yang tepat dan lusa adalah
jadwal psikoterapi-mu akan dimulai. Bagaimana? Apa kau bisa?”
“Oke, aku
akan datang” jawabku menyanggupi.
Beberapa jam telah berlalu, aku pun memutuskan untuk pamit dan memilih untuk melanjutkan perjalanan
ke tempat selanjutnya yang akan aku kunjungi. Hampir setengah jam sudah dalam
perjalanan, akhirnya tibalah aku di restaurant
Nobu dan tidak lupa untuk membawa paper
bag berwarna hitam yang berisi jaket kulit miliki Harry.
20.05 PM. Semoga saja dia datang dan mau menunggu.
Menemukan
sosoknya tengah berada di area outdoor
dan nampak asik memandangi hamparan bintang di langit serta berteman dengan
dinginnya udara malam ini, membuatku tidak ingin menganggu waktunya dan lebih memilih
untuk menunggu serta mengamatinya dari meja yang ada di area indoor restaurant.
“Kita disini
saja Felix” ucapku.
“Baik Nona”
Yakin bahwa
dia tidak sedang baik-baik saja karena berulang kali menenggak botol minuman
dengan cepat seolah seperti orang yang sedang kehausan, pada akhirnya aku pun
memilih bangkit dan menghampirinya seorang diri namun tetap mendapat pengawasan
dari para bodyguard-ku dari kejauhan.
“Brengsek!”
“Dasar
kau wanita tidak berperasaan!”
umpatnya begitu lantang
seraya menenggak kembali botol minuman dalam genggamannya dan sontak hal itu membuatku
terkejut serta
bertanya-tanya, namun tidak sampai menghentikan langkahku untuk menuju ke
sisinya.
“Apa kau sedang
mengumpat kepadaku?”
“Kau?!” gumamnya
begitu terkejut melihat kehadiranku, tetapi aku lantas tersenyum dan melambaikan
tangan kearahnya. “Hei Harry”
“Apa aku membuatmu
menunggu lama?” tidak mendapati jawaban apapun darinya, dengan jengah aku
berdengus remeh seraya mengulurkan paper
bag berisi jaket hitam miliknya. “Ini ambillah..”
“Aku rasa saat ini
kau sangat membutuhkannya”
“Jaket?” ucapnya yang
terlihat kebingungan ketika membuka paper
bag yang aku berikan. Namun, aku paham bahwa itu semua karena efek dari minuman
beralkohol yang baru saja dia konsumsi secara berlebihan. Astaga!
Baiklah,
aku tidak ingin terlibat dalam masalah setelah ini.
“Aku harus pergi”
“Well, besok pagi mungkin kau akan mengingatnya” kataku seraya
menepuk pundaknya, karena tidak berniat untuk menjelasakan dari awal kenapa aku
mengembalikan jaket miliknya.
“Tunggu” pintanya
tepat setelah aku mengambil satu langkah untuk pergi dari sisinya, sehingga
tatapan kami pun akhirnya bertabrakan dan dapat aku lihat ada kehancuran di
iris mata hijaunya.
Oh
my goodness! Tidak seharusnya dia menunjukkan kehancuranmu padaku. Terlebih,
jika itu akibat dari hubungannya dengan Gigi yang sudah pasti akan berkaitan
juga dengan Zayn.
Demi Tuhan, aku bahkan
sudah tidak ingin mengetahui kabar apapun tentang mereka. Telebih, setelah
terakhir kali aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana cara keduanya
bersikap di tengah kehancuranku saat di London.
Padahal jelas-jelas
Zayn mengetahui bahwa aku juga berada disana, tetapi dia justru lebih
mementingkan Gigi yang jelas-jelas memiliki Harry dari pada aku- ibu dari
Paris. Dan demi Dewa Zeus, jangan sesekali mengumpamakan kekecewaanku ini
sebagai rasa cemburu karena kedekatannya dengan Gigi.
Jangan
harap!
“Sorry, tapi aku tidak memiliki banyak waktu Har” alibiku seraya mengambil
satu langkah mundur dan secara sepihak aku lantas memutus tatapan kami.
“Wanita dan
alasannya” sindirnya seraya berdengus remeh.
“Lalu, apakah kau
datang kesini hanya untuk mengembalikkan jaket ini saja?”
Sial!
Apa dia menyadari bahwa aku memang sengaja menghindarinya?
“Hei, Hello?!”
“Aku sedang bertanya
padamu?!”
“Kenapa kau hanya diam?”
menghela napas gusar karena enggan menjawab apa yang baru saja dia tanyakan,
seketika dia pun mengulurkan botol minuman ber-alkohol miliknya padaku.
Astaga!
Apa apaan dia!
“Temani aku..”
“Aku tidak ingin
patah hati sendirian” terkejut sekaligus meninggikan sebelah alisku karena
perkataannya, dengan kesal aku pun menyerahkan kembali botol minuman ini
kepadanya sebelum pembahasannya terlalu jauh dan aku kembali dibuat kecewa
karena mendengar penjelasannya tentang dua manusia itu. “Hei kau mau
kemana!” pekiknya.
“Ke neraka!” sarkasku
seraya kembali melanjutkan langkah memasuki area indoor dan tidak menghiraukan dirinya yang sedang terbahak-bahak
dan nyaris terkencing di celana mungkin.
Komentar
Posting Komentar