DIRTY BUSINESS - 1
Sesuai
dengan apa yang telah di prediksi oleh dokter pribadiku
berdasarkan dari pemeriksaan rutin yang dilakukan setiap bulannya, bahwa
besarnya pengaruh obat-obatan yang masuk kedalam tubuh menjadi faktor penentu
atas kondisi bayi dalam kandungan. Nyatanya tidak membuatku setuju atas
sarannya untuk menggugurkan saja bayi yang tak berdosa dan justru lebih memilih
untuk tetap mempertahankannya.
Aku tau bahwa setiap yang bernyawa
memang pastinya akan mati. Tetapi, bagaimana jika harus dipaksa untuk mati? Ya,
sudah pasti siapapun tidak akan ada yang bersedia untuk melakukan hal itu.
Bahkan, itu menjadi hal yang paling mengerikan untuk siapapun yang sudah pernah
mencecapi pahit dan manisnya kehidupan. Lalu, bagaimana dengan nasib bayi tidak
berdosa yang sudah terlanjur bernyawa jika harus terpaksa digugurkan hanya
karena suatu keadaan?
Ya,
rasanya akan sangat tidak adil.
Tetapi jangan khawatir, semua adil
dan tidaknya adalah atas kendaliku. Sehingga dengan lapang dada dan untuk satu
kali ini saja, aku berbaik hati mau mempertahankan bayi yang tidak berdosa
sebagai penebus dari segala dosa. Impas bukan? Lagi pula bukan sesuatu yang
harus disesali juga, kalau nantinya satu nyawa penuh dosa harus tergantikan
dengan satu nyawa tanpa dosa.
Malam ini suasana kota London sangatlah
sunyi dan sepi karena datangnya badai salju yang tidak terduga meskipun
tidaklah besar, tetapi sepertinya cukup untuk membuat semua orang sibuk
berpikir untuk mengantisipasi dampak yang terjadi. Sama seperti situasi yang
harus aku hadapi, tanpa diduga-duga malam ini aku justru dipaksa harus
menanggung risiko atas pilihan yang telah aku buat 6 bulan yang lalu.
Jika biasanya seorang bayi akan
menangis dengan sangat keras dan terdengar memilukan ketika baru saja
dilahirkan, kali ini aku tidak mendengar suara itu. Dan jika biasanya seorang
wanita hamil akan melahirkan diusia kandungan ke-40 minggu, kali ini tepat
memasuki usia kandungan ke-26 minggu justru sudah harus segera melahirkan.
Tidak sanggup mendengar kabar buruk
dari dokter, air mataku pun lantas mengalir semakin deras ketika melihat bayi
wanita berkulit pucat dengan panjang sekitar 34 cm dan berat sekitar 800 gram
sedang terlelap dalam infant incubator.
Dadaku rasanya sangat sesak ketika
melihat tubuhnya yang kecil itu dipasang alat bantu napas dan siap untuk di
pindahkan menuju ruang NICU (Neonatal
Intensive Care Unit). Terlebih, dua kata yang menjadi beban pikiranku saat ini
atas ucapan dokter Arvez adalah nama keluarga.
Sialan!Apakah
itu harus?
Setelah satu bulan berlalu dan
menyerahkan kondisi dia sepenuhnya dalam pengawasan dokter, karena aku harus kembali
kerumah dan sibuk untuk menyelesaikan beberapa hal lainnya. Akan tetapi pada
kenyatanya, pengalihanku selama satu bulan itu tidak juga mengusaikan pikiranku
yang sibuk berperang dengan ego-ku sendiri tentang situasi ini. Mengingat sekilas
keputusan bodohku dan terpaksa menjadi kembali membayangkan bagaimana kondisinya
di awal-awal kelahiran, terkadang membuatku merasa menyesal untuk
mempertahankan hidupnya.
Cerobohnya lagi, aku menganggap
remeh hal-hal kecil dan tidak berpikir panjang atas keputusan yang aku pilih.
Menanggung segala risiko seorang diri dan ya, itu cukup berhasil menjadi faktor
pendukung yang membuatku kembali harus hilang akal. Sehingga, sampai detik ini
aku masih membiarkannya dalam pengawasan dokter di rumah sakit dan sibuk
mencari solusi yang tak kunjung aku temukan hingga saat ini.
“Sepertinya dia tau kalau sedang
kedatangan tamu” menoleh kearahnya yang berucap demikian, aku pun lantas
mengindahkannya dengan mengulas senyum dan kembali mengawasi infant incubator-nya dari kaca pembatas.
“Dia hanya memilikiku” tukasku.
“Tenanglah semua akan segera
berlalu” ucapnya terdengar iba, membuatku berdengus remeh seraya mengangguk
setuju saja.
“Jadi, bagaimana?” tanyaku masih
tetap pada posisi tangan menyilang didada dan menatap satu per satu alat-alat
penunjang hidup untuknya yang ada didalam sana.
“Saya tidak bisa membantu banyak …”
“Kita tetap harus menunggu beberapa
minggu lagi sampai keseluruhan hasil cek medisnya dinyatakan tidak lagi ada
yang bermasalah” jelasnya berdasarkan alasan dan seperti tidak ingin menerima
negosiasi apapun dariku kali ini.
“Anda bahkan tau bahwa saya tidak
memiliki waktu selama itu” mendapati anggukkan darinya atas perkataanku, segera
aku melepas tanganku yang menyilang didada kemudian berjalan kearahnya.
“Lusa atau saya yang akan bertindak
dengan cara saya sendiri” ancamku dengan penuh emosi, sehingga berhasil
membuatnya tertekan kemudian menatapku tajam dan dingin.
“Satu minggu?” menggeleng guna
menolak tawarannya itu, segera aku pun membuka tas dalam genggamanku dan
mengambil satu lembar cek kosong yang memang sebelumnya telah aku persiapkan
untuknya.
“Isilah dengan jumlah angka yang
masuk akal” peringatku tanpa basa-basi seraya menyerahkan kertas ini kedalam
genggamannya.
“Aku tidak ingin ada kesalahan
apapun”
“Baiklah, akan saya usahakan”
menyinggung senyum dan berhasil bernafas dengan lega karena perkataannya itu,
segera aku pun mundur beberapa langkah dari hadapannya.
Tidak perduli dengan berapa besar
biaya yang sudah aku keluarkan selama beberapa bulan ini untuk dia, yang
terpenting dari semua itu adalah aku tidak perlu khawatir tentang keberadaannya
dan aku bisa kembali fokus menjalani kehidupanku serta lebih melebarkan lagi
bisnisku dalam bidang fashion dan design.
Esok hari pun tiba, dan sama seperti
biasanya aku pun kembali datang ke rumah sakit ini untuk menjenguknya. Namun
kali ini agak berbeda, karena kini aku memilih untuk melangkah masuk ke dalam
ruangan NICU (Neonatal Intensive Care
Unit). Berhenti tepat di hadapan infant
incubator miliknya, terlihat kedua tangannya tetap mengepal erat walaupun
terdapat selang infus di pergelangan
tangannya.
Hidungnya yang mancung juga terlihat
masih di bantu oleh alat untuk sekedar bernafas, namun hal itu tidak membuat
raut wajahnya berubah kesakitan setiap kali dadanya bergerak naik dan turun.
Entah apa warna di kedua iris
matanya itu, karena yang terlihat kali ini justru hanya kelopak matanya yang
setia tertutup dan aku hanya bisa memandangi bulu matanya yang lentik. Hal ini
pun memunculkan gejolak dalam hatiku, sehingga tanganku terulur untuk mengusap
kaca infant incubator.
Demi Tuhan, saat ini aku ingin
sekali mendengar suara tangisannya yang sangat keras dan kalau bisa sampai
memilukan. Aku sudah tidak perduli dengan cara yang bagaimana atau tidak
masalah juga kalau aku harus membayar mahal, asalkan alat-alat sialan ini bisa
berhenti berbunyi dan digantikan dengan suara tangisannya saja.
Oh
sial! aku benci menunggu.
Sebab,
hal itu cukup mampu membuatku putus asa. Ya, tepat seperti saat ini.
“Maaf Nona, anda tidak boleh berada
di ruangan ini. Ruangan ini hanya di peruntukkan untuk dokter dan juga perawat
saja” tuturnya dengan tegas dan menarik pergelangan tanganku dengan kasar.
“Sebentar saja, saya mohon” tetap
tidak mengindahkan permintaanku dan dirinya tetap saja menarik paksa sebelah
tanganku, kini aku pun dengan pasrah mengikuti langkahnya untuk keluar dari
ruangan NICU (Neonatal Intensive Care
Unit) dan segera menepis tangannya yang menggenggam tanganku.
Bersabarlah, sebentar lagi baby girl
Flashback off
Terlahir dari pasangan pengusaha
sukses Will Brian Jenner dan Kris Hough, membuat aku dan adikku harus ikutan
menyandang serta memegang sebuah tanggung jawab besar atas kebaikkan juga
ketentraman nama keluarga Jenner.
Sehingga, mau tidak mau. Suka
ataupun tidak suka. Kami sebagai anak harus mengikuti semua peraturan yang
telah ayah dan ibuku tetapkan. Salah satu peraturannya adalah larangan keras
agar kedua putrinya, yaitu aku dan adikku untuk tidak menjalin suatu hubungan
apapun dengan pria dari kalangan pengusaha ataupun dari kalangan pejabat
pemerintah.
Dan untuk pertama kalinya, peraturan
ini diberlakukan ketika usiaku pada waktu itu 15 tahun dan adikku berusia 13
tahun. Masih teringat jelas dalam ingatanku, bahwa sepanjang hari keduanya
tidak pernah lupa menyampaikan peraturan ini kepadaku dan juga adikku.
Menganggap peraturan dari mereka dengan biasa saja dan sama sekali bukanlah
masalah besar.
Akan tetapi, ketika kemudian kami
sekeluarga dihadapkan pada satu peristiwa tragis yang membuat perusahaan
keluarga terguncang. Membuat hati dan
logikaku sebagai anak sulung dari keturunan keluarga Jenner, menjadi setuju
dengan peraturan yang diberikan oleh kedua orangtuaku itu. Demi Tuhan, tubuhku
selalu tertahan kaku di tempat jika saja kembali mengingat kilas balik mengenai
kejadian beberapa tahun lalu.
Bahkan hingga saat ini, masih
berdengung begitu memekak telinga seluruh suara tangisan orang-orang dalam
gedung megah yang di dominasi warna silver
dan hitam itu. Membuat hatiku begitu merasa geram dan takut secara bersamaan
dalam ketidakmampuan, akibat perbuatan dari mereka para pengusaha yang memang
berstrategi kotor.
Dan tentu saja, aku menyebut mereka
sebagai para pengusaha berstategi kotor bukan tanpa alasan. Melainkan karena
memang para pengusaha yang mengganggu keluargaku ini adalah mereka yang berada
di daftar hitam milik ayahku. Tidak mengetahui bagaimana ayahku bisa sampai
berurusan dengan mereka, tetapi satu hal yang akhirnya berhasil membuat amarah
ibuku meledak adalah mereka mengutus orang-orang berperawakan tegas untuk mengawasi
setiap gerak-gerik keluarga kami.
New York mungkin merupakan salah
satu wilayah metropolitan terpadat di dunia yang bisa memberi pengaruh besar
terhadap perdagangan, keuangan, media, budaya, seni, mode, dan hiburan dunia.
Tetapi sebagai anak berusia 15 tahun pada waktu itu, tentu saja semua hal itu
sangat tidaklah berpengaruh untukku dan justru aku merasa senang ketika
orangtuaku memutuskan untuk pindah ke kota Los Angeles.
Entah bersumber dari mana, kabar
mengenai kepindahan keluaga kami ke Los Angeles pun kemudian menjadi headline di setiap surat kabar dan
majalah majalah bisnis yang ada. Akan tetapi, karena kepindahan keluarga kami
untuk alasan privasi. Baik ibu maupun
ayahku pada akhirnya juga enggan memberikan konfirmasi menganai alasan dibalik kepindahan
kami sekeluarga. Sehingga kemudian, banyak beredar berita-berita simpang siur
mengenai alasan kepindahan kami sekeluarga ke Los Angeles kala itu.
Namun, seiring dengan berjalannya
waktu dan mengalirnya cerita yang terjadi dalam kehidupan yang aku jalani.
Semua pikiranku akan kalangan tersebut menjadi bertolak belakang, setelah aku
mendapatkan kekecewaan dan kehancuran diriku sendiri tepat 3 tahun yang lalu.
Dan dengan berat hati, aku pun
memilih melanggar satu aturan penting yang telah ditetapkan oleh kedua orang
tuaku itu. Aku tidak memungkiri bahwa mereka para pria-pria dari kalangan
pengusaha ataupun kalangan pemerintah tidak bersikap brengsek, tetapi
setidaknya mereka berani menunjukkan siapa diri mereka yang sebenarnya dan
tidak berpura-pura bersikap layaknya kasanova dengan mengumbar janji akan setia
padahal nyatanya hanya omong kosong belaka.
Katakanlah bahwa aku terlalu
berlebihan ketika mengumpamakan bagaimana mereka, padahal nyatanya ya mereka
adalah seorang bad boy juga. Tetapi
dengan sikap mereka yang terkesan misterius, tegas, berani dan penuh karisma.
Rasanya akan sangat disayangkan, kalau aku sampai mengabaikan tawaran darinya
yang bersedia melindungiku.
Dan jika aku harus membandingkan
pria-pria dari kalangan pengusaha, pejabat pemerintah dengan pria-pria dari
kalangan entertainment. Tentu
saja, dengan senang hati aku akan mengatakan bahwa mereka sangat jauh berbeda.
Sebab, kebanyakan pria-pria dari kalangan entertainment hanyalah seorang bastard boy. Selain itu, mereka juga seorang yang sukar tebar
pesona kemana-mana dan selalu berganti pasangan layaknya Playboy.
Tidak
heran. Sikap seorang bajingan memang begitu bukan?!
Ah
ya?! Perlu digaris bawahi bahwa aku benci pria-pria playboy seperti mereka.
Sangat menjijikan.
Memilih tinggal secara terpisah dari
keluarga yang kurang lebih sudah hampir 1 tahun dengan alasan memulihkan
perasaan, padahal kenyatanya aku hanya tidak ingin kehilangan kebebasan serta
peluang untuk bisa menjalin relasi
dengan pria-pria dari kalangan pengusaha dan para pejabat pemerintah akibat
adanya pengawasan yang sangat ketat dari keluargaku.
Berbanding terbalik denganku, adikku
justru sering kali di kabarkan menjalin hubungan dengan para bastard boy dari kalangan entertainment. Tak jarang,
skandal-skandal yang adikku perbuat pun seperti daging lezat yang siap disantap
mentah-mentah oleh media dan membuat nama keluarga Jenner tidak pernah berhenti
menjadi sorotan para paparazzi. Dan gilanya
lagi Ibuku tidak memberikan pengawasan ketat atas tingkah adikku yang
kekanak-kanakkan itu.
Ya,
dia memang selalu memperlakukan kami dengan cara yang sangat berbeda?!
Menyedihkan.
Menatap dalam diam sosok wanita
berwarna rambut coklat dan bermata sembab dicermin meja rias, sebelah tanganku
pun yang sejak tadi membersihkan wajah dengan tissue tiba-tiba terhenti karena mendengar derap langkah kaki
seseorang yang memasuki kamarku dan membawaku tersadar dari bayang-bayang akan
potongan kilas perjalanan hidupku tersebut.
“Selamat pagi, Nona Ken..”
memicingkan tatapan tajam tepat kearah sumber suara yang menyapaku, dari
pantulan cermin di meja rias terlihat dibelakang sana seseorang wanita muda
dengan seragam pelayan tengah terdiri di ambang pintu ruangan walk in closet ini dengan tatapan
gamang.
Oh
Tidak! Sialan. Tidak seharusnya dia berada disini!
“Jangan mendekat!” cegahku ketika
dia ingin mendekat kearahku, membuatku kemudian melempar secara sembarang tissue yang ada dalam genggaman dan
terbangun dari keterdudukkan di bangku meja rias berwarna putih ini seraya
mengedarkan pandangan kesegala arah.
“Keluar kau dari sini..!” bentakku
secara lantang dibatas kewarasan sambil memandangnya dengan tatapan tidak suka
kemudian merentangan jari telunjuk kearah pintu ruangan walk in closet.
“Maaf Nona, saya benar-benar tidak
tau”
“Saya hanya mengikuti perintah dari Nyonya
Kris untuk masuk kesini”
“Sebab, beliau nampaknya khawatir
dengan kondisi Nona yang sejak kemarin tidak keluar kamar” jelasnya begitu
gugup ketika aku mulai melangkah kedekatnya, kemudian dengan cepat aku menarik
sebelah lengannya.
“Aku tidak perduli Rane?!”
“Persetan dengan alasanmu!”
“Aku benar-benar tidak perduli, dia
khawatir atau tidak tentangku!” jawabku sembari terus menekan erat lengannya,
karena aku akan sangat dengan senang hati memberi ganjaran bagi siapapun yang
telah dengan sengaja melanggar hal-hal yang sudah aku berlakukan di Mansion ini.
“Saya minta maaf Nona…”
“Tetapi sungguh, saya tidak berani
kalau harus menolak perintah dari Nyonya Kris” mendengar kalimat terakhir dari
ucapannya, membuatku kembali mengingat bagaimana ibuku begitu memaksa agar aku
mempekerjakan satu pelayan lagi di Mansion
ini.
Melepaskan lengannya secara kasar,
hingga aku lihat dirinya meringis dan hanya mampu tertunduk menatap lantai yang
kotor ini. Seketika itu juga aku lantas memilih berbalik badan dan memijat
pelipisku yang kini mulai pening memikirkan kemungkinan yang sudah terjadi
selama beberapa hari ini.
“Sialan?!”
mengumpat dengan lantang dan begitu emosional karena aku telah kecolongan
selama ini, nyatanya hal ini pun berhasil membuatku hilang kendali dengan
menepis sembarang cermin kecil yang ada meja rias hingga jatuh dan pecahan
kacanya berserakan dilantai.
“Pergi kau dari hadapanku dan jangan
pernah sekalipun kau menunjukkan wajahmu itu dihadapanku mulai dari detik ini!”
sentakku dengan berderuh nafas menggebu-gebu, sembari terus mencoba menahan
luapan emosi dengan mengepalkan kedua telapak tangan erat-erat.
“Ta..tapi,Nona?! Nyonya bilang, saya
harus mengawasi keadaan Nona disini” ucapnya, seolah benar-benar ingin
bermain-main dengan batas kesabaranku saat ini.
Oh
sialan, kau tidak perlu mengikuti perintahnya itu.
Umpatku dalam hati seraya melepas kepalan
tangan dengan kasar dan kembali berbalik menghadapnya, perlahan aku pun
menghirup udara banyak-banyak sebelum kembali terbakar amarah karenanya.
Demi Tuhan, aku benar-benar tidak
masalah kalau memang ibuku mengirim wanita ini untuk benar-benar bekerja padaku
di Mansion ini. Tetapi, coba lihat?!
Ibuku tidak benar-benar mempekerjakan dia disini untukku. Ada niat lain yang
dia inginkan, dengan mengirim wanita rubah ini untuk bekerja di Mansion-ku.
Bayangkan saja jika wanita rubah ini
berhasil mengadukkan informasi tentangku selama satu bulan ini, terlebih
tentang belakangan aku yang selalu pulang tepat pukul 3 dini hari dan tidak
keluar kamar selama berhari-hari. Aku yakin, informasi ini akan sangat berharga
untuk ibuku dan menjadi sebuah bom yang siap meledak untuk menghancurkan
kehidupan yang sudah satu tahun belakangan aku bangun sedemikian rapihnya.
Iya, cepat atau lambat mereka semua
pasti akan mengetahuinya. Tetapi tidak disaat sekarang! Tidak disaat aku mulai
menikmati hidupku yang sekarang ini. Tidak disaat aku mendapatkan perlindungan
dari orang yang menurut keluargaku harus di hindari. Dan tidak ketika aku mulai
menerima kehadirannya di dalam hidupku.
Jujur saja aku tidak punya cara
untuk mengatasi semua itu. Terlebih lagi, kalau nanti ibuku mengancam akan
mengadukkan infromasi ini kepada ayahku. Sudah pasti, ayahku akan sangat kecewa
dan setelahnya aku akan diseret dengan paksa untuk kembali tinggal di Mansion keluarga.
Lalu, dengan berat hati aku harus
kembali mengikuti seluruh peraturan yang mereka tetapkan disana. Termasuk tidak
bisa lagi menikmati segala jenis minuman beralkohol tinggi dan harus
kembali melakukan kegiatan membosankan itu secara rutin.
Oh
tidak?! Itu benar-benar akan menyiksaku.
Demi Tuhan, aku bahkan benar-benar
tidak bisa membayangkan. Bagaimana nantinya aku akan kembali kesepian dan
tersiksa dalam setiap hitungan waktu karena semua usahaku untuk menyembunyikan
kebabasan yang telah aku rasakan selama satu tahun belakangan dari keluargaku,
harus direnggut secara paksa dan diharuskan kembali menjalani kehidupan seperti
anak berusia lima tahun yang tidak lepas dari pengawasan orang tuanya.
“Biar saya bersihkan Nona” tawarnya
dengan nada bergetar, namun dengan cepat aku segera mencekal tangannya agar dia
tidak beranjak kemanapun. Terlebih untuk membersihkan kamarku, karena sejak
awal aku sudah menolak kehadirannya di kamarku ini.
“Aku tidak membutuhkan jasa dari
seseorang yang sudah berani melanggar peraturan penting di Mansion ini” ketusku, seolah ini menjadi sebuah dering peringatan
bahwa dia harus segera menyingkir dari hadapanku.
“Demi Tuhan, saya tidak punya
keberanian untuk menolak perintah dari Nyonya. Nona…” jelasnya dengan wajah
menunduk dan suara bergetar menahan tangis, seraya memainkan kedua tangannya
yang saling bertautan satu sama lain.
“Kau bekerja untukku tepat ketika
kau menginjak rumah ini”
“Itu artinya, kau hanya boleh
mematuhi perintahku dan tidak berhak menceritakan sedikit pun tentang keadaan
diriku maupun Mansion ini kepada
orang lain”
“Termasuk lebih mengikuti perkataan
dari keluargaku, di bandingkan dariku. Bodoh!”
“Aku yang menggajimu!”
“Akulah majikanmu!” tuturku penuh
penekanan seraya mengarahkan tangan untuk menarik dagunya yang masih tertunduk,
sehingga tatapan kemarahan dalam mataku dapat tersalurkan ke kedua matanya yang
saat ini sudah membendung air mata.
“Saya benar-benar minta maaf Nona”
balasnya dengan nafas memburu dan air mata yang terlihat mulai mengalir
membasahi pipi, tetapi sebelum air matanya mengenai tanganku dengan cepat aku
lantas melepas tanganku dari dagunya.
Membungkukkan tubuhku sedikit kearah
kanan, tepat dimana satu kotak tissue
berukuran sedang berada diatas meja rias. Dengan cepat aku pun mengambil
beberapa lembar tissue dari dalam
kotak tersebut dan menaruh ditangannya, sehingga ketika matanya yang biru mulai
menelisik bertanya-tanya kedalam mataku dan menatap penuh ragu kearahku.
Dengan jengah, aku memutar bola mata
malas dan mengarahkan pandangan kearah beberapa lembaran tissue dengan sedikit mengangguk seolah menyetujuinya untuk
mengambil tissue ini dari uluran
tanganku.
“Seribu kali pun kau berujar maaf
kepadaku, itu tidak akan bisa membereskan semua kekacauan yang telah kau
perbuat untuk hidupku kedepannya Rane”
“Usaplah air matamu itu dan jangan
pernah menangis di hadapanku. Ingatlah bahwa aku tak seburuk yang kau pikirkan”
tuturku seraya menghembuskan nafas secara kasar dan begitu dia menerima uluran tissue yang aku berikan, aku pun lantas
kembali menduduki kursi meja rias sambil mengamati dia yang masih tertunduk
sambil memainkan jari-jarinya yang saling bertautan.
Menggeser pintu lemari berwarna
putih, kini tangan kananku pun sibuk mengetikkan beberapa angka berupa
kode pin pada kotak brankas. Begitu melihat pintu kotak brankas-nya terbuka, enam tumpuk uang
pecahan Euro pun segera aku
masukkan kedalam amplop coklat berukuran sedang dan menutup kembali kotak brankas serta pintu lemarinya kemudian
berlalu menghampirinya yang masih berdiri di sisi meja rias.
“Ambil ini dan silahkan kau mencari
pekerjaan di tempat lain. Karena mulai hari ini, kau resmi aku pecat” tuturku
seraya mengulurkan amplop coklat kedalam tautan telapak tangannya, hingga aku
tersentak kaget saat tiba-tiba dirinya tertunduk memegangi sebelah kakiku
dengan menautkan kedua tangannya dengan begitu erat.
“Saya mohon jangan pecat saya”
“Saya mohon Nona..” pintanya seraya
tak henti menangis, tetapi aku justru malah mengabaikan ucapannya karena aku
terlalu sibuk sendiri untuk mencoba melepaskan tangannya yang memeganggi
kakiku.
“Lepaskan kakiku dan segeralah kemasi
seluruh barang-barangmu”
“Jangan membuang-buang waktuku”
kesalku sambil terus mencoba menendang-nendang kakiku, agar dia melepaskan
tangannya dan menjauh dari hadapanku.
Merasa geram karena dia tidak
mengindahkan apa yang telah aku perintahkan, dengan kesal akupun mendorong
bahunya hingga dia tersungkur ke lantai. Aku tau, apa yang aku lakukan mungkin
terkesan keterlaluan. Tetapi, aku sangat tidak suka jika ada seseorang yang
berani-beraninya menantang ucapanku ketika sudah jelas dia berbuat kesalahan.
Terlebih lagi, kesalahan yang dia
perbuat bukanlah hal yang biasa. Menjadi mata-mata untuk ibuku serta melanggar
satu peraturan penting yang sudah aku tetapkan di Mansion ini. Yaitu mengenai siapa-siapa saja yang boleh memasuki
kamarku. Merupakan kesalahan yang sangat fatal dan tidak bisa aku maafkan.
Sejujurnya, aku menetapkan peraturan
demikian bukan karena aku tidak percaya pada mereka yang memang bekerja di Mansion-ku. Melainkan, aku hanya tidak
ingin kalau-kalau mereka masuk ke kamarku pada saat yang kurang tepat.
Misalnya, seperti saat ini.
Mengapa? Karena memang ada beberapa
hal yang tidak dapat aku jelaskan untuk saat ini dan mungkin hanya beberapa
orang terdekat seperti Hailey, Felix serta sanak keluargaku yang mengetahui
alasan di balik peraturan yang aku tetapkan di dalam Mansion ini.
Sehingga, sebagai orang yang memang
aku percayai dan telah mengetahui riwayat kehidupanku. Hanya Dani dan Felix
saja lah, orang-orang yang aku perbolehkan untuk membersihkan serta memasuki
kamarku kapanpun dan dalam kondisi apapun. Ya, mereka berdua memang bisa aku
andalkan dalam segala hal.
“Felix!!!!!” panggilku dari dalam
kamar, hingga yang dimaksud pun ternyata sudah bersiap memasang badan di ambang
pintu ruangan walk in closet.
“Bawa dia keluar dari kamarku dan
antarkan dia kembali ke tempat pertama kali ibuku menjemputnya..” perintahku
seraya melangkah kearah lain, tepat ketika Felix berhasil menarik paksa lengan
wanita itu untuk berdiri.
“Bekerja samalah sebentar Rane”
mendengar Felix berucap demikian seraya menarik lengan Rane menuju kearah
keluar kamar, seketika langkahku terhenti karena wanita ini kembali berlari ke
hadapanku seraya menatap memohon kearahku yang masih setia berdiri ditempat ku
berpijak sebelumnya.
“Saya mohon izinkan saya untuk tetap
bekerja disini Nona”
“Sebab, saya sudah tidak punya siapa
pun lagi” lirihnya yang kembali ditarik paksa oleh Felix, membuatku dengan
susah payah menelan ludah secara kasar dan menatap iba dirinya yang terus
berontak sembari terus menitihkan air mata. “Saya mohon Nona…” rintihnya.
“Felix”
“Antarkan saja dia kembali bekerja
ke Mansion keluarga”
“Dan jika ibu atau ayahku bertanya,
katakan saja kalau aku tidak suka dengan cara kerjanya”
“Ah ya, Rane?”
“Aku harap kau juga bisa menutup
mulutmu atas apa yang kau lihat didalam kamarku hari ini..” tuturku sambil meneruskan
langkah dan menatap kosong kearah luar jendela.
“Iya.. saya berjanji untuk itu,
Nona. Terimakasih” ucapnya bersamaan dengan terdengar hembusan nafas lega,
membuat bibirku menarik senyum tipis walaupun hatiku sedkit bergejolak gelisah
memikirkan bagaimana aku harus membereskan kekacauan ini.
Komentar
Posting Komentar