DIRTY BUSINESS - 12

             Memutuskan untuk kembali ke Mansion karena suhu udara semakin rendah, Paris yang masih terlelap dalam tidurnya pun segera aku peluk erat dalam dekapan tanganku dan meletakkannya diatas ranjang kamar begitu kami tiba di Mansion. Terdiam mengamatinya dari sisi ranjang, membuat ingatanku tertarik ke beberapa tahun lalu tepat ketika dia sedang berjuang untuk hidupnya dan aku yang tidak pernah selalu bisa menetap disisinya bahkan hingga detik ini.

I’am sorry Paris.

Tidak ingin semakin larut dalam rasa bersalah. Aku pun memilih untuk meninggalkan kamar ini, akan tetapi tatapanku justru bertabrakkan dengan iris mata berwarna hazel yang tengah mengamatiku dari ambang pintu kamar ini. Membawa langkahnya semakin dekat kearahku, membuat kami otomatis saling berhadapan dan tangannya dengan cekatan memasang sesuatu di telingaku. “Zayn, what are you doing?

Perfect..” ungkapnya.

“Zayn, ini-”

“Ya, itu hadiah natal dariku. Bagaimana?”

“Apa kau menyukainya?” tanyanya, berhasil membuatku seketika menegang karena tidak asing dengan bentuk anting berlian yang mana telah terpasang sempurna di telingaku ini. “Dari mana kau mendapatkannya?”  

“Wetherby’s”

“Kenapa? Apa kau tidak menyukainya?”

“Ken?” panggilnya seraya menangkup wajahku dengan kedua tangannya, sehingga berhasil mematahkan pemikiranku untuk kembali mengingat kilas-kilas menyakitkan di masa lalu. Terutama, mengenai kenangan akan anting berlian ini yang seharusnya memang menjadi milikku sejak lama.

“Hei, ada apa?” tanyanya.

“Kenapa kau memilih anting ini untukku?” ucapku balik bertanya seraya menatap lekat kedua iris matanya yang berwarna hazel.

“Karena hanya anting itu yang mencuri perhatian seorang Brian selama pelelangan berlangsung”

“Dan memberikan anting itu kepadamu. Aku pikir itu cukup untuk membuatnya merasa kesal nanti”

“Sungguh?”

“Tidak ada maksud yang lain?” mengangguk dengan acuh atas pertanyaan yang aku ajukkan, sekuat hati aku pun menyinggungkan senyum tipis sebelum memutus tatapan kami. “Baiklah, aku akan menyimpannya dengan baik kalau begitu” putusku.

“Kau pasti berguraukan Ken?” menggelengkan kepala atas pertanyaan darinya, seketika decihan kesalnya pun terdengar jelas di telingaku. “Oh ayolah, Ken. Tidakkah kau mau membantuku untuk membuat Brian semakin kesal?”

“Dengan menunjukkan anting ini kepada ayahku dan mengatakan bahwa kau yang telah memberikannya, begitu?” tersenyum menahan tawa seraya mengangguk membenarkan apa yang aku katakan, membuatku memilih untuk kembali melanjutkan langkah. “Of course no!”

“By the way thank’s for this

“Aku pamit. Felix sudah menungguku dibawah”

“Sebentar” pintanya yang berhasil meraih siku tanganku.

“Apa lagi?” tanyaku seraya mengamatinya, namun keningku lantas mengerut cukup dalam ketika dia menyuguhiku kotak hitam berukuran sedang. “Untukmu” katanya.

“Lagi?”

“Dengan alasan dan maksud yang berbeda tentu saja” jawabnya membuatku menatap kembali kearah matanya yang nampak memberi persetujuan agar aku segera membukanya, sehingga dengan ragu aku pun membuka kotak hitam berukuran sedang yang kini ada dalam genggamanku.

Gila!

Pikirku ketika kilatan sinar putih pada benda ini memantul tepat kedalam bola mataku, membuat tanganku lantas tergerak untuk menutup kembali kotak ini karena sekarang aku benar-benar sudah tidak ingin mendengar alasan kenapa dia memberikan benda ini kepadaku.  

Dasar bajingan sombong!

Berasal dari keluarga ternama yang mengelola perusahaan produksi berlian terbesar di New York, tentu saja aku tidaklah tabu dengan benda sempurna yang saat ini dia berikan untukku. Sebab, benda ini memiliki daya tarik yang cukup setara dengan harga yang ditawarkan oleh Wetherby’s dalam salah satu situs lelang eksklusif yang hanya bisa di akses oleh orang-orang kalangan atas saja.  

Termasuk aku yang juga ikut bergabung dalam situs lelang tersebut, untuk membeli beberapa lukisan atau pun hasil karya seni lainnya dari sana ketika aku sedang dalam mood yang tidak baik atau memang karena aku menginginkan sesuatu yang sedang aku cari saja.

Dari kabar terakhir yang aku dapatkan. CEO (Chief executive officer) yang mengelola pelelangan tersebut, Valdoft Aress Ellred Wetherby mengatakan bahwa berlian seukuran telur yang dikenal sebagai ‘berlian perdamaian’ dengan karat 706 itu telah berhasil dilelang kepada salah seorang pembisnis asal Italia seharga 7,8 juta dolar tepatnya beberapa hari yang lalu pada saat acara pelelangan eksklusif di New York.

Dari yang aku ketahui memang acara pelelangan eksklusif tersebut bertujuan untuk mengumpulkan dana bagi pembangunan taman nasional di negara Afrika. Akan tetapi, siapa sangka bahwa seseorang yang membeli batu berlian mentah itu ternyata Zayn Javvad Malik. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, batu berlian mentah berwarna putih yang sudah diburu oleh kalangan elite sejak beberapa tahun lalu ini dia perkenankan untukku.

Astaga !

“Aku tidak bisa menerima ini” tolakku dengan sungguh-sungguh, berbeda dengannya yang justru asik menggengam ponsel dan jari-jari tangannya sibuk mengetikkan sesuatu di layar tersebut.

“Zayn!” panggilku meninggikan suara.

“Tidak perlu berteriak seperti itu Ken. Nanti Paris bisa terbangun” peringatnya, membuatku lantas mendesah tidak suka. “Tapi, Zayn-”

Sudahlah, terima saja” selanya.

“Lagi pula aku membeli berlian itu memang murni karena ingin memberikannya kepadamu jelasnya seraya menyimpan ponselnya kedalam saku.

Tetap saja aku tidak bisa menerimanya Zayn”

“Tapi kau terlihat menginginkannya Ken”

No! I don’t want it.

“Berhentilah selalu menebak-nebak tentangku Zayn”

“Jangan terlalu percaya diri”

“Selamanya pasti kau tidak akan pernah mengerti dengan apa yang aku inginkan dan apa yang tidak aku inginkanperingatku yang terulur menyerahkan kembali kotak hitam berukuran sedang ini di tangannya. “Kenapa?” tanyanya.

Karena aku sendiri tidak mengerti dengan apa yang aku inginkan dan apa yang tidak aku inginkan Zayn!

“Simpanlah…”

“Aku tidak ingin membuat semua kandidat yang menjadi calon istrimu iri padaku nantinya” ungkapku. “Jangan berbicara tentang omong kosong?!”

“Kenapa yang aku maksud bukanlah tentang berlian ini Ken”

“Aku tidak mengerti…” alibiku.

“Alasan?!”

“Maksudmu?” singgungku.

Apakah sekarang kau mulai menginginkan agar aku mengerti dengan apa saja yang kau inginkan dan apa yang tidak kau inginkan? Begitukah Ken?” menghembus nafas kasar seraya meggelengkan kepala, dia dengan hati-hati kemudian menggenggam kedua tanganku agar bertumpuh dengan tangannya yang masih memegang kotak berisi berlian itu. “Dengar Ken…”

“Aku sangat benci ketika mendengar penolakkan darimu setiap kali aku memberikan sesuatu. Dan jika kau bertanya kenapa? karena itu sama saja dengan kau menghancurkan harapanku untukmu” ungkapnya berhasil membuat otak dan hatiku saling berdebat satu sama lain, seolah berlomba untuk meneriakiku.

Bodoh!

 

Memang apa yang kau harapkan dariku Zayn?

 

Ucapan terimakasih?

 

Atau

 

Hancurnya benteng pertahananku?

Karena jika pilihanmu adalah yang kedua, maka jangan berharap aku tidak akan menolak apapun yang selalu kau berikan atau pun kau tawarkan untukku. Sekalipun itu adalah membawaku pergi dari jurang terdalam yang telah mengunci diriku seutuhnya.

Bahkan, mustahil sekali jika kau bisa sampai melihat dimana jurang itu berada sekalipun.

Terlalu gelap

 

Dingin

 

Dan

 

Sulit tergapai.

“Maka berhentilah berharap sesuatu apapun dariku” jawabku yang tiba-tiba saja kembali teringat akan saran dari Kylie untuk segera memperjelas hubungan diantara kami, aku dan Zayn agar nantinya aku bisa terbebas dari pengawasan kedua orangtuaku.

Sial!

Kenapa sekarang aku merasa seperti sedang mengikuti saran dari Kylie. Padahal jelas-jelas aku melakukan ini memang murni tidak ingin kalau sampai Zayn melibatkan perasaannya dalam kedekatan yang terjalin diantara kami.  

Ok..

As you wish Ken

“Dan anggap saja batu berlian itu adalah hadiah yang terakhir dariku. Tapi, kalau kau masih tidak mau menerimanya juga maka kau bisa menyimpannya atau membuangnya jika kau mau. Terserah padamu..” meninggikan sebelah alisku atas keputusan yang baru saja dia ucapkan, pada akhirnya aku pun terpaksa menerima kotak berlian yang dia ulurkan sebelum dia kemudian berjalan kearah sisi ranjang Paris.

Tok.. tok.. tok..

“Zayn, Nona?!”

“Maaf menganggu...”

“Ada apa Felix?” tanyaku.

“Nyonya Kris sudah berangkat menuju bandara dan sepertinya kita juga harus berangkat dengan segera” peringat Felix dari ambang pintu kamar, membuatku mengangguk setuju. “Baiklah, lima menit lagi aku akan menyusulmu turun”

Setuju dengan apa yang aku katakan, Felix pun lantas meninggalkanku untuk turun lebih dulu. Sedangkan aku yang masih terdiri di dekat pintu kamar memilih untuk berjalan kearahnya yang terduduk di sisi ranjang Paris. “Zayn, aku tidak bermaksud untuk tidak menghargai apa yang telah kau berikan untukku. Hanya saja…”

“Jangan memperlakukanku seperti kau sedang memperlakukan kekasihmu Zayn. Aku tidak ingin jika salah satu diantara kita terjebak dalam hubungan aneh ini nantinya”

“Lagi pula, peranku disini hanya sebagai ibu untuk Paris dan peranmu disini hanya menjadi ayah yang baik untuk Paris. Selalu ingatlah bahwa kita hanya sedang bermain peran. Tidak lebih..” berdecih kasar atas apa yang baru saja aku ucapkan, membuatku dengan cepat mengecup sebelah pipinya sebelum kembali terjadi perdebatan panjang diantara kami.

“Maaf membuatmu marah..”

"See you there” ucapku seraya menyinggunginya senyum dan memegang erat kotak hitam ini dalam genggaman, kemudian pergi melangkah meninggalkan kamar ini dengan lebih dulu menutup pintu dan sebelum benar-benar menuruni anak tangga.

Terus berjalan lurus seraya mengikuti kemana arah jalan para bodyguard mengawal kami keluar dari hotel yang sudah penuh dengan hadangan para paparazzi, seketika tubuhku tersentak kaget karena tiba-tiba saja seseorang mencoba untuk menarik lengan sebelah kananku. Beruntung tangan yang ingin mencoba menarik lenganku segera dicengkram oleh tangan kekar milik Felix, sehingga aku dengan sigap membentengi diri kearah bodyguard-ku yang lainnya.

Are you ok Ken?”

I’am fine Mom

“Felix, biarkan bodyguard-ku yang mengurusnya. Kau tetaplah menjaga Kendall” perintah ibuku ketika Felix berhasil menguci pergerakkan orang yang mencoba untuk mencakar tanganku dan lantas dia indahkan dengan memberikan orang tersebut kepada salah satu bodyguard ibuku.

“Terimakasih Felix” ucapku.

“Sudah menjadi tugas saya Nona”

“Silahkan..” ucapnya yang mempersilahkanku untuk segera masuk ke dalam mobil Rolls Royce Phantom Limo di hadapan kami, sehingga para paparazzi pun semakin berlomba untuk mengarahkan kamera mereka kearahku.

Mengabaikan pertanyaan membosankan dari mereka dan memilih untuk melangkah memasuki mobil bermerk Rolls Royce Phantom Limo milik ibuku yang memang biasa kami gunakan ketika berada di London, sepersekian detik ibuku pun ikut melangkah memasuki mobil ini setelah menyempatkan lebih dahulu untuk foto bersama salah satu penggemar yang sengaja menghalangi jalannya.

Tidak berminat membuka topik pembicaraan apapun karena beberapa jam yang lalu aku dan ibuku telah berdebat hebat, akibat dia yang masih belum menerima keterlambatanku untuk menyusulnya menuju bandara dan mungkin juga karena ayahku batal untuk ikut menghadiri acara ini dengan alasan perjalanan bisnis mendadak ke New York.

Entahlah!

Kini aku justru lebih tertarik untuk melihat jam rolex yang terlingkar sempurna di pergelangan tanganku, mengingat perbedaan waktu 8 jam membuatku segera meraih botol air mineral didekatnya lalu mengeluarkan beberapa butir obat dari botol yang sebelumnya berada didalam clutch bag karena saat ini di Los Angles sudah memasuki jam malamku.

“Apakah kau sudah mulai berkonsultasi lagi dengan Kate?”

“Belum. Tapi, kami sedang mencari waktu yang tepat untuk itu” jawabku tanpa berminat menoleh kearahnya.

“Akhir tahun nanti kita memiliki waktu yang panjang bersama Kate, bagaimana?” menggelengkan kepala atas tawaran dari ibuku dan lebih memilih untuk menenggak beberapa butir obat secara satu per satu dengan di dorong oleh air mineral, setelahnya aku pun memilih untuk menyandarkan tubuhku. “See?!”

Aku semakin ragu sekarang kalau kau akan memiliki waktu yang tepat di awal tahun nanti” sindirnya atas penolakkanku. 

“Kita lihat saja nanti…”

“Lagi pula, bukan Kate yang aku butuhkan Mom 

“Dan apakah maksudmu sekarang kau lebih membutuhkan bajingan itu dari pada Kate untuk memulihkan kondisimu, begitu?”

“Berhenti menuduhku atau kau akan pergi ke acara memuakan ini sendirian” ancamku yang sudah mulai habis batas kesabaran dalam menghadapi sikapnya yang selalu seperti ini ketika bersamaku.

Selalu saja merusak suasana!

“Kau berbicara seolah aku yang memaksamu datang Ken?!”

“Padahal, jelas-jelas kau sendiri yang melemparkan dirimu ke dalam lingkaran mereka. Dan kalau saja bukan demi mempertahankan citra keluarga dihadapan semua orang, aku juga tidak akan pernah sudi datang keacara memuakan itu” ungkapnya tepat mengenai perasaanku. 

Sial!

“Apa kau lupa? bahwa kaulah yang memperkenalkanku ke dalam lingkaran mereka?” koreksiku, berhasil membuat kami saling bertatapan dengan tajam dan seolah ingin saling membunuh satu sama lain. “Jika kau ingin tau kenapa aku selalu ingin menampar wajahmu setiap kali kita berdebat?!”

“Itu adalah karena kau terlalu kurang ajar dan selalu ingin merasa benar!” balasnya seraya memutus secara sepihak tatapan diantara kami dan lebih tertarik menatap kearah luar kaca jendela mobil ini.  

Oh my godness, sudahkah dia berkaca sebelum dia berucap seperti itu padaku?

Setibanya di tempat acara dan salah satu bodyguard kami telah membuka pintu mobil dari luar guna mempersilahkan ibuku dan aku untuk melangkah keluar mobil, sejenak aku pun mempersiapkan diri sebelum melangkah turun.

“Bersikaplah seperti Kendall yang mereka kenal. Jangan sampai mereka semua melihat ada yang berbeda darimu”

“Sembunyikan kelemahanmu dihadapan mereka semua dan tunjukkan bahwa kau selalu baik-baik saja selama ini” mengangguk paham atas peringatan yang dia berikan, sangatlah berbanding terbalik dengan perasaanku yang tidak ingin kembali berhadapan dengan orang-orang bermuka dua itu.

Cih! Sadarlah Ken. Sebentar lagi kau pun akan bersikap seperti mereka yang bermuka dua. Lalu, apa bedanya kau dengan mereka?

Konyol!

Welcome to the hell…

Di damping oleh Felix untuk menyapa beberapa penggemarku yang nampaknya sudah menunggu lama di depan gedung acara ulang tahun DW (David William Watch) Group ini, seperti kebiasaanku dulu aku pun mendekatkan wajahku kearah wajah penggemarku yang meminta untuk foto bersama kemudian kembali melanjutkan langkahku menyapa beberapa penggemar lainnya yang meminta tanda tangan dan membiarkan paparazzi mengabadikan moment ini.

“…Kendall!” teriak mereka terdengar kecewa karena aku tidak berjalan kearah mereka semua yang berada di sisi kanan.

Mengindahkan mereka semua dengan menyinggung senyum serta lambaian tangan karena masih setia menjadi penggemarku walaupun aku telah mundur dari dunia modeling, sengaja aku pun mempercepat langkahku untuk berjalan di red carpet bersama ibuku. 

Selalu absen selama kurang lebih 1 tahun untuk hadir di acara-acara besar, siang ini untuk pertama kalinya aku memberanikan diri berjalan di red carpet dengan gaun berwarna gold bermodel jaring yang berhasil memperlihatkan keseluruhan tubuhku serta menggunakan anting berlian pemberian dari Zayn karena ayahku tidak berada disini.

“...Wow, you’re so gorgeous Kendall!

“…Right here Kendall!”

“…Kendall!”

“…Turn around!”

“…Kris”

“…Kris merapatlah kesisi Kendall!”

“…Guys hold on!

Beberapa kali menuruti ucapan dari mereka yang memintaku untuk berpose dengan beberapa gaya berbeda, pada akhirnya aku dan ibuku pun memilih untuk masuk kedalam gedung acara.

“Kendall?!” panggilnya dengan terbelalak ketika menatapku dari jarak yang hanya beberapa langkah, kemudian dengan cepat dia menghapus jarak kami dan menggenggam sebelah lenganku.

“How are you?”

“I’am good” jawabku seraya tersenyum.

Membalas sambutan pelukkan hangat dari Gwen Hadid yang sudah berada dihadapanku, tidak lupa aku arahkan pipiku untuk mengecup pipi kanan dan kirinya seraya melepaskan pelukkan diantara kami karena ibuku sepertinya juga telah menunggu untuk mendapatkan sambutan darinya. “Hai Gwen?!” sapa ibuku.

Oh god?! Kalian benar-benar terlihat semakin cantik dari terakhir kali kita bertemu” pujinya yang terdengar begitu ramah dan bersahabat, terlebih senyumnya yang selalu menghiasi wajahnya itu semakin membuat penampilannya malam ini terlihat sempurna.

Oh astaga! Tapi, apakah dia bermuka dua juga?

“Terimakasih, kau juga semakin sukses..” balas ibuku yang memberi pujian seraya mengarahkan pipinya untuk mengecup pipi kanan dan kiri Gwen, kemudian melangkah saling bersisian dengan aku yang berada di belakang mereka. 

“Kau sendirian?” tanya ibuku membuka perbincangan.

“Aku datang bersama Jen dan anak-anaknya, karena kebetulan Mark dan Justin sedang sibuk dengan jadwalnya sendiri” jawabnya terdengar ragu dan mengangkat kedua bahunya pasrah.  

“Dan kalau pun mereka tidak sibuk, aku sangat tidak yakin kalau kau akan datang bersama mereka Gwen” goda ibuku yang justru di hadiahi senyum tipis berarti pembenaran dari Gwen. “Akan jadi berita utama juga kalau sampai Mark dan Jen berada di satu acara yang sama, bukan?!” tanyanya.   

“Sudah pasti?!”

“Bahkan, akan langsung mengalahkan berita mengenai kehadiran Kendall dan juga keponakan tersayangmu yang bersamaan datang ke acara siang ini” sindir ibuku terdengar sarkas, berhasil membuatku meninggikan sebelah alisku dan menatapnya tajam.

Demi tuhan, bisakah dia menutup mulut besarnya itu?!

Seolah bisa membaca situasi, Gwen pun dengan santai mengambil alih pembicaraan dengan kembali berbasa-basi. “Jadi, bagaimana dengan bisnismu sekarang Ken?”

“Semuanya lancar”

“Dan musim depan aku akan meluncurkan beberapa design terbaru. Kalau kau ada waktu datanglah ke butik atau kantorku Gwen”

“Tentu, nanti akan aku atur jadwalku”

“Pastikan kau mengabari aku lebih dulu ya?” peringatku.

“Pasti Ken?!”

Well, tidak heran kenapa semua agency model masih mengincarmu sampai detik ini Ken. Kau memang patut diperhitungkan dalam industri fashion” pujinya.  

Like father, life daughter. Keduanya memang sama-sama mengagumkan, bukan?!” sela ibuku seraya memberikanku tatapan seolah meminta dukungan.

Astaga!

Bahkan ibuku nampaknya tau betul bagaimana harus memanfaatkan situasi ini, mengingat dengan siapa aku berbagi informasi kali ini yang seolah begitu tepat sasaran. Gwen Hadid, seorang redaktur pelaksana majalah GQ (Graff Queen).

Sepak terjangnya sebagai seorang redaktur pelaksana untuk majalah GQ (Graff Queen) itu memang tidak perlu diragukan dan selalu dikenal karena pendekatannya terhadap citra fashion, seperti mengambil foto Rihanna berenang bersama Hiu serta Ibuku yang menyeruput teh dengan dikelilingi oleh Cheetah untuk menjadi sampul majalah GQ (Graff Queen).

Meskipun tidak setenar saingannya, Anastasia Aleyn Kawilara dari majalah Harper’s Bazaar UK. Gwen sendiri telah berhasil mengumpulkan banyak penghargaan serta meraih banyak kemahsyuran untuk majalah GQ (Graff Queen). Ada pula penghargaan lainnya seperti masuk kedalam nominasi sembilan ASME Best Cover Awards dan 11 Lucie Award, begitu menurut beberapa majalah yang aku baca dalam seminggu terakhir ini.  

“Apa maksudmu Kris?”

“Kau mengatakan hal demikian tentunya bukan tanpa alasankan?” mendapatkan tanggapan yang sesuai dengan apa yang ibuku harapkan, dia pun lantas menghentikan langkahnya seraya menatap aku dan ibuku secara bergantian.

“Astaga…”

“Kau pasti mengerti maksudku Gwen”

“Lebih baik jangan kau sia-siakan tawaranku. Ingat, tahun depan bukan lagi tahunmu di Graff Queen” ujar ibuku dalam artian tertentu dan mungkin di pahami juga oleh Gwen.

“Jadi, kabar burung itu adalah benar Gwen?” tanyaku seraya menatapnya tidak percaya, mengingat dia adalah adik dari Jennifer Queen Hadid dan hampir setengah dari umurnya dia fokuskan untuk menjadi redaktur pelaksana yang telah terbukti membawa pengaruh besar untuk redaksi majalah itu.

“Pertengahan tahun depan lebih tepatnya Ken”

“Karena aku masih memiliki beberapa hal lagi dalam daftar tugasku. Seperti menyalakan GQ Building Center dengan fotografi mode untuk memperingati hari jadi redaksi Graff Queen, serta menjadikanmu sebagai sampul majalah di edisi awal tahun nanti”

“Bagaimana? Kau setujukan?” menatap kearah ibuku yang menganggukkan kepalanya, dengan berat hati aku pun ikut mengangguk “Tapi aku tidak ingin membahas masa lalu” ujarku mengajukan syarat. 

“Kau tenang saja, Ken”

“Gwen tidak akan mungkin membahas masa lalumu karena itu akan beresiko juga untuk keponakkan tersayangnya, bukan begitu Gwen?” tanya ibuku.

“Itu benar..”

“Lagi pula, aku lebih penasaran dengan dirimu yang sekarang dan keinginanmu di masa depan Ken” jawab Gwen yang terlihat tesenyum lebar seraya menggenggam tangan Ibuku seolah sedang berbagi kebahagiaan.  

Oh God, sanggupkah aku mengikuti permainan yang sedang ibuku rencanakan lagi kali ini? Well, semoga saja.  

“Kris, Ken. Aku kesana ya?” izinnya berpamitan.

Sure?! Titipkan juga salamku untuk Jen” jawab ibuku seraya mengecup pipi kanan dan kiri Gwen. “Tentu, akan aku sampaikan nanti”

“Ken, ingat kau memiliki janji denganku untuk awal tahun nanti. Ok?” tersenyum seraya menganggukkan kepala, begitu melihat Gwen berjalan pergi. Aku lantas menempati tempat duduk yang sudah dipersiapkan sesuai dengan nama-nama tamu undangan.

Bersisian dengan ibuku dan memilih untuk memperhatikan Jack Whitehall yang telah berdiri gagah diatas panggung sana sebagai host dalam acara ini, kemeriahan didalam Royal Albert Hall pun semakin terasa dikala Jack mulai membuka acara dan membacakan susunan acara yang akan berlangsung pada siang hari ini.

Mendengar sambutan pertama darinya, berhasil membuatku kesulitan untuk bernapas dan mengepalkan tangan erat ketika sepasang suami istri dalam balutan pakaian formal itu nampak mengindahkan sambutan dari host dengan berjakan menaiki panggung dan mengedarkan pandangan kearah  para tamu undangan.

Sialan! Bisakah kedua orang itu berhenti menebarkan senyum palsu dihadapan semua orang?! Menjijikan.

“Terimakasih saya ucapkan untuk seluruh tamu undangan. Pada siang hari ini, telah bersedia hadir dalam acara peringatan ulang tahun DW Group yang  ke 25 tahun sekaligus untuk mengenang kepergian putra kami tercinta”

 “Tahun ini adalah tahun kedua bagi DW Group merayakan ulang tahun tanpa kehadiran putra kami. Dan selama itu pula, bukan hanya kehilangan yang kami rasakan, namun juga perubahan besar”

“Akan tetapi, perubahan itu kami harapkan selalu berdampak baik dan tidak merugikan banyak pihak. Tidak disangka pula, dua orang yang sangat di sayangi oleh anakku-Louis bersedia hadir dalam acara ini. Ms. Hadid dan Ms. Jenner, thank you” ujarnya seraya tersenyum ramah diatas panggung sana dan mendapati banyak hadiah tepuk tangan dari hampir seluruh tamu undangan.

Brengsek!

Entah apa maksudnya mereka memberikan sambutan seperti itu di hadapan publik, terpaksa aku meredam kekesalanku dengan bangkit dari keterdudukkan seraya tersenyum namun menatap tajam kearah dua orang yang sejak tadi ingin aku hancurkan senyum palsunya.

Bersamaan dengan itu, dia di sisi sebelah kiri juga ikut berdiri demi mengindahkan sambutan ini. Memutus tatapan seraya kembali terduduk dengan sesak yang kian memenuhi dada, ibuku kemudian menggenggam erat telapak tanganku.

“Tenanglah, tunjukkan saja pada mereka bahwa kau sudah bisa menerima segalanya Ken” ucapnya mencoba menguatkan agar aku tidak sampai hilang kendali.

“Pastikan juga bahwa satu-satunya orang yang paling merasa kehilangan adalah kau dan yang merasa paling bersalah adalah dia disana” mengeraskan rahangku ketika mendengar dua kata diakhir kalimatnya, membuat mataku lantas terpejam menahan geram.

“Selamanya perusak akan tetap dipandang rendah. So, pertahankanlah citramu sebagai orang yang terkhianati itu”

“Cukup Mom!

“Aku tidak ingin mendengar apapun lagi” mengendikkan bahu asal atas apa yang aku ucapkan, membuat tatapan kami kembali kearah panggung di depan sana karena host telah memulai mengambil alih acara.

Tiba memasuki pembacaan doa yang di persilahkan oleh Jack Whitehall untuk di pimpin oleh David Tomlinson dan Larey Stole Tomlinson sebagai penyelenggara acara, membuatku kemudian kesulitan menghirup udara disekitar dan lantas memijat keningku.

“Sebelum kita memasuki acara inti, saya mohon ketersediaan kita semua dalam memanjatkan doa untuk putra kami-Louis Tomlinson disana” ujarnya membuatku memejamkan mata seraya meremas kedua tangan yang sudah saling bertaut.

“Allah, pangkal kehidupan semua insan. Sudah genap 2 tahun engkau telah memanggil anak, sahabat, saudara kami; Louis Tomlinson dari tengah-tengah kami untuk kembali ke hadirat-Mu. Mungkin sekarang dia berada di pangkuan-Mu. Tetapi, kami tetap merasa bersatu dengan dia…”

“Sebab, kami semua adalah putra-putri-Mu. Kami semua sama-sama anggota Tubuh Kristus yang satu, warga persekutuan kaum beriman dahulu, kini dan yang akan datang”

“Kami yakin bahwa hidupnya hanyalah diubah, bukannya dilenyapkan; dan bahwa suatu kedamaian abadi kini tersedia baginya di surga: Didasari oleh keyakian ini, semoga dalam menghadapi maut yang tak terelakkan kami tidak lagi merasa takut karena sungguh-sungguh didukung oleh harapan akan hidup abadi yang kau janjikan kepada kami”

“Bapa, ampunilah segala dosanya dan terimalah dia dalam pangkuan kasih-Mu. Ia telah mati seperti Kristus; maka perkenankanlah ia pun bangkit seperti Kristus. Kami berdoa pula bagi semua orang yang telah kau panggil mendahului kami karena belas kasih dan kerahiman-Mu, semoga mereka memperoleh kebagahiaan bersama para kudus-Mu” ucapnya terdengar terisak.

“Ya Bapa, semua harapan ini kami haturkan kepada—Mu dengan penghantaran Yesus Kristus dalam persekutuan Roh Kudus kini dan sepanjang masa. Amin” usai mengamini semua doa yang telah dia panjatkan, membuat hati kecilku meraung-raung menahan sakit yang sudah sejak lama aku pendam.

Tuhan, tenpatkanlah dia di dalam kerajaan-Mu. Dimana, tidak ada lagi kesedihan, tangisan dan rasa sakit. Melainkan hanya kedamaian yang penuh suka cita bersama-Mu dalam persekutuan Roh Kudus. Dalam nama-Mu, aku berdoa. Amin

Usai memanjat doa pertamaku untuknya di sana seraya membuka mata, aku pun menerima uluran tissue yang ibuku serahkan untuk menghapus air mataku yang sudah membasahi kedua pipi kemudian meminta izin kepadanya untuk pergi ke toilet.  

Tidak ingin di kawal oleh Felix dan lebih memilih pergi ke toilet seorang diri, begitu sampainya aku didalam toilet dengan segera aku memperbaiki riasan diwajahku yang luntur akibat menangis selama memanjatkan doa untuknya tadi. 

“Kendall?” sapanya yang tidak aku indahkan dan lebih memilih meneruskan langkahku untuk keluar dari toilet ini.

“Oh yaampun…”

“Rupanya kau masih belum juga melepas citramu sebagai wanita dengan ego selangit ya?!” mendengar samar apa yang baru saja dia ucapkan, tidak membuat berubah pikiran sama sekali untuk menanggapinya. Persetan!

Omong kosong!

“Berhentilah untuk menghindar dariku Kendall!”

“Jangan bersikap seolah-olah kita berdua tidak pernah saling mengenal sebelumnya!”

Sialan!

“Tutup mulutmu! Atau semua orang akan mengetahui siapa dirimu yang sebenarnya” ancamku dengan napas memburu setelah lebih dulu memilih untuk kembali berjalan kearahnya seraya mengacungkan jari telunjuk kananku ke depan wajahnya.

“Memangnya siapa dirimu berani mengancamku begitu?!” sarkasnya, sehingga dengan sinis aku pun menatapnya dari atas hingga bawah kemudian berakhir penuh seringaian.

“Dan kau pikir, siapa dirimu?!”

“Beraninya seorang jalang sepertimu mempertanyakan tentang siapa diriku” balasku tidak mau kalah.  

“Tarik ucapanmu atau kau akan menyesal karena telah berucap demikian” ancamnya dengan nada rendah seraya menarik pergelangan tanganku cukup erat, hingga jarak diantara kami terhapuskan.

Dasar wanita bar-bar!  

“Berucap apa?”

“Berucap bahwa kau adalah seorang jalang?” sarkasku.

“Tarik ucapanmu sialan!” umpatnya, membuatku tersenyum.

“Seorang wanita one night stand yang entah sudah berapa banyak membuka kaki lebar-lebar untuk para pria hidung belang, sangatlah tidak pantas untuk memerintahku!” balasku begitu percaya diri membeberkan seluruh fakta tentang dirinya, hingga membuat cengkrangaman tangannya di tanganku semakin erat dan menatapku penuh permusuhan. “Diam kau!”

“Dasar wanita licik!”

“Pantas saja dia memilih untuk mengakhiri hubungannya denganmu dan memilih wanita lain. Menghadapi sikap licikmu sebentar saja sudah membuatku muak, bagaimana dengan dia?!”

“Oh yaampun, aku benar-benar tidak bisa membayangkan seberapa tertekannya dia harus dipaksa berpisah dengan orang yang dia cintai karena kelicikanmu itu!” menatapnya dengan tatapan tajam dan dengan napas yang mulai tidak beraturan karena dia mencoba mengingatkanku akan masa lalu, tangan kananku pun tanpa aba-aba mendorong tubuhnya kearah dinding dan menekan perutnya dengan tangan yang satunya. “Aw” rintihnya.

“Jangan pernah berucap sesuatu hal yang tidak kau ketahui kebenarannya Mrs. Tomlinson!” peringatku seraya menambah tekanan diperutnya, hingga dia meringis kesakitan dan putus asa menyingkirkan tanganku dari perutnya yang aku ketahui kemarin dari ibuku bahwa ada sebuah nyawa disana. 

“Sialan!”

“Lepaskan tanganmu!”

“Bayi dalam kandunganku bisa terbunuh karenamu!” umpatnya dengan nada putus asa seraya merintih kesakitan, namun sayangnya aku bukan lagi si bodoh berhati lebut yang akan langsung melepaskan lawannya begitu saja. “Dasar wanita iblis!!” umpatnya.

“Kau yang iblis!” jawabku tidak terima.  

“Sialan kau! Lepaskan!” keluhnya dengan raut wajah menahan sakit serta bercampur kekhawatiran, membuatku lantas menyinggung senyum seriangai puas dan tetap menekan perutnya walaupun sudah tidak sekuat tadi. “Berhentilah mengumpatku!”

“Dan sadarlah kepada siapa kau sedang berbicara” peringatku.

“Untuk apa menyadarkan diri jika hanya berbicara kepada mantan calon menantuku sendiri” ejeknya, membuatku melepaskan tanganku dari perutnya. “Katakan…”

“Apa sebenarnya maumu” tanyaku habis kesabaran.     

“Perintahkanlah kepada semua mata-matamu untuk berhenti mengawasiku!”

“Mata-mata?” memutar bola mata malas atas kebingunganku akan permintaannya, membuatku tetap menunjukkan raut wajah sungguh-sungguh bahwa aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang dia maksud.

“Sudahlah, jangan pura-pura polos Kendall”

“Kau bahkan satu-satunya orang asing yang mengetahui tentang kabar kehamilanku saat ini”

“Iya, aku akui itu memang benar”

“Tapi baru hari ini aku mengetahui tentang kabar kehamilanmu dan apa memang untungnya bagiku mengirim mata-mata untuk mengawasimu bodoh!” jelasku yang langsung dia hadiahi dengan berdengus kasar seraya tersenyum meremehkan, seolah apa yang telah aku jelaskan hanyalah sebuah penyangkalan. “Tidak perlu mengelak. Akui saja!” tuduhnya. Sialan?!

“Dengar bodoh!”

“Aku benar-benar serius!”

“Aku tidak pernah mengirim mata-mata untuk mengawasimu! Mengenalmu saja aku sudah tidak mau. Jadi, jangan menuduhku untuk itu” jelasku menunjukkan raut wajah penuh kesungguhan, sehingga tepat didetik selajutnya dia hanya mampu terdiam dengan sebelah tangan yang nampak melindungi perutnya. “Lalu siapa?” tanyanya seraya menatapku gamang.

“Mana aku tau?!” jawabku yang juga ikut kebingungan.    

“1 jam. Aku hanya memiliki waktu 1 jam” menatapnya terkejut karena mengerti bahwa dia sedang dalam ancaman seseorang, seketika aku pun menutup jarak diantara kami dan mencengkram lagi sebelah tangannya.

“Dengar!”

“Itu adalah urusanmu dan aku sama sekali tidak ingin tau” 

“Jadi, lebih baik kau menjauh dariku” mendapati tatapan kosong dari sorot matanya, segera aku pun melepas cengkraman dari tangannya dan mengambil langkah untuk menjauh. “Tidak!”

“Kau harus membantuku Kendall”

“Aku tidak ingin terlibat!”

“Cepat lepaskan tanganmu” ucapku yang dia indahkan dengan menggelengkan kepala. “Waktuku hanya tinggal 1 jam lagi dan kau tidak bisa meninggalkanku sendirian dalam masalah ini”

“Aku butuh bantuanmu!” ujarnya.

“Bodoh! Kau salah orang. Aku tidak bisa memberikan bantuan apapun padamu” tuturku berdasarkan kenyataan.

“Jangan lupa bahwa kau tidak akan pernah bisa mendapatkan Louis, tanpa bantuan dariku. Sialan!” tergelak karena dia merasa seolah telah menjadi dewi penolong, segera aku pun menepis kuat tangannya yang terlingkar di pergelangan tanganku. “Astaga, sepertinya kau lupa?!”

“Bahwa aku telah membayar mahal untuk bantuan darimu?!”

“Memang?!”

“Tapi, itu belum sebanding” ucapnya begitu sangat tidak tau terimakasih. “Kau terlalu serakah!”

“Mengingat gagalnya bantuan darimu, ada baik kau bersyukur atas bayaranku yang tetap menjadikanmu Mrs. Tomlinson”

“Jika saja waktu itu aku berubah pikiran, sudah pasti saat ini kau masih tetap menjadi seorang jalang untuk David atau bahkan seorang benalu bagi keluarga Tomlinson” ujarku geram.

“Cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan!”

“Semua orang pun tau bahwa kau yang tergila-gila padanya”

“Jadi, bantuanku sama sekali tidak gagal!” koreksinya.

“Tutup mulutmu! Ada baiknya kau berdoa, semoga saja masalahmu tidak sampai merenggut nyawamu” sindirku seraya kembali melanjutkan langkah yang di penuhi berbagai harapan dalam kepalaku atas dirinya.

Semoga saja setelah ini aku tidak akan pernah lagi melihat wajah sialannya itu untuk selama-lamanya. 

Atau 

Setidaknya seseorang bersedia mengeluarkan otak kotor dalam kepalanya agar tidak selalu menerka-nerka segala hal yang tidak dia ketahui dengan benar. 

Terserah!

Komentar

Postingan Populer