DIRTY BUSINESS - 10

 


            Mencoba untuk tidak lagi larut dalam kilas masa lalu mengenai aku yang selalu berhasil membuatnya merasa tersinggung karena memberikan tatapan muak kepadanya setiap kali dirasa dia mulai berlebihan. Tanpa aba-aba tangannya yang terukir banyak tattoo itu pun terulur mengusap lembut kedua pipiku, sehingga nafasku terasa kembali tercekat ketika bibirnya yang tipis itu beralih menjadi mencium keningku.

Seolah-olah tatapan kemarahan dari ayahku serta kutukkan sumpah serapah yang keluar dari mulut ibuku bukanlah apa-apa untukknya. Satu hal yang masih membuatku bersyukur adalah para bodyguard-nya masih sanggup menjaga pertahanan, sehingga wajahnya yang angkuh ini tidak lantas mendapat tinjuan jitu dari para bodyguard ayahku. Akan tetapi, hanya dalam hitungan detik aku merasakan tanganku ditarik paksa untuk mundur dan menjadikan posisiku berhalangan dengan Zayn karena kini para bodyguard ayahku berhasil menjadi pembatas untuk kami. “Hentikan drama kalian!”

“Masuklah Ken?!”

“Dan anda?!”

“Sebaiknya anda pergi dari sini, sebelum kesabaran saya benar-benar habis dan anda akan menyesal nantinya” mendapati tatapan isyarat darinya saat ayahku berucap demikian, seketika itu juga aku langsung menggelengkan kepala sebagai tanda permohonan agar dia jangan membantah dan mau mengikuti ucapan ayahku ini. “Tenanglah”

“Saya juga tidak berniat untuk memperpanjang drama diantara kita, karena saya memang bukanlah aktor handal”

“Saya hanya seorang pengusaha”

“Sangat berbeda dengan lelaki yang anda sandingkan untuk Kendall di masa lalu” ejeknya dengan raut wajah angkuh seraya mengedipkan sebelah mata kepadaku dan lantas di tanggapi oleh ayahku dengan mengulurkan revolver berwarna hitam miliknya tepat kearah dahi Zayn.

Sehingga, hal ini pun berhasil membuat jantungku rasanya ingin copot dan menjadikan lantai yang tengah aku pijaki menjadi berguncang sangat hebat. Tidak mampu mengucapkan kata apapun untuk menengahi keduanya dan hanya bisa menelan siliva-ku dengan susah payah, aku pun lantas melepas genggaman tanganku dari ibuku dan membawanya menjadi menekan kepalaku karena tiba-tiba saja kilas-kilas menyakitkan dimasa lalu itu kembali mengunjungiku.

“…Kendall?!...” mendengar panggilan panik dari ibuku namun aku pun tetap tidak sanggup untuk mengindahkannya, membuat dia disana yang ingin mendekat kearahku segera di cekal oleh para bodyguard ayahku dan membuatnya menumpat sumpah serapah kepada ayahku karena dia dipaksa untuk pergi sedangkan aku sudah lebih dahulu dipapah oleh ayahku agar meninggalkan backyard menuju ke kamar. 

Mengalihkan pemikiran atas kejadian beberapa jam lalu dengan menyesap ice lemon tea yang saat ini ada dalam genggaman tanganku, tatapan mataku pun tidak lepas untuk memperhatikan halaman belakang Mansion ini yang mana telah di penuhi banyak orang. Terlebih adanya dentuman suara musik khas malam natal, semakin membuat riuh suara tawa serta percakapan mengenai hal pribadi di bawah sana.

Sama seperti malam natal ditahun sebelum-sebelumnya, malam natal kali ini aku lebih memilih untuk kembali menikmati kemeriahan pesta ini dari balkon kamarku di Mansion ini. Sebab, satu hal yang sangat aku hindari adalah paksaan dari ibuku agar aku mau menyapa putri-putri teman kalangan sosialitanya yang di setiap acara hanya ingin membanding-bandingkan kehidupan yang mereka miliki dengan apa yang telah aku miliki.

Sehingga, satu-satunya cara agar aku terlihat menghargai pesta ini dan mengurungkan niat ibuku itu adalah dengan menyinggungkan senyum terbaik yang aku miliki seraya mengangkat gelas dalam genggamanku kearah para tamu undangan dibawah sana sebagai tanda sambutan selamat datang. Khususnya, kepada teman-teman dari kalangan sosialita ibuku yang nampak saling berkompetisi dalam segala hal termasuk penampilan.

“Ken?!”

“Boleh aku masuk?” pintanya yang tengah berdiri diambang pintu kamar, dengan segera aku menyetujui permintaannya dengan mengangguk dan tersenyum ramah. “Ada apa, Dad?” tanyaku.

“Bagaimana keadaanmu?”

“Aku baik-baik saja Dad..”

“Dan kau tidak perlu mengkhawatirkan apapun tentangku” peringatku yang kini bersebelahan dengannya dan memilih menopang kedua tanganku untuk menyatu di pagar balkon yang terbuat dari kaca bening, dimana bagian sisinya dilindungi dari besi berwarna hitam.  

Mengamati penampilannya dari ujung rambut hingga sebatas pinggang, bibirku pun lantas menyinggung senyum tipis ketika mendapatinya mengenakan hadiah natal pemberianku berupa tuxedo Brioni dan jam tangan Rolex tipe submariner vintage yang telah terlingkar sempurna di tangan kirinya.

Sungguh, penampilannya malam ini sangat patut untuk di kategorikan kedalam nominasi fashion award karena berhasil menunjukkan bahwa dia memang pria penuh pesona yang selalu menjadi pemegang kendali serta tidak bisa dibantah oleh siapapun termasuk aku sebagai anakknya.

Terdengar egois memang…

Akan tetapi, tetap saja dia tidak bisa bertindak berlebihan kepadaku. Sebab, akan selalu dampak buruk yang bisa membuat dia kesulitan juga pada akhirnya. Contohnya seperti kejadian beberapa jam yang lalu, ketika dia ingin sepenuhnya memegang kendali sampai-sampai dia lupa bahwa caranya dalam bertindak itu sangat berpengaruh terhadapku.  “Mengenai kejadian makan malam tadi…”

“Aku minta maaf Ken” ucapnya yang masih asik memandang kerumunan orang dibawah sana dan tidak tertarik untuk sebentar saja melihat kearahku. “Tidak seharusnya aku terpengaruh dengan apa yang diucapkan oleh bajingan itu dan menjadi lepas kendali” lanjutnya.

“Sudahlah Dad, lupakan saja. Aku tidak ingin kita membahas hal itu lagi” peringatku karena tidak ingin kembali membahas kejadian tidak mengenakkan beberapa jam yang lalu.

“Baiklah aku mengerti…”

“Tapi Ken, ada beberapa hal penting yang ingin aku ceritakan padamu” mengangguk paham seraya melangkah kearah meja kayu, berhasil membuat tatapannya menjadi mengikutiku yang kini telah terduduk. “Silakan..”

“Bicara saja, Dad. Aku akan mendengarkan” menyesap ice lemon tea dalam genggamanku yang sudah tinggal sedikit setelah lebih dahulu berucap demikian, lantas diindahkan oleh ayahku dengan anggukkan kepala seraya ikut terduduk bersamaku di kursi kayu yang berada dekat balkon ini. “Mengenai keluarga Malik…”

“Aku akan menceritakan sedikit mengenai latar belakang keluarga mereka kepadamu” ucapnya seraya menggenggam sebelah tanganku, setelah aku lebih dahulu meletakkan gelas ice lemon tea milikku di atas meja kayu ini. “Karena mungkin dengan begitu kau akan berpikir beratus-ratus kali hanya untuk sekedar berhubungan dengannya” yakinnya. 

“Kenapa kau begitu yakin kalau aku akan lantas tidak berhubungan dengannya lagi setelah mendengar cerita darimu?” tanyaku seraya menarik tangunku dari genggamannya.

“Mereka itu licik dan aku jamin kau akan kembali merasa kecewa jika kau masih saja mengabaikan peringatan dariku ini!”

“Jadi, kau menceritakan latar belakang keluarga mereka sebagai sebuah peringatan untukku?”

“Ya!” katanya.

“Apa kau bisa menjamin bahwa kalau aku menjauhi keluarga itu, aku tidak akan kembali merasa kecewa nantinya Dad?” tanyaku seraya menatapnya lekat dan ternyata justru dia sanggupi dengan menganggukkan kepala. “Itu Pasti. Selama aku hidup, aku akan memastikan bahwa hal itu tidak akan pernah kau rasakan lagi Ken”  

Jujur saja, aku sebenarnya sangat tidak mau tau dan tidak perduli juga tentang bagaimana sebenarnya latar belakang keluarga Malik. Tetapi pada kenyataannya, aku juga tidak bisa memungkiri rasa penasaranku akan apa yang ayahku ketahui tentang latar belakang keluarga itu.

 Menjadi anak yang paling dekat dengannya, tentu saja aku tidaklah buta atas sifat-sifat yang dia miliki. Terlalu banyak strategi bisnis yang dia gunakan untuk mengalahkan para pesaingnya, nyatanya juga dia terapkan untuk mengalahkan prinsip anak-anaknya. Terdengar egois memang?! Namun itulah dia, ayahku.

“Baiklah, aku akan memenuhi peraturan keluarga untuk tidak lagi berhubungan dengan para pengusaha ataupun pejabat pemerintah setelah ini. Tetapi dengan satu syarat” jawabku meminta sebuah persyaratan darinya.

“Syarat?” tanyanya yang membuatku mengangguk guna membenarkan.

“Baiklah, katakan..” lanjutnya.

“Jangan paksa aku untuk menghadiri acaranya besok lusa di London” pintaku yang ternyata dia jawab dengan menggelengkan kepala. ”Sorry, untuk yang satu itu aku tidak bisa…” ungkapnya.

“Syarat darimu itu terlalu beresiko Ken”

“Kau tau benarkan, bahwa hanya acara itulah satu-satunya alasan yang membuat mereka merasa lemah dan kau tetap kuat sampai detik ini?” tanyanya terdengar terbebani, sehingga dengan penuh sesal aku mengakui permintaanku yang kelewatan. “Ya aku tau…”

“Dan maaf karena telah meminta hal yang tidak mungkin bisa kau sanggupi itu?!” kataku seraya berusaha menyinggungkan senyum baik-baik saja.

Sehingga dia tidak perlu khawatir atau pun menyadari bahwa aku menerima kembali kekecewaan yang sebelumnya sempat dia janjikan bahwa tidak akan pernah aku rasakan lagi, yang justru tanpa sengaja sebenarnya dia torehkan. “Don’t say sorry, Ken”

“Ada baiknya kau mendengarkan saja cerita dariku mengenai latar belakang keluarga Malik. Dan selebihnya terserah bagaimana baiknya menurutmu” ucapnya yang kemudian aku setujui dan mempersilakannya untuk menceritakan segala yang ingin dia ceritakan.

“Beberapa tahun yang lalu…”

“Apa kau masih ingat mengenai peristiwa tragis yang terjadi di kantor pusat kita di New York??” tanyanya dengan ekspresi wajah yang aku lihat sedang menahan amarah serta adanya kilat rasa sakit yang begitu terpancar dari kedua bola matanya. “Iya, tentu saja?!”

“Setiap detail kejadiannya bahkan masih lekat teringat di dalam kepalaku. Kenapa memangnya Dad?” tanyaku to the point, karena masih belum bisa mencerna apa hubungan antara cerita latar belakang keluarga itu dengan peristiwa besar yang beberapa tahun lalu terjadi diperusahaan milik ayahku.

“Ayah Zayn, Simon Malik adalah dalang dari peristiwa tragis yang terjadi beberapa tahun lalu di kantor pusat kita”

“Dan dia jugalah salah satu dari banyaknya para pengusaha yang selalu menggunakan strategi kotor demi bisa mendapatkan kesukesan dalam bisnisnya” jelasnya yang sontak membuatku seperti mendapatkan tamparan keras.

Sebab, aku seperti sedang ditarik paksa ke masa lalu dan harus kembali merasakan bagaimana mencekamnya suasana kantor pada saat itu akibat serangan tembakkan dari orang-orang berperawakan latin yang lengkap dengan senjata laras panjang dikedua tangan mereka.

Dengan aku yang pada saat itu berusia 15 tahun, aku sudah cukup mampu merekam semua potongan kejadian demi kejadian yang pada saat itu terjadi dan beruntungnya pada saat itu ayahku dan aku berhasil keluar dari gedung perusahaan milik ayahku itu. 

Walaupun pada akhirnya, rekaman kejadian akan peristiwa itu tidak bisa aku hilangkan dalam otakku sampai detik ini. Sehingga, aku selalu saja merasa ketakutan ketika harus membahas peristiwa lama ini yang jelas membuatku kembali terbayang akan ceceran darah segar serta seluruh suara rintihan tangisan orang-orang atau lebih tepatnya mereka para pegawai perusahaan ayahku yang terluka dan ketakutan dalam gedung megah yang di dominasi warna silver dan hitam itu.

“Bagaimana kau mengetahui bahwa dia adalah dalang dari peristiwa tragis itu?” tanyaku.

“Aku akan menceritakan lebih dahulu awal perkenalanku dengan Simon, bagaimana?”

Sure, go ahead…” kataku, membuatnya tersenyum dan mengusap pucuk kepalaku asal. “Thank’s” jawabnya.

“Pada waktu itu perkenalan kami bermula karena dia adalah tetangga baru di depan rumahku. Kami sama-sama terlahir sebagai anak tunggal di keluarga yang cukup berada, kemudian kami pun semakin sering bermain bersama dan bersekolah di tempat yang sama hingga sampai pada tingkat akhir”

“Pada saat itu dia terpaksa harus menetap bersama ayah kandungnya di Italia dan melanjutkan kuliahnya di sana karena ibunya telah wafat dan ayah tirinya kalah dalam perebutan hak asuh atas Simon” jelasnya dengan raut wajah yang sulit diartikan, sehingga aku tidak berani beraksi apapun saat mendengar ceritanya yang masih belum seberapa ini. “Beberapa tahun berlalu…”

“Dimana pada saat itu aku telah berkeluarga dan berhasil mencapai puncak kesuksesan untuk memimpin perusahaan Jenner&Co, membuatku semakin menjadi ambisius untuk melebarkan sayapku di dalam dunia bisnis”

“Sehingga, aku pun berminat untuk bergabung dalam organisasi ‘cerchi rispettabili’ [1]

“Dan seperti apa itu organisasi cerchi rispettabili, Dad?” tanyaku begitu penasaran, karena organisasi itu tidak pernah aku dengar sebelumnya di media manapun termasuk majalah-majalah bisnis.

“Organisasi cerchi rispettabili itu merupakan kumpulan dari para pembisnis dengan pemasukkan lebih dari ratusan juta dolar dan siap bersaing di pasar konvensional dunia dalam skala besar” lanjutnya begitu transparent menceritakan hal pribadinya kepadaku untuk pertama kali dan berhasil menimbulkan beberapa pertanyaan dalam otakku.

“Apa semua para pengusaha yang memiliki pemasukkan ratusan juta dolar adalah bagian dari organisasi cerchi rispettabili, Dad?” menyinggung senyum tipis kearahku seraya menatapku begitu lekat, sangat terlihat jelas bahwa dia ragu untuk memberikan menjawabnya. “Tingkatan rasa penasaranmu yang terlalu tinggi ini, benar-benar membuatku takut Ken?!”

“Dan kenapa kau harus takut?”

“Karena sekarang aku merasa salah telah mengatakan mengenai organisasai itu kepadamu?!” jawabnya membuatku mengerutkan kening karena kebingungan. “Apa maksudmu?”

“Belum saatnya kau mengetahui lebih banyak Ken”

“Itu bukan jawaban yang ingin aku dengar, Dad” keluhku yang tidak bisa menunggu lebih lama penjelasan darinya. “Bersabarlah, Ken”

“Kelak ketika kau telah siap untuk melanjutkan perusahaan keluarga kita, aku akan menjelaskan segalanya kepadamu” terkejut sekaligus menegang dalam diam atas ucapannya, sekuat hati aku pun berusaha menepis kenyataan bahwa kelak aku akan memimpin perusahaan keluarga. “Lalu, apa yang akan terjadi selanjutnya ketika aku telah resmi memimpin perusahaan keluarga?”

“Setiap anggota dari organisasi itu pasti akan dengan senang hati menunjukkan diri mereka kepadamu dan jangan pernah terlintas dalam pikiranmu untuk menghindar dari mereka”

“Memangnya kenapa?”

“Hanya pengecut yang bersikap seperti itu Ken. Dan aku tidak pernah mendidikmu sebagai seorang pengecut?!” katanya.  

“Bisakah kau jelaskan sedikit tentang organisasi itu Dad?” tanyaku membuat rahangnya terlihat mengeras, namun tetap menyetujui. “Sure…” ucapnya.

“Organisasi itu dulunya di ketuai oleh Javje Ferro Malik, yaitu ayah dari Simon Malik. Telah bergabung dalam organisasi itu selama 2 tahun, kemudian di tahun berikutnya aku menang dalam hasil polling pemilihan untuk menjadi wakil ketua organisasi itu”

“Namun, baru saja beberapa bulan kami bekerja sama untuk melebarkan organisasi itu. Aku mendapat kabar bahwa Javje Ferro Malik telah di beritakan meninggal dengan cara mengenaskan di kota kelahirannya Italia dan hal itu membuat ketua organisasi selanjutnya di pimpin oleh Simon Malik” tidak lagi heran atas penjelasan yang diberikan oleh ayahku yang mengaitkan organisasi itu dan keluarga Malik, membuat pikiranku justru semakin tidak karuan saat ini.  

“Itu berarti Simon adalah atasanmu pada waktu itu?”

“Benar..”

“Tetapi, kami selalu saja tidak sepemikiran dan selalu berpandangan berbeda yang kemudian aku menjadi tidak tahan bergabung lebih lama dalam organisasi itu”

“Sehingga, hal tersebut memicu adanya konflik diantara kami dan terjadilah peristiwa tragis di perusahaanku pada saat itu” jelasnya, membuatku mengerti bahwa peristiwa tragis yang terjadi di perusahaan ayahku itu adalah suatu bentuk amarah darinya terhadap ayahku.

“Sebesar apa konflik diantara kalian sampai-sampai dia berani bertindak seperti itu?”

“Sangat besar?!”

“Karena dia mulai melibatkan kepentingan pribadi di dalamnya dan melibatkan aku didalamnya dengan menawarkan win-win solution”[2] jawabnya.

“Itu sangat tidak professional!” cercaku agak sarkas dan sedikit terbawa emosi. “Benar..”

“Itulah kenapa aku menolak penawaran darinya”

“Tapi, karena aku menghindari ketidak professional-an dalam bekerja. Bodohnya aku justru malah mengorbankan banyak orang dalam peristiwa tragis itu”

“Jangan menyalahkan dirimu sendiri Dad” pintaku, yang dia balas dengan sebilah senyum. “Aku patut untuk disalahkan karena tidak bisa mencari solusi yang tepat untuk mengatasi sifatnya yang licik dan egois itu?!” katanya.

Well, aku harap setelah ini kau mau mendengarkan peringatan dariku agar tidak lagi memiliki hubungan apapun dengan keluarga Malik itu Ken” pesannya seraya mengeluarkan kotak berukuran kecil dan berwarna hitam dari saku tuxedo miliknya. “Apa ini Dad?”  

“Kau boleh membukanya…” ucapnya setelah aku membaca nama brand perusahaan keluarga kami, Jenner&Co.

Sungguh, minimnya cahaya di balkon kamarku bukanlah alasan utama kenapa aku tidak menyukai cincin dalam kotak kecil berwarna hitam ini. Hanya saja, pilihannya kali ini sama sekali bukanlah seleraku dan aku juga yakin bahwa ayahku tidak buta untuk memilih kado natal terbaik untuk putrinya malam ini.

Ukiran kepala singa dibagian tengah dan dikedua sisinya terdapat ukiran-ukiran melingkar rumit, membuat cincin ini terkesan lebih dominan jika dibandingkan dengan perhiasan lain yang kini melekat ditubuhku. Walaupun, aku juga tidak bisa memungkiri bahwa memang kilauan warna gold pada cincin ini berhasil membawa kesan mewah dijari tanganku.

Akan tetapi, ketika aku lantas menoleh kearahnya untuk mengucapkan terimakasih atas kado natal yang telah dia berikan ini. Aku justru mendapati raut wajahnya kini nampak sendu dan seperti sedang sibuk berdebat dengan pikirannya sendiri dalam diam. 

“Apakah ini kado natal untukku?” tebakku yang membuatnya lantas menggelengkan kepala, sehingga aku pun segera mencopot cincin ini dari jari tengahku dan memasukkannya kembali kedalam kotak. “Lalu, kenapa kau menunjukkannya kepadaku?”

“Apa maksudnya Dad?”

“Zayn memberikan cincin itu kepadaku” ucapnya tepat ketika aku berhasil menutup kotak kecil berwarna hitam yang bertuliskan nama brand milik keluarga kami Jenner&Co. “Zayn?”

“Kau belum tuli Ken?!”

“Jangan membuatku mengulang perkataanku sebelumnya” pintanya. “Baiklah…”

“Biar aku minta Felix untuk mengembalikannya sekarang juga?!” kataku dengan menatapnya sungguh-sungguh seraya memilih bangkit dari keterdudukkan dan tidak lupa juga untuk membawa kotak kecil berwarna hitam ini dalam genggamanku. “No?!

“Ini milikku Ken” cegahnya sambil menahan pergelangan tanganku, sehingga aku pun lantas berbalik menghadap kearahnya dan menjadi kembali terduduk karena kemudian dia memintanya. “Kau bahkan tidak berhak mengembalikkannya”

“Jadi, maksudmu?!”

“Kau menerima pemberian darinya? Begitukah?” mendapati dengusan kasar darinya seolah sedang menganggap remeh apa yang baru saja aku pertanyakan, membuat posisi tubuhnya kini tidak lagi bersadar di kursi dan menjadi menghadap sepenuhnya kearahku seraya mengambil alih kotak cincin di genggamanku. “Bacalah…”

Omertà [3]” ucapku ketika membaca tulisan didalam lingkaran cincin yang dia tunjukkan padaku. “Apa maknanya?” lanjutku bertanya.

“Sebuah tanda terikatnya setiap anggota dalam organisasi itu”

“Terikat?”

“Aku tidak akan membahasnya lebih banyak kepadamu Ken?!”

“Yang pasti, cincin tua ini memiliki sejarah yang sangat panjang dalam organisasi cerchi rispettabili dan akan sangat mahal harganya kalau aku lelang”

“Jadi, aku tidak berminat untuk mengembalikan milikku kepada bajingan itu?!” memutar bola mata malas karena jiwa bisnisnya kembali memenuhi pikirannya, segera aku pun menyerahkan kotak cincin ini kepadanya. “Ok, fine…

“Kalau begitu aku akan menunggu saja hasil dari pelelangannya” putusku yang tidak sungguh-sungguh dan membuatnya bercih kemudian. “Kau dan ibumu memang paling gampang tergoda kalau sudah berurusan dengan uang”

“Bukan hanya kami Dad?!

“Semua orang juga pasti akan tergoda kalau sudah berurusan dengan uang dan kawanannya” koreksiku sehingga dia pun menyetujui perkataanku dengan menganggukkan kepalanya seraya membawaku menjadi bersandar kearah dadanya. “Baiklah, baiklah…” katanya.

Tenang dan nyaman. Ya, mungkin hanya dua kata itulah yang paling tepat untuk menggambarkan perasaanku ketika tengah berada dalam pelukkan ayahku. Rasanya tidak ada yang berubah sedikitpun, masih sama seperti biasanya. Terasa hangat dan tulus tanpa kepura-puraan.

Jadi, jika semua orang bertanya tentang siapa orang yang paling sangat aku sayangi dan begitu berarti didalam hidupku. Maka, jawabannya adalah ayahku. Sebab, dari seluruh orang yang ada didalam kehidupanku hanya dia sajalah yang mampu mengerti diriku dan hanya dia jugalah yang menjadi satu-satunya alasan mengapa aku masih berada disini saat ini. Dia adalah nyawaku, tanpanya mungkin aku lebih memilih untuk tidak ada lagi di dunia ini. “Aku harap kau jangan pernah mengharapkan sesuatu dari seseorang Ken”

“Kenapa?”

“Perasaan seseorang itu mudah berubah-ubah. Jadi, jangan sampai ketika kau tidak mendapatkan apa yang kau harapkan. Hal itu justru membuatmu berakhir kecewa”

“Perasaan kecewa bisa aku dapatkan dari berbagai hal Dad. Bukan hanya karena aku berharap pada seseorang saja” tepisku. “Itu memang benar”

“Akan tetapi, aku hanya tidak ingin adanya perasaan di antara kalian justru malah menjadi konflik baru untuk aku dengan Simon nantinya Ken” mengerti kemana arah pembicaraan ini, aku pun lantas menarik diri dari sandaran dan menatap lekat iris mata berwarna biru miliknya. “Jangan khawatir Dad

“Itu tidak akan pernah terjadi”

“Sebelumnya kau bahkan telah menyerahkan agar aku yang memutuskan selebihnya. Maka, sekarang percayalah padaku..” keluhku dengan intonasi rendah seraya menampilkan ekspresi memohon kepadanya, agar dia tidak perlu mengkhawatirnya semuanya terlalu jauh. “Tapi kau tetap harus membuat keputusan secepatnya, Ken”

“Sebelum dia terlalu jauh menanggapi hubungan diantara kalian” ucapnya berhasil membuat perasaanku ragu untuk menyetujui saran darinya. “Aku-”

“Keraguanmu telah menjawab semuanya, Ken?!” selanya membuatku memutar bola mata malas dan berdecih remeh karena lagi-lagi dia berhasil merusak mood-ku.

Entah sudah berapa lama dia berada diambang pintu kamarku untuk mendengar percakapan yang terjadi diantara aku dengan ayahku, tanpa permisi kini dia justru menghampiri kami yang masih terduduk di kursi kayu dekat balkon. “Ada apa Kris?”

“Aku lelah menanggapi pertanyaan dari para tamu undangan yang menanyakan keberadaan kalian berdua?!”

Sorry..” ucap ayahku menanggapi keluhannya.

“Aku akan turun..” putusku.

“Tetaplah bersama Justin di sepanjang malam ini, Ken. Jangan sampai bajingan itu mendekatimu dan membuat semua orang salah paham dengan kedekatan kalian?!” peringatnya yang selalu ingin memegang kendali tentangku.

Menggunakan gaun panjang berwarna hitam dengan belahan dada rendah di padukan dengan stiletto berwarna hitam berukuran sekitar 10 centi serta terdapat banyak perhiasan ditubuhnya, sudah cukup mampu membuat siapapun bisa menyimpulkan bahwa dia adalah wanita kaya raya yang gemar berpesta. Terlebih lagi, menghirup pekat aroma minuman beralkohol ditubuhnya saat ini sudah cukup memperkuat perumpamaanku tentang dirinya.

“Jangan memerintahku ketika kau sedang dalam keadaan mabuk, Mom?!” tuturku dengan nada sarkas dan memilih untuk menyilangkan kedua tangan didada.

“Apa salahnya?”

“Aku hanya tetap berusaha memaksimalkan peranku sebagai seorang ibu untukmu” balasnya seraya mengendikkan bahunya secara asal dan memilih untuk terduduk di sebelah ayahku.

“Ini bukan hal penting” tepis ayahku yang lebih dahulu meraih dan memasukkan kotak berisi cincin kedapan saku, ketika ibuku baru saja  mengulurkan tangannya kearah kotak berisi cincin milik ayahku yang masih berada diatas meja kayu ini.

Oh tidak lagi?! Harapku kali ini semoga saja dia tidak mengacau karena salah paham akan sikap ayahku itu. Sebab, aku tidak akan bisa menjamin bahwa malam ini akan menjadi malam yang tenang untuk Mansion ini kalau sampai dia memikirkan hal yang tidak-tidak mengenai kotak itu dengan kondisinya yang saat ini tengah dalam pengaruh alkohol.

Selalu hilang kendali dan menjadikan siapapun korban untuk meluapkan seluruh kekesalannya adalah sifat yang paling kami, yaitu aku dan ayahku benci darinya ketika dia sedang dalam pengaruh alkohol. Berbeda dengan Kylie yang justru akan selalu menjadi penengah, setiap kali rancauannya sangat menyebalkan dan tuduhannya sangatlah tidak beralasan. “Ah ya, aku mengerti…”

“Aku tidak berhak mengetahui itu”

“Bukan seperti itu Kris?!” jelas ayahku.

“Ya sudahlah Brian. Aku paham…” balasnya yang jelas terdengar menahan kecewa, membuatku lebih memilih untuk tidak ikut campur dan bangkit dari keterdudukkan.

“Caramu mengambil perhatiannya benar-benar sangatlah mengaggumkan, Kendall” menoleh kearahnya seraya memberikan tatapan tidak percaya karena apa yang baru saja dia ucapkan, membuatku yang baru saja bangkit dari keterdudukkan menjadi menghentikan langkah.  “Come on, i’am your daughter

“Tidak sepantasnya kau cemburu kepadaku Mom

“Maka tunjukkanlah kalau memang dugaanku itu salah?!” tantangnya yang masih tak mau kalah dan masih menatapku tajam dengan tatapan permusuhan. “Cukup?!”

“Temuilah teman-temanmu, Ken. Aku ingin berbicara dengan ibumu sebentar” mengangguk patuh atas permintaan ayahku, segera aku pun mengalihkan tatapan darinya menuju kearah pintu kamar ini berada.

Terlebih dahulu menekan handle pintu kamar ini dan berhasil keluar dari sesaknya keadaan di dalam karena kehadiran ibuku diantara kami, kini aku berusaha menarik nafas dalam-dalam untuk membuang jauh-jauh pikiran buruk mengenai mereka berdua didalam sana yang mungkin saja saat ini tengah melempar ujaran kebencian satu sama lain atau justru ayahku sedang berusaha memberi penjelasan dan menenangkannya.

Beralih melangkah kearah tangga melingkar yang terhubung kearah halaman belakang, dengan stiletto berukuran 12 centi yang nampak terlingkar sempurna di kaki jenjangku. Sialnya suara musik khas malam natal sedang tidak lagi beralun di halaman yang berdominasi warna merah ini dan nyatanya cukup mampu memantulkan suara langkah kakiku sehingga membuat beberapa dari mereka kini menatap sepenuhnya kearahku lalu menyambut kehadiranku dengan tersenyum.

Oh sial, ini sangat membuatku canggung! Gadis dalam batinku mengeluh dan membuatku kemudian mengusap tengkuk leher karena merasa risih dengan sebagian pria yang kini menatapku seperti ingin menelanjangi. Tidak ingin menjadi obat penawar untuk mereka yang sedang terbakar dalam gairah, mataku pun terarah menyapu sekitar untuk membidik mana tempat yang paling tepat untukku saat ini.

“Kendall” panggilnya seraya melambaikan tangan dari arah kanan yang mana berdekatan dengan stand minuman dan membuatku melangkah menghamipirinya.  “Merry christmas Justin..”

Merry christmas Ken..”

Look, you’ve got a great smile Ken” pujinya setelah lebih dahulu memberi kecupan pipi kanan dan kiri. “Thank’s for the compliment. You’re really good looking too, Justin” balasku, membuatnya lantas senyum lebar.  

Are you on your own?” lanjutku bertanya.

“Iya…”

Well, maaf ya orangtuaku tidak bisa hadir di acara malam ini?”

It’s ok, no problem. Lagi pula, the day after tomorrow we will be meet your parents right?” tanyaku yang membuatnya mengangguk setuju. “It’s gonna be a long day in London…

Would you like a drink?” tawarnya.

Sure, thank’s..” ucapku seraya menerima segelas wine yang Justin ulurkan, membuat kami kemudian cheers dan perlahan menyesap wine dalam genggaman.

Berubahnya alunan musik menjadi instrument indah yang berasal dari piano dan harpa, membuat beberapa pasangan melangkah kearah tengah yang berhasil mempertemukan pengelihatanku dengan tatapan tajam dari kedua iris mata berwarna hazel cerah milik seseorang yang harus aku hindari di seberang sana. “Kendall?”

“Would you like to dance?”

“Ken?” tanyanya yang meminta respon, sehingga aku pun berakhir setuju menganggukkan kepala dan mengulas senyum kearahnya. “Sure, come on…” ajakku.

 Saling berpandangan dan sebelah tangannya telah terlingkar erat disekitaran pinggangku, membuatku kemudian meletakkan sebelah tanganku di dada sebelah kirinya sedangkan tanganku yang satunya lagi menyatu dengan tangannya untuk merentang dan saling menggenggam.

Membuang wajah kearah kiri sedangkan dirinya kearah kanan, membuat kami secara bersamaan mengambil langkah mundur kemudian berputar dan merentangkan satu kakiku keudara sedangkan kaki satunya lagi untuk bertumpuh.

Sama-sama tersenyum, kembali aku pun membawa kakiku merapat dan menjatuhkan tubuhku kesamping yang membuatnya dengan erat memegang pinggangku seraya bergerak membantuku untuk berdiri kembali lalu bersamaan menggeserku kearah kanan dan aku bergerak memutar.

Belum juga aku selesai berputar sebanyak dua kali, tiba-tiba pingganguku di cengkaram erat sehingga membuat kedua tanganku terpaksa mencari peganggan dan berakhir terlingkat erat di tengkuk lehernya. “Zayn”

Merry christmas Ken” ucapnya seraya mengecup pelipis kananku dan tidak membiarkanku bergerak menjauh dari dalam dekapannya yang saat ini memeluk pinggangku erat. “Lepaskan Zayn?!”

“Tidak Ken”

“Jangan seperti ini Zayn?! Kau bisa membuat kita benar-benar dalam masalah nantinya” peringatku yang menatapnya sungguh-sungguh, namun dia justru memutar tubuhku dan menjatuhkan tubuhku dengan sebelah tangannya yang masih erat memeganggiku. “I’am sorry…

“Tapi, aku tidak bisa menerima permintaanmu karena Paris sedang menunggu kita Ken?!” ucapnya ketika wajah kami yang saling berdekatan dan tidak bisa di pungkiri aku pun sepenuhnya menahan sesak didadaku. “Come on, hanya kali ini Zayn?!”

“Lagi pula, sudah aku katakan sebelumnya melalui pesan bahwa aku akan menemuinya besok. Apa kau tidak membaca pesanku?” tanyaku. “Aku membacanya…”

“Dan alasanmu juga bisa aku terima, tapi…”

“Anakku benar-benar membutuhkan kehadiran kedua orangtuanya sekarang-- di malam natal, tidak bisakah kau memprioritaskan hari penting ini untuknya?”

“Zayn, please?! Mengertilah..”

“Kenapa harus aku yang mengerti? Kenapa tidak kau saja yang mengerti?” tanyanya yang mengambil langkah kearah belakangku seraya membawa sebelah tanganku untuk merentang kesisi kiri, kemudian bergerak menyusuri tanganku itu hingga berakhir di pinggang dengan sentuhan jari-jari tangannya. “Aku yakin Paris akan mengerti…” kataku.

“Bagaimana kalau ternyata dia juga tidak mau mengerti?”

“Maka salahkan dirimu sendiri yang lebih dahulu mengibarkan bendera perang pada keluargaku dan menyebabkan situasi seperti ini terjadi?!” makiku menahan kekesalan karena malam natal tahun ini tidak bisa berada disisi Paris. “Salahkah kalau aku memperjuangkanmu untuk Paris?” tanyanya.

“Apa maksudmu?” kataku.

“Usia Paris sudah 2 tahun satu bulan. Dan aku rasa dia sudah cukup mengerti bagaimana peran kita seharusnya di dalam kehidupannya”

I love her so much and you know that!”

“Tapi, kau pun tau kalau ayahku tidak akan pernah membiarkan kita berdua pergi dari sini dengan mudah Zayn?! Termasuk mendapatkan peran kita yang seharusnya untuk Paris” keluhku yang bersandar di dadanya dengan tangan kami yang saling bertaut dan menyilang memeluk tubuhku. “Tidak maukah kau berkorban untuk kebahagiaannya Ken?”

“Apapun akan aku pertaruhkan untuknya Zayn?!”

“Kalau begitu ayo kita berkorban bersama-sama?! Ingatlah bahwa kau tidak sendirian Ken. We are fight together…” ajaknya begitu sungguh-sungguh.

“Tapi, bagaimana kalau nanti semua orang tau Zayn?”

“Memangnya kenapa?” tanyanya.

“Keluarga kita pasti akan sangat marah besar Zayn Javvad Malik?!” kataku menahan kesal karena dia seolah bersikap bodoh.

That’s not big problem Ken?!”

“Dan memangnya kau ingin menyembunyikan kehadiran Paris diantara kita sampai kapan?” tanyanya, membuatku begitu kebingungan karena tidak memiliki jawaban pasti.

“Dengar Ken!”

“Adanya Paris bukanlah sebuah kesalahan. Jadi, kita tidak perlu takut untuk menghadapi penerimaan orang lain atas hadirnya Paris karena pada akhirnya yang dia butuhkan hanya kau dan aku— orangtuanya bukan mereka”

“Lalu, bagaimana kalau ternyata aku dan kau tidak bisa menjadi apa yang dia butuhkan, Zayn?” tanyaku yang justru membuatnya tidak memiliki jawaban. “Ah ya, jangan lupakan juga bahwa kita berdua adalah orang asing..” tambahku.   

“Pergilah?! Aku tetap pada keputusanku…” ucapku seraya mendorong tubuhnya menjauh. Akan tetapi, rupanya dia belum menyerah dan tidak ingin menyingkir dari dekatku. “Aku tidak ingin usahaku untuk Paris menjadi sia-sia Ken” katanya.

“Lalu?”

“Semua demi Paris…”

So, don’t mad with me after this” pintanya membuatku menegang karena wajahnya terlalu dekat dan matanya juga tidak lepas memandang bibirku. Mataku pun lantas melebar ketika Zayn kemudian mencium bibirku dengan lembut dan secara bersamaan rasanya jantungku nyaris melompat keluar dari tempatnya ketika mendapati keduanya berjalan cepat kearah kami. “Sial!” umpatku.

“Pergilah Zayn?!”

“Orangtuaku sudah berjalan mendekat..” peringatku ketika berhasil memutus tautan bibir diantara kami.

“Aku mohon….”

“Ikutlah denganku Ken? Kita bisa membicarakan bagaimana kedepannya nanti” ajaknya.  

Oh sial! Jantungku bagaikan meloncat dari kerongkongan ketika kemudian dia mengeluarkan kunci mobil ber-merk Bentley dan menggantungkannya tepat di hadapanku dengan sebelah tangan. Meninggikan sebelah alisku dan kembali menatap kedua iris matanya yang berwarna hazel dengan lekat, tanpa permisi kembali bibirnya justru menyambar memberikan kecupan singkat tepat dibibirku. “Sesuai janjiku di tahun sebelumnya, aku telah mempersiapkan malam natal kali ini untuk kalian berdua…”

“Aku harap kau mau memikirkannya baik-baik Ken”

“Paris tidak memiliki siapapun selain kita dan Rozelle” menggelengkan kepala dengan berat hati atas permintaannya, tidak membuatnya lantas menyerah dan justru kedua tangannya malah tergerak memberikan keyakinan dengan menggenggam erat kedua tanganku. “Please?” katanya.

Sorry…”

“Tapi, posisiku saat ini benar-benar sulit Zayn. Aku harap kau pun mengerti bahwa aku melakukan ini juga demi kalian” putusku seraya mengambil langkah mundur dan segera menghampiri kedua orangtuaku yang nampak memilih berhenti karena melihatku meninggalkan Zayn sendirian disana.

“Kau mengambil keputusan yang tepat Ken…”

“Sekarang kembalilah ke sisi Justin” kata Ibuku.

Sure, but please promise to me?! You are don’t do anything to him and let him go by himself ” pintaku membuat ibuku lantas menoleh kearah ayahku guna meminta kesepakatan. “Selama dia tau batasnya, aku akan mengikuti apa yang kau inginkan” putus ayahku.

“Aku setuju denganmu Brian…” timpa ibuku begitu tiba-tiba yang membuatku lantas memutar bola mata malas seraya berlalu dari hadapan keduanya.

Ket:

[1] Cerchi rispettabili dalam bahasa italia berarti Lingkaran Terhormat.

[2] Win-win solution adalah sebuah proses negosiasi yang menempatkan kedua belah pihak dalam posisi sama sama untung.

[3] Omertà adalah kode kehormatan dalam organisasi lingkaran terhormat. Dalam bahasa Italia, Omertà berarti diam. 

Komentar

Postingan Populer